Manfaat Pembiasaan Budaya Tulis Sejak Dini: Anak pun Bisa Jadi Penyair
Oleh: Muhammad Fadhli
Ada banyak pilihan untuk mendidik anak. Salah satu yang mungkin akan memberikan efek luar biasa positif adalah, mendekatkan anak ke dunia sastra. Nyatanya, pendidikan yang diberikan melalui jalur sekolah telah membuat 3 bocah ajaib asal Padangpanjang ini, berinisiatif untuk membuat antologi karya sastra mereka berupa puisi dengan judul Negeri di Atas Langit. Gebrakan luar biasa yang diunggah 3 bocah yang duduk dibangku SD ini dalam menghidupkan gairah sastra di Kota Serambi Mekkah. Kuncinya menurut orang tua mereka adalah kegigihan dalam mengenalkan budaya menulis dari dini.
Tergabung dalam Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang, Soeryadarma Isman (8,5 tahun), Shania Azzira (11 Tahun), dan Shalsabilla O’neal Dhiya Ulhaq (10 Tahun) mengaku sangat terinspirasi dari karya-karya puisi yang mereka konsumsi “kami sudah dibiasakan untuk membaca puisi. Maka kami juga ingin menulis,” Kata Shania yang masih tercatat sebagai siswa kelas 5 SD Negeri Gantiang Padangpanjang. Sementara, O’neal lebih memilih sastra khususnya karena bisa membuat nyaman. “Saya senang membuat puisi. Saya gembira seperti sedang bernyanyi-nyanyi ketika menulis puisi,” Kata bocah kelas 4 SD Negeri Balai-Balai Padangpanjang itu.
Lain lagi dengan Soerya. Darah penyair mengalir ditubuhnya, karena sang ayah memang sudah lama dikenal sebagai salah seorang penyair asal Aceh yang kini menetap di Padangpanjang. Namun, Soerya mengaku keinginan untuk menulis lebih kuat dari dirinya, bukan semata-mata karena nama besar ayahnya. “Ayah suka membaca puisi. Saya suka mendengarkan. Tapi saya lebih suka membuat puisi sendiri,” Kata Soerya yang mengaku penggemar Taufik Ismail.
Begitulah ketiga bocah ini dengan polos memahami apa yang mereka geluti saat ini. Sulaiman Juned, pengasuh Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang, mengaku sangat terkejut ketika melihat karya ketiga bocah ini berkembang dari waktu ke waktu. “Memang gairah sastra pada diri mereka sudah terlihat dari awal bergabung. Namun, potensi yang terpendam itu tentu harus terus diasah dan diarahkan. Berkat dukungan dari masing-masing orang tua, ternyata mereka memberikan kejutan dengan menuntaskan menulis 50 puisi,” Kata Sulaiman.
Dengan modal masing-masing 50 puisi itulah Soerya, Shania, dan O’neal akan mengusung sebuah buku yang mereka beri judul Negeri di Atas Langit. Setelah melalui proses penggonjlokan dari para pembimbing di Komunitas seni Kuflet, berikut saran-saran dari orang tua, akhirnya bahan dasar untuk buku itu rampung. “Kami juga akan dibantu Dinas Pendidikan Kota Padangpanjang dengan menanggung seluruh biaya cetaknya untuk menerbitkan buku anak-anak ini,” Ungkap Sulaiman.
Budaya menulis yang diperkenalkan kepada ketiga bocah SD tersebut menjadi sebuah pembelajaran yang kemudian membantu mereka untuk lebih menjaga budi pekerti.
“Kami sangat merasakan bagaimana mereka menjaga sopan santun dan keramahan dalam berbicara. Kami yakin, ini adalah karena mereka sangat dekat dengan sastra sebagai teladan bahasa,” Kata ibu O’neal.
Proses awal dengan memperbanyak bahan bacaan, diakui Sulaiman Juned sangat efektif memancing minat bocah tersebut. “Selain itu, anak-anak ini sering diikutkan dalam berbagai perlombaan baca puisi. Bahkan mereka pernah terlibat dalam pementasan akhir karya pascasarjana seorang dosen ISI Padangpanjang, juga sering pentaskan puisi di BiTv (Bukittinggi Televisi),” Kata Erianto Ketua Komunitas Seni Kuflet.
O’neal yang cukup berprestasi di sekolahnya. Awalnya adalah anak yang pemalu.Namun dengan banyak mengikuti ajang lomba baca puisi, O’neal menjadi sangat bersemangat untuk tampil di depan umum. Perubahan ini juga mewarnai puisi-puisi yang ditulisnya.
Soerya yang menjadi satu-satunya penulis laki-laki dalam trio penyair cilik ini, juga mengaku sangat bersemangat setiap kali dihadapkan pada agenda lomba. “Rasanya mau meraih juara saja. Awalnya takut, lalu berani sendiri,” Kata bocah ini polos.
Shania yang paling senior menganggap, perlombaan sebagai tantangan untuk dirinya. “Saya tahu ada banyak orang yang akan menilai saya tampil. Bukan saja juri, tapi juga para penonton yang berbaris di depan saya. Tapi itu menjadi tantangan untuk membuktikan bahwa saya layak untuk mereka saksikan,” Kata dara jelita hitam manis ini.
Memang banyak kendala untuk memulai menulis. “Kadang-kadang saya merasa jenuh. Kadang-kadang saya merasa terbebani. Tapi lama-lama asyik sendiri kok,” Kata Soerya. Bahkan kini Soerya mengaku tidak bisa lelap sebelum menulis sebuah puisi.
Tradisi saling membacakan karya mereka masing-masing juga turut menumbuhkan minat menulis anak-anak brilliant ini. “Kalau Shania lagi bacain puisinya, saya jadi iri lalu membuat puisi sendiri,” Kata O’neal. Berdasarkan budaya kompetitif yang positif ini, mereka juga saling menguatkan. Kadang bila salah satunya tiba-tiba jenuh menulis, yang lain datang untuk menguatkan. “Kalau semuanya jenuh, tentu giliran kami selaku pembimbing untuk memberikan motivasi,” Kata Sulaiman.
Namun, tentu saja anak-anak ini tidak dengan serta merta kehilangan dunia bermain mereka. Mereka tetap saja anak-anak biasa yang membutuhkan waktu untuk bercanda ria bersama-sama temannya.
Kadang-kadang canda ria itulah yang member mereka inspirasi untuk menulis puisi. Bahkan ada pula momen pergaulan yang mereka jadikan beberapa puisi. Jadi permainan itu sama sekali tidak sia-sia, sekadar membuang waktu saja. Pada dasarnya, jika dilihat dari karya mereka ada beberapa pelajaran tentang apa yang menginspirasikan puisi itu tercipta. Baca saja puisi karya Shalsabilla O’neal Dhiya Ulhaq berjudul “Nenek”: //Dulu bermain bersama/ bercanda ria/engkau tak pernah marah/ kini/ tak dapat rasakan kasih sayang/ karena engkau jadi pesakitan/ aku selalu berdoa//.
Dalam puisi tersebut, O’neal mengungkapkan rasa kasih sayangnya kepada sang nenek, yang sedang terbaring lemah dalam keadaan sakit. Empati yang tumbuh terus terasa dan bahkan tertuang dalam bentuk sebuah puisi. O’neal mengaku, ketika menulis puisi tersebut, ia sempat terisak iba. Namun, ia kembali bahagia setelah melihat senyum si nenek membaca puisinya.
Lain lagi dengan Shania Azzira mari simak puisinya yang berjudul “Angin”://Tiupan angin membisikkan kabar/menyentakkan luka/ tangis saudaraku dalam bencana/ Cobaan hidup tiada henti/ kita harus sadar, teguran sang Kuasa/ topan, banjir, longsor/ bahkan guncangan dasyat/ meluluhlantakkan serambi bumi// Aku rindu angin damai/ membelai lembut hati/ lalu menyisakan alam hancur lebur//
Shania terinspirasi oleh kejadian disekitarnya. Dalam puisi tersebut, Shania seolah mencoba menyatu dengan “kehendak angin” itu sendiri. Apa yang dirasakannya, seperti dayungkan dan dihilirkan oleh angin yang menurutnya adalah penjelajah, penghibur sekaligus pembawa pertanda-pertanda.
Soerya ternyata lebih berciri polos dalam mengungkapkan perasaannya. Baris-baris puisi yang ia gelontorkan dalam tulisan terasa lebih “jujur” sesuai dengan kekanakannya. Coba kita nikmati puisinya berjudul “Riang”: //Setiap liburan sekolah/ abi dan emak selalu mengajak aku jalan-jalan/ keliling kota Padangpanjang-Bukittinggi naik vespa/ menghabiskan waktu bermain game/ menyenangkan hati yang susah// Setiap liburan sekolah/ aku rindu nenek di Aceh, tapi kami tak bisa pulang/ sebab jika aku yang libur sekolah,/ abiku masih bekerja dan ketika abiku libur kerja,/ aku mulai sekolah lagi/namun kami sering keliling Sumatera Barat/ menyaksikan Danau singkarak, Danau Maninjau, Danau kembar/ menelusuri indahnya kebun teh di Alahanpanjang/ menghibur hati yang duka agar riang dan gembira//
Dalam puisi itu, ada sebuah narasi yang tidak ingin dilupakan Soerya. Ada kenangan yang selalu ingin ia ingat. Ada kegembiraan khas anak-anak yang begitu kuat bertahta di hatinya.
Tiga puisi ini hanya sebagian dari 150 karya Shania, Soerya, O’neal. Kiranya karya mereka dapat menjadi pembelajaran bagi para orang tua untuk menanamkan budaya tulis sejak dini.