Membaca Novel Rinai Kabut Singgalang adalah Membaca Masa Lalu Muhammad Subhan
Oleh: Sulaiman Juned *)
Rinai Kabut Singgalang, sesungguhnya berangkat dari realitas sosial pengarang menjadi realitas sastra. Pengarang membangun konflik atas dasar peristiwa yang terjadi terhadap dirinya. Muhammad Subhan sangat cerdas mencatat lembaran kisahnya yang getir-pahit dan penuh luka menjadi pengalaman empirik pembacanya. Ia mampu meramu suasana dramatikal, dan berempati ketika mengikuti dengan cermat alur yang di bangun sehingga menjadi prihatin terhadap tokoh Fikri, Maimunah dan Munaf. Membaca Rinai Kabut Singgalang (RKS) terkesan seperti menghadirkan film kepada pembaca melalui bahasa sastrawi yang menggoda.
Subhan telah membeberkan kekuatan lokalitas Minangkabau yang tak pernah kering di gali dalam ruang sastra untuk dihadirkan kepada pembaca. Cinta, dan adat menjadi tema mayor (tema utama) dalam RKS. Kekayaan lokalitas inilah yang dibenturkan Subhan melalui pengalaman pribadinya yang tidak mau pergi dari haru biru hidupnya. Bagi penulis membaca RKS adalah membaca Muhammad Subhan-pengarangya yang sedang menuliskan dirinya menjadi kisah untuk dikontemplasikan oleh setiap pembaca RKS.
Sungguh ini bukan sebuah kebetulan, sastrawan selalu membaca kehidupan, dan berpikir. Hal ini boleh dilakukannya melalui menguping; yakni mendengarkan orang yang sedang berbicara. Tentu bagi seorang kreator hal ini dapat menjadi ide yang berharga. Mengintip; melihat, serta mengamati persoalan yang terjadi pada dirinya, dan lingkungannya. Melakukan; merasakan langsung apa yang terjadi. Jadi tiga hal ini telah dilakukan oleh Subhan, maka lahirlah RKS. Peristiwa dirinya-keluarganya, mengental dalam pikir, dan jiwanya. Ya hasilnya lahirlah RKS dari buah kontemplasinya yang panjang, sepanjang usia Subhan hari ini.
Ada peristiwa nyata (Realitas Sosial), ibunya Muhammad Subhan berasal dari Pasaman Sumatera Barat. Ayahnya berasal dari Kembang Tanjung Pidie, Aceh. Subhan dalam usia muda ayahnya meninggal, ia harus menjadi tulang punggung keluarga. Ia nekad membawa pulang keluarganya (ibu dan adiknya) ke Padang dari Aceh, terpaksa harus menguburkan keinginan untuk berkuliah di Perguruan Tinggi, dan akhirnya jadi Garin mesjid. Akhirnya ia menjadi wartawan, sekarang bekerja di Rumah Puisi Taufik Ismail selain bergiat di Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang. Kini memperistri wanita asal Minangkabau yang menjadi guru Sekolah Dasar No.08 Gunung Padangpanjang. Menetap di Padangpanjang. Pengalaman inilah yang penulis sebutkan di atas dalam peristiwa menguping, mengintip, dan melakukan langsung. Gagasan itu yang dijadikannya sebagai realitas sastra, maka lahirlah RKS yang luar biasa itu. Peristiwa diri yang dilakoninya bertahun-tahun untuk bangkit dari keterpurukan dipinjamkannyalah Fikri, Maimunah, Munaf, Safri, Ningsih, Rahima, dan tokoh lainnya untuk menyampaikan gejolak yang berpuluh tahun berdebur di dada Subhan sebagai pengarang, dijadikan teks sastrawi bernama RKS.
Maka, benarlah teori Ganzheit dalam kajian sastra, karena sastra merupakan kesatuan langsung dalam bentuk dan isi. Ide, tema, dan peristiwa, serta pengarangnya menjadi sebuah kesatuan yang utuh. Ganzheit memiliki teori ‘totalitas’ (pertemuan dua subjek). Karya sastra dengan tema-tema yang besar serta gaya yang murni. Tema bukanlah sesuatu yang luar biasa dalam menyampaikan artistik puitikal yang segar. Penghayatan siatuasi, tentu harus menggunakan metode analitik untuk mengupas tema besar. Ganzheit tentu pula dapat menentukan makna karya sastra itu karena mengkaji dari seluruh elemen, minimal mengupas karya sastranya dan sekaligus membaca pengarangnya. Sebab totalitas secara keseluruhan pengaruh dari lingkungan hidup sang sastrawan sangat mempengaruhi karya yang dilahirkannya. Karya tersebut tidak terpecah-pecah, bersatu dan harmonis dengan diri pengarangnya. Gunawan Muhammad mengatakan, Ganzheit merupakan penghayatan totalitas pertemuan dari hati ke hati (dua subjek), melalui seorang pribadi ke pribadi yang lain. Orientasi ekspresif; karya sastra-pengalaman-perasaan-pikiran sastrawan, pembaca atau kritikus maka bertemulah dua subjek. Karya sastra adalah subjek yang merdeka (Rahmad Djoko Pradopo, Kritik Sastra Indonesia Modern. 2002. Jakarta: Gema Media, p. 203).
Jadi, jika pembaca ingin membaca RKS sekaligus dapat memahi seluk beluknya dengan tuntas, maka penulis menyarankan agar membaca Mumammad Subhan terlebih dahulu. Jika anda telah mengetahui siapa sesungguhnya Muhammad Subhan, tentu dengan mudah menilisik novel RKS tersebut. Mengapa? Karena dalam RKS Muhammad Subhan menuliskan dirinya dari hasil menguping-mengintip, dan melakukan lansung peristiwa yang telah beranak dalam jiwanya.
Menikmati RKS pengarang dengan cerdas mengelompokkan kata dalam latar, alur, alur, dan konflik melalui pada tokoh yang dihadirkannya, seolah pengalaman orang lain. Sesungguhnya bila ditelisik lebih jauh, segala peristiwa merupakan realitas diri pengarang yang ditemuinya dalam lingkungan berkehidupan. Peristiwa inilah yang disebut realitas sastra. Kecerdasan novelis meramu tiga dimensi sastrawi; estetika-etika-logika yang ditransformasikannya sebagai medium pendidikan, , dan moralitas bagi pembaca. Ini yang membuat Rinai Kabut Singgalang Muhammad Subhan berkualitas. Ditunggu karya berikutnya. Bravo!
*) Penulis adalah penyair, kolumnis, esais, Sutradara Teater, Dosen Jurusan Seni Teater, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang, Sumatera Barat. Pendiri/Penasehat Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang, Sumatera Barat.