Puisi Afrizal Malna
para pengungsi dalam tenda yang terlalu tenangi
aku ingin bercerita padamu
suara rendah dan hati-hati di lantai goyah
wajahku tak berani menatapmu
agar kau tidak berada dalam lampu sorot siaran berita
atau sebuah titik sunyi dari sejarah yang patah
mencari bentuk akhir dari pelarian yang terus pecah
goyah, lalu setiap berita sibuk
membersihkan lantai yang berantakan
aku ingin bercerita tanpa lampu
dalam kegelapan yang terus membantah suara yang sibuk
mencari bentuk – dan tanah yang dijarah
selimut yang basah oleh air laut – angin dingin
dan bintang-bintang sirna dalam cahayanya
lampu aku matikan. hanya suara
apakah bahasa ikut padam. aku berbaring
mata aku pejamkan. apakah kau telah padam
suara mobil melintas datang lagi dan pergi lagi
kenangan tanah ibu di bawah mesin perampokan masakini
suara serangga terdengar dalam gelombang konstan
telinga membuat struktur dari keributan di luar
menjadi di dalam keributan
aku buka mataku
cahaya bulan mengabaikan bingkai jendela terakhir
membuat batas gelap dan terang
gerombolan-gerombolan di luar dan di dalam kematian
lampu aku nyalakan. udara mengirim kenangan
lampu aku matikan. apakah cerita bisa padam
aku berbaring. mata aku pejamkan
tetapi bisik-bisik terus menyala
gerombolan bertopeng terus merampokku
penunggang kuda dengan pedang menikam bahasa
bahkan merampok kebisuanku
apakan ruang ketika angin berhembus – (tetapi tak terlihat)
ketika waktu terus bergerak maju – (entah kemana)
aku ingin bercerita padamu, persis seperti email yang kau tulis
untuk kami: “sebuah tempat untuk berhenti telah hilang
malam ini. dan kita siapa waktu tidur.”
karung merica heinrich heine dan jangkar tambora
kau pakai tubuhku untuk berdiri di sini, tubuh dari bengkel ingatan.
sekarang, 200 tahun berputar ke belakang, pamanku, saudagar “si
karung merica” itu, berdiri di balkon villanya, di pinggir sungai elbe
belum malam. berulang kali, apa itu? jaring laba-laba di antara arah
mata angin: layar kapal-kapal barang, kibaran bendera di bawah bau
batu bara; melempar tambang ke depan dan ke belakang, menjerat
pasar. melintas seperti pisau lipat dalam teropong, berulang kali. kau
sedang menimbang beratnya waktu? lada, merica, kopi, tembakau
dan impian dari tenggara. bau rempah-rempah yang tidak bisa
dibekukan ke dalam robekan kata. rasa heran pada sambal dan kulit
duren. berbelok, sebuah meriam seperti korek api dalam selimut,
menatap garis kaki langit antara awan tebal dan kabut bergaram:
“dusseldorf, hamburg, berlin, paris, batavia … puisi di bawah bising
bengkel bahasa.”
laut pasang – kesunyian jadi buas dal liar – masuk ke perut sungai.
air mengepung kota. sungai elbe mencakar tubuhku, melewati batas
bernapas. bias cahaya pada pantulan air, pantat kapal, reruntuhan
ekonomi dan ringkik kuda napoleon. “si karung merica” itu
tenggelam, tetapi terus mengintai dengan teropongnya. berulang kali:
lompatan air pada dinding sungai, kayuhan kaki-kaki bebek
meluncur menembus terbang: cahaya matahari seperti tebaran emas
tak bisa digenggam. dan air surut. sebuah bungkusan hitam terapung-
apung di sungai. terus memuntahkan asap dari tambora, 1815,
setelah 200 tahun (sekarang yang berulang). sebuah gunung dari
tenggara – melompat – menghentikan perang. jangkar dari material
vulkanik yang mengubah waktu, dijatuhkan di wina. pintu-pintu asia
tenggara terbuka dan lepas.
“si karung merica” kembali muncul di permukaan sungai. berulang
kali, apakah ini? sebelum masakini digital. kapal-kapal konteiner,
pesawat udara dan kamar chatting. yang bebek teruslah bebek, yang
sungai teruslah sungai. setelah 200 tahun jangkar diturunkan, sebuah
teropong gila antara yang melihat dan dilihat. berdiri, seperti bengkel
ingatan setelah lupa. di pinggir sungai elbe, setelah log out.
Sumber puisi kompas.wordpress.com