Melawan Korupsi dengan Puisi
OLEH: AHMADUN YOSI HERFANDA, penyair.
Hingga hari ini, melalui gerakan Puisi Menolak Korupsi (PMK) masih dapat kita baca teks-teks puisi anti-korupsi. Kita dapat menyimak bagaimana persoalan korupsi di mata para penyair Indonesia — semua penyair membenci korupsi. Bahkan, banyak di antaranya yang meluapkan kemarahan terhadap para koruptor dan tak kurang yang mencaci mereka. Seperti dicatat oleh para penyair, makin hari kasus korupsi makin menggerogoti kesehatan tubuh bangsa ini, dan jika tidak kunjung dapat dihentikan, mungkin bangsa ini akan benar-benar bangkrut.
Gerakan Puisi Menolak Korupsi (PMK) yang dimotori oleh penyair Sosiawan Leak ini menarik, karena mengusung puisi-puisi anti-korupsi yang umumnya sangat keras dan lugas. Tetapi, bukan karena saya yakin bahwa sajak-sajak anti-korupsi karya para penyair Indonesia itu akan mampu menghentikan kecenderungan politik dan kekuasaan yang korup, namun karena di kepala saya muncul sebuah pertanyaan yang sangat menohok: apa arti puisi di tengah zaman yang sudah benar-benar gila seperti sekarang ini? Lha wong undang-undang, penjara, dan ayat suci, saja tidak mempan untuk menghentikan korupsi; apalagi hanya puisi?
Seperti kita baca, kita dengar, dan kita lihat, bangsa ini sedang berada di dalam zaman yang — menurut istilah Ronggowarsito — sangat pantas disebut sebagai ”zaman edan”. Zaman di mana kebenaran dijungkirbalikkan, zaman ketika uang dan kekuasaan menjadi tuhan, zaman ketika para ”garong berdasi” berpesta merayakan kemenangan, zaman ketika hukum dan kebenaran diperdagangkan, zaman ketika ayat suci hanya dijadikan kedok untuk menzalimi rakyat sendiri, zaman ketika pemimpin negeri sudah kehilangan wibawa dan tak tahu harus berbuat apa.
Di tengah zaman yang sudah keos seperti itu, yang sudah serba gila, dapatkah kita berharap pada “mahluk ganjil” bernama puisi? Menghadapi kenyataan seperti itu, rasanya kita sulit berharap dari puisi. Apalagi, jika melihat kenyataan bahwa tingkat apresiasi sastra masyarakat masih rendah dan kita tidak yakin ada elit politik dan kekuasaan yang suka serta sempat membaca puisi, dan tersugesti olehnya untuk berubah menjadi elit politik yang patut diteladani.
Perjuangan penyair untuk melawan korupsi melalui puisi rasanya akan berat dan memerlukan waktu yang panjang, jauh lebih panjang daripada perjuangan KPK. Tetapi, sebagai orang yang beragama, kita tidak boleh putus asa. Betapapun redupnya cahaya harapaan itu, betapapun kecilnya peluang puisi untuk ikut mendorong proses pencerahan masyarakat ke arah keadaan yang lebih baik, yang bebas dari korupsi, kita mesti terus berupaya untuk mewujudkannya. Meskipun, dalam waktu lama, kita harus rela menjadi Sisipus, yang dengan susah payah, tanpa kenal menyerah, terus berupaya mendorong “batu harapan” ke atas “bukit kemenangan”.
Kita masih berharap pada peran puisi, karena di dalam puisi terkandung nilai-nilai positif, sejak nilai-nilai budaya, sosial, moral, kemanusiaan, hingga agama, yang mampu mensugesti pembacanya untuk menjadi lebih baik. Puisi adalah sumber nilai kedua setelah agama. Kaum romantik bahkan meyakini bahwa puisi mengandung pesan kebenaran yang setara dengan kitab suci. Setidaknya, filosof Aristoteles menyejajarkan puisi dengan filsafat (konsep tentang kebijaksanaan hidup).
Puisi, juga potensial untuk hadir secara lebih filosofis dibanding sejarah. Sebab, sejarah hanya mencatat kejadian atau peristiwa terpenting yang kasat mata dan berpusat pada kekuasaan. Sedangkan puisi dapat mengungkap hal-hal yang tersembunyi di balik peristiwa, termasuk yang tersembunyi di dalam batin manusia (para pelaku sejarah), sekaligus ”meramal” apa yang bakal terjadi di masa depan, sebagaimana ”ramalan” sekaligus peringatan tentang zaman edan dalam ”Serat Kalathida” karya Ranggawarsita, yang tetap relevan hingga sekarang – terjemahan bebasnya sbb:
Hidup di zaman edan,
gelap jiwa bingung pikiran
turut edan hati tak tahan
jika tak turut
batin merana dan penasaran
tertindas dan kelaparan
tapi janji Tuhan sudah pasti
seuntung apa pun orang yang lupa daratan
lebih selamat orang yang menjaga kesadaran.
Kalangan pragmatik — yang cenderung memandang karya sastra dari sisi manfaat non-literernya – meyakini bahwa puisi memiliki potensi untuk menjadi sumber nilai ataupun sumber inspirasi untuk meningkatkan kualitas diri pembacanya. Mereka berkeyanikan bahwa puisi dapat memberikan pencerahan nurani dan intelektual pembacanya. Sifat komunikasinya yang langsung menyentuh perasaan dan pikiran tiap individu yang menikmatinya, membuat puisi memiliki daya sugesti yang cukup kuat untuk mempengaruhi pikiran dan perasaan tiap pembacanya.
Sejarah telah mencatat bahwa puisi dapat menjadi sumber inspirasi untuk membangun suatu kesadaran sosial guna mendorong terjadinya proses perubahan masyarakat dari kondisi buruk ke kondisi yang lebih baik. Dalam bahasa media, puisi mampu membangun semacam opini publik. Jika bangunan opini publik itu menguat dan meluas, maka proses perubahan sosial akan dapat digerakkan. Menurut M.H. Abrams (1981), puisi dapat dimanfaatkan untuk kepentingan non-literer, yakni sebagai media untuk mencapai tujuan tertentu pada pembacanya. Melalui roadshow PMK, para penyair Indonesia memanfaatkan puisi sebagai media untuk ikut menyembuhkan bangsa ini dari wabah korupsi, dan menyadarkan kita semua akan bahaya korupsi. Karena itu, wabah korupsi harus diberantas dan para koruptornya harus dihukum berat – kalau perlu, dihukum gantung!. Penyair memang hanya punya kata-kata, tapi kata-kata dapat hadir lebih keras daripada ketuk palu hakim di pengadilan, bahkan bisa lebih tajam dari peluru!***