Topeng Cerimin
SATU sore yang cerah, Desa Gedebus dikejutkan dengan kabar miris: Seorang anggota dewan terjun ke dalam jurang setelah mengenakan sebuah topeng kayu.
***
Pembuat topeng kayu itu bernama Cerimin. Ia satu-satunya pembuat topeng kayu yang tersisa di desanya. Cerita tentang topeng buatannya telah tersebar ke berbagai tempat dan membuat namanya cukup dikenal orang, bahkan sampai ke luar negeri.
Garis keriput di wajah Cerimin melukiskan renta usia. Garis wajah yang juga menunjukkan perjalanan panjangnya membuat berbagai topeng. Tubuhnya pendek dan memiliki sepasang mata kecil—mata yang tampak jeli dan mampu melihat sesuatu yang tersembunyi dari wajah orang lain. Rambut beruban yang tumbuh di kepala dibiarkan gondrong, dikuncir ke atas supaya tidak menutup pandangan. Jenggot putih menggantung hampir sampai ke dada bagaikan kapas putih. Seekor anjing betina, tua tapi lincah, setia menemani. Anjing yang Cerimin anggap jelmaan istrinya yang telah lama mati. Anjing yang mengikutinya ke mana pun ia pergi.
Untuk hidup sehari-hari Cerimin tak pernah susah. Ia sering pergi ke hutan untuk memetik sayur dan umbi-umbian. Hutan belukar yang luasnya lima kali Desa Gedebus. Di sana tumbuh bermacam pohon—dan tentunya tumbuhan lain yang bisa dimakan. Kadang-kadang ia menemukan buah hutan yang manis.
Jika pergi ke hutan, tak lupa Cerimin menyebak kesemak, meliuk ke relung belukar yang sepi demi mendapatkan sepotong kesambi yang berumur. Pohon yang tak segampang menemukan pohon sengon ataupun pohon pule. Kayu kesambi dipilihnya sebab seratnya lebih padat, keras, ulet, kenyal, dan tahan terhadap perubahan kering dan basah berganti-ganti sehingga tak mudah menyerpih. Cocok dan sangat awet untuk materi topeng. Jika ia beruntung, kayu kesambi dipenggal satu meter, digelundungkan dari bukit ke ladangnya, lalu dipanggul ke rumah.
Topeng buatan Cerimin tidak banyak. Selama berpuluh tahun membuat topeng jumlahnya belum melebihi lima puluh. Ia akan membuat topeng jika ada pesanan. Beberapa topeng yang dipesan itu terpajang di dinding, belum sempat diambil pemiliknya. Sisi dalam topeng itu terpahat nama pemesan dan kalender penanggalan. Topeng-topeng itu tak boleh disentuh siapa pun, kecuali tangan Cerimin dan bakal pemiliknya. Anjing betina setia berjaga di dekat topeng-topeng itu setiap ada orang yang datang.
Deretan topeng itu sebagian sisa pesanan dari pejabat. Ada pula milik seorang gubernur dan politisi hebat. Sementara satu topeng wajah presiden urung diambil karena orangnya keburu wafat: topeng Tuan Agung Gatheli dari Negeri Adigang Kilen. Orang terkenal bisa pula memesan melalui tangan kepercayaanya. Namun, saat pengambilan harus oleh yang bersangkutan, sebab tidak sembarang tangan boleh memegang. Sekali dicoba topeng itu acapkali tak dapat dilepas lagi dari wajah pemakainya.
Topeng yang dibuat Cerimin memiliki permukaan sangat halus dan lembut. Teksturnya tegas, tapi tanpa terlihat sama sekali pori-pori lapisan luar, hingga warnanya menyatu dengan kulit sang pemesan. Itulah kenapa orang penting sampai datang memesan topeng padanya. Namun tidak setiap pesanan dipenuhi. Orang kaya raya sekalipun tak dijamin mendapatkan topeng meskipun siap membayar tinggi untuk pesanannya. Topeng Cerimin tidak dapat dihargai dengan uang.
Demikianlah Cerimin membuat topeng bukanlah ladang untuk mengeruk nafkah, tapi lebih pada panggilan hati. Tangan terampilnya akan bekerja jika hatinya merasa harus bekerja. Dia mengukir topeng dengan gerak irama jiwa sendiri. Topeng adalah mahkota, simbol, pertanda, di mana kehormatan manusia disuguhkan kepada semesta. Dia dapat membaca karakter setiap topeng, tepatnya karakter setiap orang yang memesan topeng. Seperti topeng-topeng yang tertempel di dinding itu. Semuanya hidup sesuai pemiliknya, terutama di malam hari. Ada topeng yang memiliki satu biji mata dan menguarkan amis darah, ada yang hidungnya terlalu maju seperti moncong bemo hingga menutupi kumisnya, ada pula yang mulutnya dower mengucurkan air liur bau busuk dan sesekali lidahnya menjilat-jilat keluar. Jika siang, topeng-topeng itu kembali tampak indah, wajah-wajahnya bersih klimis seperti raut muka orang sering bersuci.
***
Baru kali ini Cerimin membuat sebuah topeng tanpa didahului sebuah pesanan. Topeng yang membawa malapetaka, itu.
Sore itu, di emper rumah berlantai tanah, peralatan membuat topeng berserak di depan Cerimin; gergaji kecil, mata pahat, lem, kayu, ampelas dan cat. Satu buah mata pahat menancap di cowelan kayu kecil. Anjing betina yang biasanya duduk tenang menemani, sejak pagi menampakkan raut gelisah dan mondar-mandir di muka pintu.
Cerimin senyum simpul melihat topeng buatannya. Topeng yang menegaskan pria kaya dan rupawan. Wajahnya lembut seperti kulit bayi. Bening matanya terlihat tanpa dosa, dengan sorot mata teduh menenteramkan. Dan bibir topeng itu, hmm…ranum, seperti bibir yang selalu dibasuh ayat-ayat suci. Topeng itu segera ia simpan di meja kecil dekat punggungnya.
Terdengar anjingnya berlari keluar. Cerimin segera mengawasi halaman depan. Seorang laki-laki bertubuh gemuk muncul. Anjing menyambut orang itu dengan gonggong sebentar, kemudian mundur dan duduk gelisah di belakang Cerimin. Belaian jemari keriput Cerimin menenangkannnya.
Laki-laki itu bernama Bandi, datang dari ibukota. Kesan pertama, bersikap santun seolah cerminan orang terdidik. Tanpa diminta, Bandi mengenalkan diri. Dia dulunya seorang dosen dan lulusan doktor luar negeri. Kemudian ia mendirikan perusahaan kayu. Usahanya maju pesat dan mengantarkannya duduk jadi anggota dewan yang disegani kolega-koleganya. Cerimin manggut-manggut saja mendengarkan sambil menunduk. Anjing betina hanya melet-melet.
Cerimin sudah menangkap maksud kedatangan lelaki itu. Orang yang datang padanya tidak pernah untuk urusan selain topeng. Dan benar saja, Bandi meminta dibuatkan topeng mirip wajahnya. Topeng yang mencerminkan sebuah wajah terhormat. Wajah yang bisa ia tampilkan di berbagai kesempatan.
“Wajah bapak sudah bagus, kenapa perlu topeng?” ujar Cerimin menguji tamunya.
“Tolong, Pak, saya harus punya topeng. Banyak urusan yang saya tangani, tidak mungkin saya hanya pakai satu wajah.” Bandi memelas. Dia berkeras meyakinkan Cerimin agar bersedia membuatkan topeng untuknya. Dia sudah banyak mendengar bahwa Cerimin tak mudah dirayu dengan cara apa pun. Tapi dia tetap memohon, meski rasa khawatir tetap mengganggu kalau-kalau Cerimin benar-benar menolak.
Cerimin mengambil topeng yang baru disimpannya. Ia meniup seolah ada debu yang menempel. Bandi terpana, matanya berbinar-binar. Topeng itu luar biasa sempurna.
“Lihat dirimu. Wajahmu sudah sangat lembut dan bagus, seperti wajah topeng yang kupegang ini,” kata Cerimin.
“Sungguh, saya sangat beruntung mendapatkan…”
“Tidak!” Cerimin tiba-tiba memotong. “Topeng ini bukan untukmu.”
“Saya mohon, berikan topeng itu. Saya…” Hampir saja Bandi menyebutkan sejumlah uang atau harta benda kalau saja dia tidak ingat cerita orang-orang bahwa semua itu hanya akan membuat hati Cerimin pundung dan mengusirnya.
Cerimin kukuh dalam pendirian. Memang, topeng itu belum ada yang memesan, tapi bukan berarti dapat dilepas pada sembarang orang.
Tiba-tiba Bandi diamuk emosi. Ia merasa kehabisan akal merayu Cerimin dan ngotot mencoba merebut topeng. Cerimin mendekap topeng kuat-kuat. Anjing betina menyalak kencang. Perhatiin Cerimin terpecah antara topeng dan anjingnya. Pada detik itulah, Bandi memanfaatkannya dengan licik. Topeng itu disambar dengan lompatan katak dan ia langsung balik menjauhi Cerimin.
Dalam sekejap, topeng pun melekat di wajah Bandi. Sementara anjing betina dan Cerimin hanya bisa memandang gemetaran.
Bandi tertawa menang. Topeng sudah menyatu dengan wajah. Topeng yang sungguh-sungguh ia inginkan. Sambil berlari ke mobil di halaman dia mengumbar janji akan mengirim anak buahnya untuk mengantarkan uang atau apa pun yang akan diminta Cerimin. Tapi Cerimin tak mau mendengarkan. Hatinya sangat terpukul dan kecewa.
Sebelum masuk mobil, Bandi menatap topeng di wajahnya di kaca spion. Bandi Terperanjat. Aneh sekali. Wajahnya tampak memerah, terasa panas, dan gatal-gatal. Kepanikan menjalari perasaan. Dengan kasar pintu mobil dibuka, lalu melompat masuk. Ingin secepatnya dia pergi dari rumah terkutuk itu. Buru-buru ia menyalakan mesin, sambil matanya melihat cermin di atas stir.
Mata Bandi terbelalak. Cermin di atas stir itu tiba-tiba seperti layar mini yang memutar ulang masa lalunya. Ditatapnya lekat-lekat wajah bertopeng itu. Sangat memalukan. Skandal-skandal yang ia lakukan tampak sangat jelas; ia yang bermain dengan para pejabat, berbuat dosa dengan para perempuan muda di berbagai hotel, hingga keterlibatannya dalam pembunuhan berencana seorang lawan politiknya.
Dengan dibebani perasan malu, Bandi menginjak dalam-dalam pedal gas mobilnya dan ia melaju kencang, sangat kencang, hingga terjun ke dalam jurang. Kabar yang beredar pemilik mobil itu sengaja menjatuhkan mobilnya ke jurang karena ketakutan melihat wajahnya sendiri. (*)
Gusti Margy
Penulis alumni Universitas Negeri Yogyakarta, kini bekerja dan tinggal di Tangerang.