Puisi-Puisi Beni Guntarman
Beni Guntarman kelahiran Pendopo (PALI) Sumatera Selatan, 31 Maret 1962. Pernah kuliah di Fak. Peternakan IPB dan Program Diploma III Akuntansi di Universitas Sriwijaya. Saat ini berdomisili di Batam.
Penulis aktif menulis puisi di pelbagai blog dan situs sastra. Tercantum dalam 100 penulis dalam buku 1000 Haiku Indonesia, Antologi bersama Untuk Jantung Perempuan, dan juga tercantum dalam Kitab Karmina Indonesia. Saat ini bekerja dan menetap di Batam.
Seorang Nelayan Tua dan Kapal Kertas
sebuah kecupan di bibirnya dan dia pergi berlayar
berbekalkan kapal kertas yang dilipatnya semalam
menyebrangi samudra dan mengitari luasnya benua
mencari pelabuhan hati yang jauhnya tak tergapai
tercampakkan bagai jangkar tua di lautan dalam
tenggelam purnama dalam alunan gelombangnya
bersahutan ombak saling memburu dan mengejar
terhempas hatinya dalam jeram bibir laut kenangan
langit sia-sia dalam gumpalan kabut kelam hidupnya
sesekali terlihat berpendar sinar bintang di ufuk jauh
deru angin malam di langit sunyi mengurai kekusutan
di kejauhan sana, gemuruh ombak bersahut gemuruh
sebuah kecupan di bibirnya dan dia terbang melayang
bagai camar putih terbang riang mengejar laju ombak
nelayan tua itu melepaskan jejaringnya ke lautan dalam
menjaring matahari tenggelam dari atas kapal kertasnya
Batam, 2015
Pengemis Tua di Pasar Pagi
Berbaur suara-suara di keramaian kota
Roda-roda kehidupan keras berputar laju
Debu berterbangan dihembus angin kering
Pasar pagi penuh sesak para pengunjung
Pejuang tua itu di sudut pasar nan kumuh
Menengadahkan tangannya meminta-minta
Kaleng bekas menjadi mangkok harapannya
Berharap belas kasih pada hati yang tergerak
Tubuh renta penuh luka peluru di sekujurya
Bening air matanya menatap yang lalu-lalang
Berat lidahnya tak mampu berkata meminta
Hanya kaleng bekas itu yang disodorkannya
Pengemis tua itu terduduk lemas dan kecewa
Tiada kepingan uang receh menghampirinya
Hatinya merintih menatap yang berlalu-lalang
Memejamkan matanya, memaafkan bangsanya!
Batam, 2015
Ode Bagi Sepatu Tua
sepatuku
tampak tua dan kusam
menempel padanya lumpur
dan debu-debu kemarau
sisa-sisa perjalananku
di segala sisinya
tapaknya telah menipis
menanggung derita jarak
yang kujejak yang kutempuh
bergesek dengan kerasnya aspal
berbenturan dengan tajamnya bebatu
memikul beban tubuhku
memikul beban di kepalaku
di setiap langkahku
tak pernah kutanyakan kepadamu
seberapa lelahnya engkau menemaniku
mengikuti setiap langkahku
menempuh perjalanan yang jauh
perjalanan yang belum tahu kapan berakhir
kakiku selalu mencarimu
saat hendak menjemput hari
hingga petang datang memburu
dan menebar tabir gelapnya
lalu kulepas engkau
kuletakan di sudut ruang
kuletakan di luar hati
tanpa menolehmu
tanpa mengucapkan terima kasih
atas pengorbananmu hari ini
atas kesetianmu
melindungiku dari duri-duri
dari bebatu tajam
dari kotoran, lumpur, dan debu
kesetiaanmu yang tak berbatas
dengannya hari-hariku bangkit
menatap langit
menapak di bumi
menapak jalan berliku dan terjal
mengukur jarak
menghitung waktu
menguras peluh
merasakan panasnya matahari
membakar langkahku!
Batam, 2015