ARTIKEL 

Sastra dan Perjuangan

Sastra bagi sebagian besar orang dipahami hanya sebagai sebuah hobi atau kesenangan. Bagi mereka yang suka membaca, maka sastra bisa menjadi media. Dengan membaca karya sastra, mereka akan memperoleh kepuasan. Karya sastra yang dalam anggapan masyarakat awam identik dengan puisi, cerpen atau novel, juga bisa jadi teater adalah hanya sebuah karya fiksi dan menjadi hiburan semata.

Bagi sebagian orang lagi sastra adalah pilihan. Kategori ini adalah bagi mereka yang memiliki hobi menulis dan berharap menjadi seorang penulis. Konsistensi mereka dengan menulis karya sastra kelak akan menobatkan mereka dengan beberapa istilah dan julukan yang populer semacam Sastrawan, Penyair, Cerpenis, Novelis, Dramawan atau bahkan Budayawan.

Sangat sedikit sekali orang yang menjadikan sastra sebagai alat perjuangan, padahal sesungguhnya sejarah dunia dan sejarah Indonesia mencatat bahwa sastra memiliki peranan yang begitu besar bagi perjuangan bangsa. Sebut saja Rabrinndarath Tagore di India, Muhammad Iqbal di Pakistan, Jose Rizal di Philipina, beberapa sastrawan Amerika latin, juga Sastrawan Nusantara sebelum era kemerdekaan seperti Amir Hamzah, Muhammad Yamin, dan tentu saja Chairil Anwar, meski nama yang disebut terakhir ini masih diperdebatkan kiprah dan konsistensinya dalam berjuang untuk membela negri, kontroversi tentangnya lebih dominan mewarnai hidup si binatang jalang ini. Lewat karya sastra mereka menyuarakan dan menggelorakan semangat anak bangsa untuk berjuang. Bahkan Muhammad Yamin sendiri mendedikasikan hidupnya turut berjuang demi bangsa.

Masa itu telah berlalu, tetapi semangat revolusi zaman itu tetaplah layak ditiru. Di zaman setelah kemerdekaan ini, masihkah sastra memiliki peran sebagai alat perjuangan? Jawabnya tentu saja masih ada peran tersebut.

Perjuangan sesungguhnya tak pernah selesai. Perjuangan melawan ketidakadilan, perjuangan melawan korupsi, perjuangan melawan intervensi modal asing, bahkan juga perjuangan melawan hawa nafsu dan kerakusan diri kita sendiri sehingga terjadi ketimpangan sosial dan kemiskinan nurani di sekitar lingkungan sosial kita. Sesungguhnya kesewenang-wenangan, kezaliman, dan penindasan selalu terjadi di setiap masa.

Kita telah melihat seorang W.S Rendra (1935-2009) dengan lantang berbicara tentang banyak ketimpangan sosial yang terjadi di Republik ini. Bahkan sering sekali si burung merak ini harus berurusan dengan pihak berwajib karena kritik-kritiknya yang tajam lewat puisi dan teater. Begitu juga Wiji Thukul yang sampai saat ini bahkan keberadaannya masih menjadi misteri. Rendra dan Thukul barangkali sekadar contoh konkrit betapa sastra masih memiliki peran penting sebagai alat perjuangan.         Kita memang tidak harus mengambil sikap frontal seperti Rendra dan Thukul yang begitu jelas dan tegas posisi dan keberpihakan mereka baik secara ideologis dan politis. Bisa saja kita menyuarakan yang lain dengan kelembutan, ketegasan atau satire tentang nasib kaum minoritas, tentang realitas sosial yang timpang atau tentang nurani yang terbelenggu dengan banyak cara berdasarkan kemampuan dan selera seni yang kita miliki dan nikmati. Ya, kita tidak harus menjadi orang lain. Kita tetap bisa dengan bebas dan lantang tanpa kehilangan identitas diri kita.

Sangat mulia sekali jika karya sastra yang sesungguhnya memiliki jangkauan luas karena sastra sebagai bentuk tulisan yang banyak dibaca oleh masyarakat mulai menempatkan dirinya dengan mengambil peranan sebagai alat perjuangan selain tentu saja tidak mengabaikan unsur etika dan estetikanya.

Kembalilah kita pada semangat, bahwa setiap tulisan atau karya sastra yang kita terbitkan adalah sesuatu yang mesti kita pertanggungjawabkan baik secara sosial atau bahkan secara moral. Jika toh tidak setuju dengan ini, setidaknya karya kita adalah bentuk kejujuran nurani yang kita pertanggungjawabkan pada diri kita sendiri yang memiliki nilai edukatif dan evokatif bagi diri kita sendiri.

 

Mahrus Prihany

Related posts

Leave a Comment

two × 5 =