Mata yang Nakal
SETIYO BARDONO, penulis kelahiran Purworejo bermukim di Depok, Jawa Barat. Bergiat di Paguyuban Sastra Rabu Malam (Pasar Malam). Antologi puisi tunggalnya berjudul Mengering Basah (Aruskata Pers, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (Pasar Malam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014).
Aku berusaha memperkokoh pijakan di tengah desakan hebat penumpang kereta listrik. Selepas bebas dari jerat antrian masuk Stasiun Manggarai, biasanya KRL Commuter Line bisa melaju bebas hambatan. Namun laju kereta yang tersendat, mengisyaratkan adanya gangguan perjalanan.
Stasiun Manggarai serupa lambung bahkan jantung yang mengatur peredaran darah di jalur kereta Jabodetabek. Sebagai stasiun transit, Manggarai sibuk mengatur arus keluar masuk KRL dari arah empat penjuru: Bogor, Bekasi, Tanah Abang dan Jakarta Kota. Stasiun Manggarai juga harus memberi jalan pada kereta jarak jauh yang akan mengakhiri atau memulai perjalanan dari Stasiun Gambir.
Satu lambung manusia bisa kerepotan mengurusi satu mulut yang kadang tak berhenti makan. Apalagi satu lambung harus melayani kehendak empat mulut. Untuk meningkatkan pelayanan, rangkaian KRL bekas terus didatangkan. Sementara jalur yang dipakai bertambah. Seperti anak-anak yang terus lahir di rumah petak sempit. Akhirnya di jam-jam sibuk, KRL harus mengantri lama sebelum masuk Manggarai.
Ketika kereta bergerak meninggalkan Stasiun Manggarai, aku merasa lega. Namun ternyata ada gangguan lain menghadang di depan sana. Aku menatap orang-orang yang memenuhi peron stasiun Tebet. Kupersiapkan pijakan agar tubuh tak terdorong dahsyatnya arus masuk penumpang.
Tiap kali berhenti di stasiun dan pintu kereta terbuka, penumpang menyerbu dengan tenaga ekstra. Walaupun kondisi penuh sesak, banyak orang yang memaksa masuk ke dalam kereta. Selepas lelah mencari nafkah di ibukota, mungkin mereka ingin cepat sampai ke rumah. Melepas penat sambil berkumpul dengan keluarga atau bercengkerama dengan orang-orang tercinta.
Di tengah kepadatan penumpang, lelaki di depanku mengambil sesuatu di dalam tas. Tak lama, layar smartphone selebar setengah talenan terpampang seperti buku terbuka. Dengan tubuh setengah miring, tangannya lincah menuliskan huruf-huruf percakapan. Tak sengaja atau terbawa suasana, mataku ikut membaca.
Lelaki itu kutebak berumur empat puluhan tahun. Bisa juga kurang dari itu. Keras kehidupan di belantara ibukota sering membuat wajah seseorang melampaui umur sebenarnya. Lelaki itu sedang berbalas pesan dengan seseorang. Entah siapa, tak ada foto profil, hanya tulisan, semacam kode: Peron Tiga. Pasti hanya ia yang tahu makna dibalik kata itu. Namun yang jelas, beberapa kali ia mengetikkan kata: Yank. Ah, harusnya aku tak membacanya.
“Yank, nanti kita ketemu di lobi ITC Depok.”
Lelaki itu terdiam, matanya menatap ke arah luar kereta. Sepertinya ia menunggu jawaban dari seseorang di ujung percakapan teks. Mungkin karena tak juga mendapat balasan, ia menulis sebaris pesan.
“Terserah kamu deh Yank. Mau ketemu di mana.”
Mungkin lelaki itu tak enak hati hingga meralat lokasi pertemuan. Karena tak juga ada jawaban, lelaki itu kembali menuliskan pesan. Sepertinya ia merasa gusar.
“Ya sudah kalau kamu sedang sibuk. Lain kali saja kita ketemunya.”
Tak lama lelaki itu menutup percakapan. Dia kemudian membuka mengecek akun aplikasi lain. Nama aplikasi itu tak familiar di mataku. Sebuah tanda percakapan menyala meminta perhatian untuk dibuka. Sebuah nama wanita tertera di sana.
Kita sepakati saja pemilik akun itu bernama Mawar. Ah, seperti tayangan investigasi saja. Tapi mengapa harus Mawar? Apa salah Mawar? Kita bahas hal itu lain waktu saja. Kurasa sebelumnya lelaki itu pernah mengirim pesan pada Mawar. Entah apa, mungkin sudah terhapus jejaknya.
Yang jelas terbaca, Mawar memberi jawaban: Kamu mau berkencan denganku?
Mataku seakan tak percaya membaca kalimat yang menggoda itu. Aku tak sabar menanti jawaban. Ah, mengapa aku ikut penasaran?
Jemari lelaki itu ragu mengetikkan balasan. Aku menduga, ia tidak menyangka akan mendapat pertanyaan itu. Alih-alih memberi jawaban tegas, Lelaki itu mengetikkan tanya: Jadi kamu mau?
Jawaban itu terbang pada Mawar yang entah sedang berada di mana. Mungkin Mawar yang diam-diam ada di sekitar kita.
Karena tak ada respon segera, lelaki itu membuka koleksi foto di telepon genggamnya. Deretan foto keluarga satu persatu terlihat. Mataku berpacu dengan jempol tangannya yang bergerak sigap. Foto-foto bergeser cepat seperti pemandangan yang terbingkai kaca kereta.
Kuceritakan saja deretan foto yang teringat, harap maklum kalau ada yang terlewat. Seorang anak perempuan kecil berpose centil dalam beberapa frame. Foto Lelaki memeluk anak kecil itu. Foto-foto tempat wisata. Foto seorang perempuan. Foto kereta. Foto perempuan itu bersama anak perempuan kecil tadi. Foto sang lelaki memeluk mesra keduanya. Foto lelaki di tempat kerja.
Laju foto terhenti saat layar ponsel memperlihatkan sang lelaki berpose di samping mobil sedan mewah. Lelaki itu terdiam, seakan menimbang. Tak lama ia mengunggah foto itu sebagai foto profil akunnya. Mungkin foto itu paling merepresentasikan siapa dirinya.
Melihat deretan foto-foto itu, berbagai dugaan berseliweran di kepala. Serupa kereta melewati ruwet jalur Stasiun Manggarai. Namun aku tak berani mengambil kesimpulan. Tetesan hujan yang mengetuk kaca kereta seakan mengingatkanku agar tak mencampuri urusan orang.
Aku menghela nafas panjang. Jarak pandang ke luar kereta terhalang deras hujan. Udara semakin dingin. Mungkin karena kereta mengigil menerabas hujan deras. Kereta mulai merapat di Stasiun Depok Baru. Lelaki itu berkemas, begitu juga aku. Saat pintu terbuka, penumpang saling dorong keluar pintu sambil berlarian menghindari deras hujan. Desain atap stasiun tak mampu lindungi peron dari guyuran air hujan.
Hujan deras menghadang langkah menuju pintu keluar area stasiun. Sebagian penumpang memilih duduk di anak tangga. Sebagian lagi berdiri di sekitar pintu keluar. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh orang untuk berjualan jas hujan sekali pakai maupun payung lipat. Bocah-bocah kecil tak mau kalah, sambil berbasah-basah mereka berteriak menawarkan ojek payung.
Aku mengambil telepon genggam yang bersembunyi di tas rangsel. Di layar menyala pemberitahuan panggilan, beberapa pesan pendek, dan ratusan percakapan di grup media sosial. Kulihat ada delapan panggilan tak terjawab, sama persis dengan jumlah gerbong dalam satu rangkaian KRL yang baru saja kunaiki. Aku abaikan panggilan tak terjawab, sebab ada satu pesan yang harus segera dibalas.
“Ayah sampai dimana? Jangan lupa mampir pasar, beli 1 kg bawang merah, 1/2 kg bawang putih, 1 kg terigu, dan cabe rawit. Terigunya jangan seperti minggu lalu. Banyak kutu.”
Berarti malam ini aku harus blusukan ke Pasar Kemiri tak jauh dari stasiun, memantau harga-harga kebutuhan pokok. Walaupun ada payung, tapi hujan terlalu deras untuk diterabas. Membawa payung terbuka juga akan merepotkan langkah ketika melewati jalan sempit menuju pasar yang selalu becek saat penghujan.
Selain itu, telepon genggamku bergetar mengantarkan sebuah percakapan menggoda dari seseorang. Kuamati tubuh-tubuh berwajah lelah yang menunggu hujan reda. Aku memilih beranjak menuju sudut yang lumayan sepi. Aku harus menghindar dari mata-mata yang nakal yang suka iseng ikut membaca deretan pesan. Sebab ada banyak rahasia terpendam di telepon genggam.
Depok, 8 April 2016.