Seniman, Nasibmu Kini
Ketika mendengar kata seniman, mungkin kita memiliki banyak persamaan persepsi. Jika pun terdapat perbedaan, mungkin itu tak begitu signifikan. Persepsi sama yang muncul bisa jadi sosok seorang pelukis, sastrawan yang dalam hal ini adalah penyair atau juga sosok yang identik dengan alat musik seperti gitar, harmonika dan ukulele. Memang tak ada riset serius untuk ilustrasi seniman seperti yang tersebut di atas.
Jika mengacu pada transliterasi tentang kata seniman, maka kata tersebut berasal dari kata artist dalam bahasa Inggris. Hanya saja persepsi yang muncul di benak banyak orang saat mendengar kata artist yang juga cukup populer di tengah masyarakat kita, maka ilustrasi kita adalah seorang bintang sinetron atau film atau bisa jadi penyanyi. Tentu saja ini adalah kerancuan yang telah menjadi semacam salah kaprah. Tentu ada perbedaan yang cukup mendasar antara seniman, sastrawan, dan budayawan meski sering sekali kita membuat suatu generalisasi akan ketiga predikat tersebut.
Seniman, karena kata tersebut adalah transliterasi dari kata artist, maka kata itu adalah hiponim. Hipernim nya adalah pekerjaan atau profesi. Secara bersamaan kata seniman bisa menjadi hipernim. Hiponim dari seniman adalah pelukis yang memiliki kohiponim penari, pemahat atau pematung, perupa, pemusik juga bisa jadi penyair yang membacakan puisinya dengan diiringi musik yang sering disebut dengan nyanyian puisi atau musikalisasi puisi yang kini mulai marak tampil di panggung-panggung seni.
Perbedaan pandangan tentu boleh saja muncul atas kategorisasi seniman tersebut. Bisa jadi bahwa anda akan mengelompokkan pengamen dan musisi jalanan sebagai seniman juga. Bisa juga para seniman tradisional yang begitu banyak kita miliki. Itu sah-sah saja karena banyak juga dari mereka memiliki bakat dan kualitas seni yang sangat tinggi.
Terlepas dari segala perbedaan pendapat atau generalisasi antara seniman, sastrawan, dan budayawan, sesungguhnya ada persamaan yang begitu kental yang identik dengan ketiga predikat tersebut, yaitu tentang nasib dan kesejahteraan hidup mereka juga penghormatan masyarakat dan institusi terhadap peran dan karya mereka.
Seniman sesungguhnya memiliki prestige tinggi di masyarakat. Untuk memiliki predikat seniman tidaklah mudah. Masyarakat juga tidak begitu sembarangan memberi atribut pada seseorang untuk bisa disebut seniman. Keahlian, kiprah, penampilan, bakat, intelektualitas dan pembelajaran yang intensif bahkan karya adalah beberapa parameter bagi seseorang untuk bisa mendapat predikat tersebut. Latihan, proses dan jam terbang seseorang yang tinggi akan juga berpengaruh. Kita bisa kalkulasikan berapa bayak modal yang dikeluarkan seseorang untuk mencapai predikat itu. Tenaga, waktu, pikiran, biaya berupa uang yang dibelanjakan untuk membeli ratusan atau bahkan ribuan buku tentang seni, sastra, filsafat dan budaya untuk dibaca dan dipelajari belum lagi totalitas berlatih dan berproses dengan mendatangi sanggar, galeri, pameran, panggung pertunjukan dan komunitas-komunitas yang tentu saja membutuhkan biaya yang begitu banyak.
Setelah predikat tersebut didapat, kita bisa melihat sejauh mana penghargaan dan penghormatan orang banyak terhadap seniman. Predikat tersebut seolah hanya pemanis dan hiburan semata. Tak banyak orang yang cukup memahami dan menempatkan mereka secara layak. Bahkan dalam banyak panggung hiburan dan diskusi serius dengan undangan dan pada acara resmi yang berkaitan dengan pembelajaran, pemikiran, peningkatan kreatifitas dan pemberdayaan masyarakat, banyak seniman bahkan tak dihargai sama sekali. Mungkin hal ini masih bisa dimengerti jika yang mengundang adalah kalangan para seniman sendiri meski hal ini juga adalah tradisi yang kurang bagus dan tak boleh dijadikan suatu kebiasaan, bagaimanapun para seniman harus mulai belajar menghargai predikat dan profesi mereka sendiri.
Yang paling menyedihkan adalah jika yang mengundang berasal dari institusi seperti dunia pendidikan, perusahaan atau lembaga pemerintah yang sebenarnya memiliki anggaran besar untuk mengadakan acara yang kemudian perlu mengundang para seniman. Keberadaan seniman seolah-olah dipandang sebelah mata. Banyak seniman sesungguhnya memiliki jiwa sosial sangat tinggi sehingga mereka tak memasang tarif tinggi jika diundang dan diminta untuk mengisi acara. Celakanya, sifat rendah hati dan jiwa sosial yang tinggi ini sering dimanfaatkan oleh banyak pihak untuk tidak memberi penghargaan yang layak bahkan hanya cukup dengan ucapan terimakasih dari penyelenggara. Mereka para pengundang tidak berpikir jika seniman datang ke tempat acara perlu mengeluarkan biaya untuk transport dan juga latihan ekstra untuk persiapan acara tersebut karena seorang seniman juga memiliki keseriusan tinggi untuk tidak mengecewakan para penonton dan pengundang saat mereka tampil, belum lagi properti panggung yang terkadang harus mereka persiapkan. Kita bisa bayangkan jika ada seorang seniman harus pulang dengan berjalan kaki atau mencari tumpangan seusai mengisi suatu acara. Mereka tidak mempertimbangkan tentang proses panjang menjadi seniman. Bahkan para pengundang tidak memikirkan jika seniman juga memiliki tanggungjawab pada keluarga. Hal ini banyak terjadi dan mungkin anda sendiri sering mengalaminya. Sepertinya kita harus mulai menyadari dan memikirkan nasib para seniman.
Mahrus Prihany