Sajak-sajak dalam Aroma Daun Teh
Pagi dingin dan berkabut. Angin menebarkan aroma daun teh ke tenda-tenda dan barak Perkebunan Teh Limbangan, Kendal. Kerisik pohonan bercinta dengan kata-kata puitis yang dibacakan oleh beberapa penyair dan puluhan pecinta sastra Indonesia. Ada Wayan Jengki Sunarta dan Kardanis Muda Wijaya (Bali), Ada Iman Budi Santosa (Yogyakarta), Gus tf Sakai (Padang), Sigit Santosa (Kendal), Heri C Santoso, F Rahardi (Jakarta), dan Ahmadun Yosi Herfanda (Jakarta).
Hari itu, 22 April 2016, sedang berlangsung Kemah Sastra II bertema “Sastra sebagai Jeritan Jiwa” di perkebunan teh Limbangan, Kendal, sekitar dua jam perjalanan darat dari Semarang. Kegiatan untuk kedua kalinya ini digelar oleh Kumunitas Lereng Medini (KLM) dan kelompok Apsas (Apresiasi Sastra) Medini, bekerja sama dengan beberapa komunitas sastra Kendal dan Semarang.
Dengan memanfaatkan areal Perkemahan Kebun Teh Medini, Dusun Medini Ngesrep Balong, Limbangan, Kendal, Jawa Tengah, panitia menggelar bincang sastra, bedah buku, pentas baca puisi, pentas teater, dongeng, dan jalan-jalan sastrawi. “Kemah sastra kali ini lebih meriah dibanding kemah sastra pertama. Ada lebih dari 100 peserta yang mengikuti acara ini,” kata Sigit Susanto, panitia.
Peserta tampak antusias mengikuti acara sejak malam pertama, 22 April, yang diawali dengan bincang sastra bersama Ahmadun dan Sigit, yang membahas tiga karya terbarunya, di barak kebun teh itu. “Ini tempat yang sangat inspiratif, dan acara ini juga luar biasa. Ketika kota besar seperti Jakarta sudah penuh sesak dan kehilangan sumber inspirasi bagi penyair, areal kebun teh ini dapat menjadi pilihan untuk menulis puisi,” kata Ahmadun.
Usai berdiskusi, peserta dibawa ke areal perkemahan untuk menyaksikan pertunjukan teater. Keesokan paginya, peserta menikmati jalan-jalan bebas di areal kebun teh, melihat air terjun dan gua Jepang. Menjelang siang, diisi baca puisi di barak, dan pelatihan penulisan puisi di areal perkemahan.
Pada presentasinya, Iman Budhi Santosa menjelaskan bahwa puisi lebih dari sekedar ungkapan perasaan dengan bahasa yang indah semata. Puisi Indonesia, menurutnya, cenderung menggunakan bahasa yang melambai-lambai bahkan bisa dikatakan lebay. “Saya tidak suka pada penggunaan bahasa yang berlebihan. Sastra itu hasil dari pikiran dan perasaan yang baik, yang jernih, dan mengajak kita untuk tidak berbohong,” katanya.
Nama-nama lain yang iut menyemarakkan Kemah Sastra II ini adalah Prima Sulistya, Daurie Bintang, Pamungkas, Esther Mahanani, Agus Surawan, Setya Naka Andrian, Mbah Djamali, Bambang Eko Prasetyo, dan Sandra Palupi. Acara juga dimeriahkan bazar buku sastra, bedah buku, dan pelatihan menulis. (rl)