Ular
Dee Hwang, Kelahiran 9 September 1991. Lulusan FKIP biologi universitas sriwijaya. Saat ini aktif menekuni dunia musik sebagai pemain Biola di SAMS Chamber Orchestra Jogjakarta. Senang melukis, tarik suara, terlebih-lebih sastra baik Cerpen ataupun Puisi. Tergabung dalam Ikatan Bujang Gadis Ogan Ilir dan aktif dalam kegiatan kedaerahan khususnya sosial dan pariwisata. Bermimpi suatu hari memiliki Galeri Lukis sendiri.
Pak Buntak buru-buru mengantongi telepon genggamnya. Suara kepala sekolah tertawa dengan keras, semacam aba-aba agar semua guru dapat menyambut tetamu dengan senyuman ramah, menggema sampai ke ujung dapur sekolah. Dua orang lelaki berseragam abu dengan tanda bintang di bahu baju mengetuk-ngetukkan langkah macam sengaja. Suara “orang dinas” terdengar mengekor, sementara lelaki berbadan kecil yang punya kedudukan paling tinggi di kabupaten ada di barisan paling depan. “Nah. Macam inilah yang aku suka.” Pak Bupati, lelaki berbadan mini dengan senyum sumringah itu meninggikan kepala.
Pak Buntak berdiri di belakang pintu dapur. Sesekali ia mengintip macam maling yang diburu massa. Pengarahan di lapangan akan segera dimulai dan ia berharap pak Bupati dapat segera naik ke podium. Biasanya, kunjungan satu kali setahun ini akan menjadikan pak Bupati sebagai pembina; hal yang tak pernah disukai para siswa apalagi bila seputar nasehat basi nanti disampaikan dibawah terik matahari pagi.
Setiap kali pak Bupati sampai ke sekolah ini, suasana sekolah akan selalu tegang. Macam kedatangan mertua yang tengah menyidak rumah menantunya sendiri, semua harus ditata sesuai dan berakting macam paling benar semua. Segala keburukan seperti datang terlambat, pakaian dan rambut siswa yang tak wajar, sampai kendaraan milik kepala sekolah yang lebih mewah dari milik bupati itu disimpan dahulu.
Pak Buntak adalah guru yang lupa bahwa segala sesuatu wajib bersifat sempurna hari ini. Kepala sekolah pasti tak senang menemukannya menggunakan kemeja yang tak disetrika. Pak Buntak mengingat-ingat apakah ada guru yang dapat menjadi temannya bila ia ketahuan tengah bersembunyi dari penglihatan. Bu Rahma yang kerap mewarnai kuku jarinya senada dengan jilbab yang dipakai, pun Pak Rupar yang kerap salah memanggil nama, adalah dua guru yang ada dalam daftarnya.
*****
Lima menit menjelang pengarahan dan pak Bupati masih berdiri di depan pintu kantor guru. Sesekali ia melempar pandangan ke halaman dan memperhatikan betapa kering halaman semen itu. Bau debu berseliweran ketika penjaga sekolah yang menenteng ember setengah penuh, masih memercik-mercikan air seakan itu tugas piketnya.
“Semua sudah siap?”
“Tentu saja, Pak. Saya yakin siswa SMP 100 akan lulus dengan nilai memuaskan semua. Sama seperti tahun lalu.”
Pak Buntak terselak bukan karena ekspektasi, pun, jumlah guru di sekolah menengah pertama tersebut disebutkan dan Pak Bupati bergumam menghitungi guru satu persatu. Ia hilang fokus, payah, dan penampakannya pagi ini seperti korban lelayu. Sarapan pempek lenjer kedua yang ada di tangan Pak Buntak baru saja jatuh ke lantai. Tentu, lelaki berbadan tambun itu jauh lebih gamang akan kelaparan dibandingkan surat peringatan.
“soal-soal ujian dari pusat sudah datang kemarin malam. Masih utuh tersegel.” Jelas kepala sekolah mengalihkan. Nampaknya, ia menyadari ada orang kepercayaannya yang bersembunyi di dapur sekolah. Pintu dapur bergerak-gerak dan suara sendawa terdengar dari sana. “Bagus. Semoga kegiatan lancar. Semakin memantaskan diri menjadi sekolah unggulan.” Ujar Bupati diiringi anggukan. Senyum optimis disuguhkan pula oleh guru-guru pendamping di sana.
Para guru sebenarnya sudah saling lirik kanan kiri. Pak Buntak sedari awal jadi bahan gunjingan. Guru baru itu, yang tiba-tiba saja macam memegang jabatan sebagai perpanjangan lidah kepala sekolah, memang rawan membuat kesalahan. Bukan hanya manajemen waktunya yang payah, atau perihal materi-materi di kelas,-padahal seyogyanya ia mengajarkan ilmu pencernaan, bukan bumbu masakan-, atau pula tentang memarahi siswanya padahal mereka memberikan jawaban yang benar, Pak Buntak adalah lelaki yang selalu menghabiskan sisa waktunya (dan bekal guru yang tiba-tiba hilang) di dapur sekolah. Tak heran bila nama lahirnya sama makna dengan ukuran badan.
Pak Buntak,- yang saban berjalan dari seberang ke seberang, bercelana ketat yang kerap ia naikkan, beralis naik turun macam ia berpikir benar-, memang persis anak kecil yang kurang mainan. Lelaki itu masih tak keluar ruang, pun, tak seorang pun berani membuka ucapan. Kalau saja ia bukan adik kandung kepala sekolah, siapa pun tidak akan sungkan untuk mempermalukannya dengan kata-kata.
*****
Bel telah dibunyikan. Para siswa sudah berbaris rapi di halaman sekolah. Guru menempati tempat berdirinya masing-masing. Guru yang lain meraun di belakang barisan siswa; kalau-kalau ada yang bengkok berdirinya, terpecah konsentrasi akibat bisik-bisik, panas matahari, atau kantuk karena belum makan nasi.
Saat Pak Bupati berdiri di tempat kehormatan, mengetuk-ngetuk mikrofon,-beberapa siswa yang berdiri di belakang malah tertawa kecil dan saling sikut, karena nafas yang besar dari lelaki itu turut masuk ke dalam filternya, bunyinya persis kerbau kawin-, Pak Buntak keluar dari sarangnya. Mengendap-endap, berbaris dengan para guru yang tersenyum karena pakaian yang pak Buntak gunakan kusut benar. Macam sadar diri, Pak Buntak pun berdiri di barisan kedua saja.
Kepala sekolah, yang berada di tempat siswa pembawa map pancasila biasanya berdiri, sesekali menyeka keringat. Tidak hanya karena ia khawatir pada tepat laku Pak Buntak atas instruksi tadi pagi melalui pesan singkat, tetapi pula karena tanggung jawab yang ia berikan sangatlah besar.
Kelulusan seratus persen mau tak mau butuh gerakan bawah tanah. Satu langkah inilah yang- katakanlah bukti bahwa prestasi akademik siswa di atas rata-rata-, dapat menjadikan animo masyarakat akan memasukkan anaknya ke sekolah ini kian besar. Bayangkan, betapa dimanjakannya sekolah ini oleh pusat dan masyarakat bila selalu menyandang posisi pertama.
Maka, guna menjaga kebaikan nama sekolah, ujian nasional hari ini akan dilakukan dengan strategi seperti tahun-tahun sebelumnya. Pak Buntak termangu-mangu karena tiba-tiba saja ia memegang peran. Namun mungkin ia sadar benar; ia orang baru. Sesungguhnya ia khawatir kalau-kalau lembar jawaban yang telah ia selipkan di meja siswa-siswa pilihan (tentu saja yang duduknya paling belakang) keberadaannya akan ketahuan. Kalau-kalau jawaban yang telah dilingkari lebih dahulu di sana tidak benar semua. Kalau-kalau siswa-siswa pilihan tidak berhasil menyebarkan jawaban untuk teman-temannya yang lain. Kalau-kalau ada siswa pilihan yang buruk hati lalu menyebarkan jawaban yang salah agar nilainya tinggi sendiri.
******
Mulut pak Buntak bergerak-gerak sendiri bukan karena tengah berbincang. Lelaki itu menggaruk-garuk pipi dengan kukunya, seakan-akan bagian dalam mulutnya terasa gatal. Kepala sekolah yang memperhatikan kelakuan adiknya sedari berdiri di barisan kedua itu, menggerung dalam hati, “Dasar, tukang makan!”
“Kerjakan soal-soal dengan teliti dan maksimal. Hasilnya kita serahkan kepada Tuhan.” Ujar Pak Bupati menutup nasehat. Ia turun dari podium diiringi tepuk tangan segenap siswa, orang dinas dan para guru. Bisik punya bisik, lelaki itu harus segera pergi untuk memantau sekolah negeri yang lain.
Kepala sekolah segera mencegah langkah. Kedua petinggi itu bertahan dalam tawa-tawa yang rendah. Basa-basi ini sebagai isyarat bahwa perbincangan empat mata sebelum memasuki ruang guru tadi pagi adalah perkara gampang, asal, ada biaya tambahan untuk orang dalam semisal Pak Bupati ingin harapannya itu terkabul,- anaknya yang paling bungsu masuk ke SMP unggulan tanpa seleksi macam-macam.
Seorang guru senior, Pak Nuh-badannya kurus dan wajahnya penuh bopeng jerawat-, telah dipersilahkan memimpin doa. Lelaki itu maju terhuyun macam seekor kukang. Lambat dan tak bersemangat. Biasanya, ada saja anak yang tertawa dan meniru lelaki ini dengan gerakan “slow motion”. Namun baru saja Pak Nuh hendak mengakhiri langkah, ia tergagap-gagap. Siswa-siswa menjerit ketakutan. Mereka kalang kabut membubarkan diri. Seorang siswi bahkan kuyup terkencing-kencing.
Guru perempuan sigap menenangkan situasi, yang lelaki memberanikan diri. Pak Bupati yang belum menyelesaikan perbincangan di luar pembinaan tadi, jatuh karena diserang dari belakang. Pak Buntak baru saja menendangnya dan berakrobat macam ahli benar. Pak Bupati pingsan sementara pak Buntak melompat dan berguling-guling di tengah lapangan. Pipi lelaki itu penuh luka garukan, lidahnya menjulur-julur panjang, dan ia meliuk seperti diiringi mantra-mantra seorang pawang. Nah,-seru siswa yang menyembunyikan boneka Jailangkung sedari awal cerita, bersembunyi ia di balik meja kelas bersama kawannya yang lain,-macam kesurupan pekan lalu yang menimpa seorang siswa saat upacara bendera, sebentar lagi pak Buntak akan diikat dan disiram karena mendesis layaknya seekor ular.
****