puisi 

Puisi-Puisi Muhammad Badrun

Muhammad Badrun lahir di Darmakradenan, Ajibarang, Banyumas, 4 Juni 1994, dan tinggal di Pondok Pesantren Al Hidayah, Karangsuci, Purwokerto, Jawa Tengah. Mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, IAIN Purwokerto ini bergiat di komunitas sastra Gubug Kecil. Puisi-puisinya pernah dimuat di beberapa media massa, seperti Pikiran Rakyat, Minggu Pagi, Pos Bali, Buletin Jejak, Sastra Mata Banua, Wawasan, Suara Merdeka, Medan Bisnis, Media Indonesia, dan Kedaulatan Rakyat. Puisi-pusinya juga terkumpul dalam antologi Cahaya Tarbiyah (STAIN-Press, 2013), Rodin Memahat Le Penseur (UKM KIAS, 2014), Kampus Hijau (IAIN-Press, 2015), dan Ode Kampung Halaman (FAM Publishing, 2015).

Prestasi Badrun yang lain: Juara 1 Lomba Puisi Festival Sastra Islam Nasional 2015 (FLP, 2015), dan Juara 2 Lomba Cipta Puisi Tingkat Nasional (Sabana Pustaka, 2015). Lima puisinya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris serta dipublikasikan di Zine Indonesian Literary Collective (ILiC) Festival Frankfurt Book Fair tahun 2015 di Berlin – Jerman.

 

 

HARI PENANGGUHAN

 

Dosadosa manusia bagai setitik tinta hitam yang mengisi secangkir bening air, yang daripadanya menjadi keruh dan kumuhlah tepi tubir cangkir.

 

Ada warta yang bisa memanjangkan usiamu agar tak cepat memanem uban di kepala, ialah penasbihan dosa yang sewaktu-waktu dapat diampuni sebelum menuju penghujung waktu yang ditentukan.

 

Apakah kita akan menepis kabar itu? Kabar yang telah lama hilang sejak zaman fatrah, menenggelamkan kaum nuh dari tumit kaki yang ingkar dan mulut pembual yang berkali-kali mengeluarkan aroma tak sedap. Dimanakah letak keberpalingan dari pengetahuan yang menjelaskan perihal wahyu dan waktu yang berangsur ke telinga, hinggalah tuli benar apa-apa yang telah diberitakan.

 

Karangsuci, 2016

 

HUJAN LEBAT

 

Permohonan kepada tuhan, akan dikabulkan dengan sepilihan doamu yang paling diam dan menundukkan: sebagai rasa penghambaan.

 

Sebentar lagi, akan datang hujan jika itu yang kau harapkan di selip-selip doa malammu, hingga aku rela menjadi teman semedimu di gulita mayapada ini.

 

Karena siang dan malam yang aku serukan di masa purba kini berkarib dengan denyut nadiku sehingga mereka mafhum.

 

Hujan turun dengan lebat, semua orang bersuka ria mendendangkan suara yang sebabkan gelegar petir menyambar, dan dibungkamlah nyanyian mereka dengan hujan yang makin mereda, mengering hingga keronta, dan habislah sisa-sisa suara.

 

Karangsuci, 2016

 

HARI KEJADIAN

 

Kamu takut kepada banjir, gunung meletus, dan kepada petir yang menyambar, sedang kepada tuhan kau menertawakannya.

 

Di tempat ini, harta diperbanyak, anak-anak dilestarikan, kebun-kebun juga sungai yang mengarak capung-capung semuanya ada, dan kita bahagia, bukan?

 

Kamu takut kepada banjir, gunung meletus, dan petir yang menyambar, sedang tuhan kau nafikan dengan ingkar.

 

Di gubug ini, ada banyak kenangan bagi pemimpi yang telah lama mencari tali, mencapai puncak bahagian, dan kita tetaplah jadi diri kita, yang lupa, bukan?

 

Hari di mana dijadikanlah kita manusia, telah tuntas, semua telah sampai pada pena kering tuhan, hanya saja satu yang perlu diperhatikan: mencari-cari makna di hari-hari yang piatu meski alastu sudah tepat dituliskan.

 

Karangsuci, 2016

 

 

 

 

 

 

 

Related posts

Leave a Comment

3 × five =