Testimoni
Yuditeha, Penulis segala yang hobi melukis wajah dan bernyanyi puisi sambil memainkan alat musik terutama gitar. Penyuka bakpia dan onde-onde. Kini aktif di Komunitas Sastra Alit Surakarta. Tinggal di Jaten RT. 01 RW. 14 Jaten, Karanganyar, Jawa Tengah.
Belanja kebutuhan rutin kali ini aku ingin sekalian membeli baju yang akan kupakai di pesta pernikahan sahabatku sepekan lagi. Aku harus datang ke pesta itu. Ana, begitu namanya, sahabat karibku semasa SMA.
Aku ingin segera menyelesaikan belanja agar waktu untuk memilih baju lebih longgar. Ketika semua barang yang tertera dalam daftar belanjaanku telah kuambil, aku mengantri di kasir.
“Silvia,” namaku dipanggil seseorang.
Aku menoleh ke arah suara. Kulihat seorang lelaki jangkung melambaikan tangannya dan aku membalasnya ragu.
“Selesaikan antrian dulu, nanti kita ngobrol di kafetaria,” katanya.
Spontan aku mengangguk padahal aku belum yakin mengenalnya. Kulihat antrian di tempatku masih lima orang. Selama mengantri benakku berpikir, mencari tahu siapa dia. Sungguh tidak nyaman dalam situasi seperti ini. Aku melihatnya, bersamaan dengan itu tiba-tiba dia juga melihat ke arahku. Sebentar kami saling menatap. Aku bisa merasakan, sepertinya dia ingin segera berbincang denganku.
“Sendiri?” dia bertanya dengan lafal hampir tanpa suara.
Aku hanya menjawab dengan anggukan kepala. Aku seperti tak mampu bicara, mulutku terkunci oleh keraguanku. Aku terus memikirkannya. Sahabat yang mana? Sahabat semasa SMP tidak kutemukan. Sahabat masa SMA juga tidak kutemukan. Sahabat kuliah, nihil. Apakah dia seorang kenalan? Dimana? Kapan? Lalu siapa? Tidak juga kutemukan.
“Tolong barangnya, bu,” kata petugas kasir menyadarkanku dari lamunan.
“Oh, maaf,” jawabku sembari mengulurkan barang belanjaanku. Selesai petugas kasir menghitung harga, aku membayarnya. Dan tidak kusadari ternyata lelaki itu sudah menunggu di sampingku.
Aku menoleh ke arahnya. “Kamu juga sendiri?” tanyaku padanya untuk menutupi kecanggunganku karena aku belum juga menemukan siapa dirinya. Lelaki itu gantian menjawab dengan anggukan kepala diiringi dengan senyum. Ya ampun, aku merasa lelaki ini memang akrab di ingatanku. Apakah dia salah satu lelaki yang pernah mencintaiku? Kalau iya, lalu siapakah dia? Apakah dia Lucky cinta monyetku? Rasanya tidak ada tanda-tanda kalau dia Lucky. Apakah dia Rama yang dulu selalu mengejarku sampai aku risih dibuatnya? Tapi tubuh Rama pendek. Apakah remaja bertubuh pendek bisa jadi jangkung di masa dewasanya? Mungkinkah dia Roby? Tapi seingatku rambut Roby ikal, tidak lurus begitu. Gimana kalau direbounding? Atau apa dia salah satu teman di jejaring sosial? Mungkin saja dia Andra, Dani atau Cakra. Mungkinkah?
“Kamu tidak keberatan kita ngobrol dulu di kafe?” sangat sopan dia bertanya kepadaku.
“Boleh,” jawabku singkat. Dia membantu membawakan barang belanjaanku. Di perjalanan menuju kafetaria, dia sudah mulai mengajak bicara. Sialnya aku belum juga mengenali siapa dirinya.
“Kamu lupa sama aku, ya?” akhirnya sampai juga pertanyaan itu muncul dari mulutnya. Lalu aku harus menjawab apa? Jawaban jujur atau bohong? Ketika dia bertanya begitu aku menghentikan langkahku. Aku melihat dia dengan seksama, tapi tetap aku tidak mengingatnya. Aku menyerah lalu aku menggelengkan kepala.
“Tak berhasil,” kataku.
“Maksudnya?” dia bertanya.
“Asal kamu tahu, aku telah berusaha mengingat-ingat siapa kamu, tapi nyatanya aku tidak berhasil,” terangku. “Maaf, kamu jangan tersinggung, ya. Bukankah memori manusia terbatas?” lanjutku ingin mencairkan suasana yang kikuk.
“Tak masalah. Ayo ngobrolnya dilanjutkan di sana saja,” katanya sembari menunjuk sebuah kafe.
Aku tersenyum dan bersyukur atas kesabarannya. Setelah aku berkata jujur itu ada sedikit kelegaan di rongga dada yang sementara waktu tadi terasa menyempit.
“Tapi jangan senang dulu, siapa tahu aku memang orang yang selama ini belum pernah kamu kenal dan aku akan merampokmu,” katanya dengan serius tapi bibirnya tersenyum.
Mungkin karena dia melihat ekspresi wajahku lantas dia tertawa, dan anehnya aku ikut-ikut tertawa, entah karena apa. Tapi yang pasti aku sudah merasa lebih nyaman karena kejujuranku tadi.
Kami sampai di kafe. Beruntunglah kafe tidak seramai seperti biasanya hingga kami dapat memilih tempat duduk yang kami mau. Sebuah kafe yang unik karena sebagian besar dindingnya dipasang cermin hingga semua hal bisa tergambar di cermin itu dan memberi kesan luas. Kami memilih meja dekat dengan jendela kaca yang besar.
Setelah kami memesan minum ada keheningan yang melingkupi kami. Aku merasa harus bicara duluan agar aku tidak tampak bodoh berkepanjangan.
“Jadi siapa dong, kamu?” tanyaku langsung menohok.
“Aku tidak akan langsung bilang. Aku akan memberimu clue dan kamu harus menebak,” jawabnya sedikit berbelit. “Sepekan lagi ada sahabatmu yang menikah. Dengan mengingat dia mungkin kamu akan ingat siapa aku,” sambungnya.
“Ana?” tanyaku.
“Benar,” jawabnya sembari mengajungkan jempolnya.
Lalu aku berpikir tentang Ana. Memusatkan dan menajamkan sistem kerja ingatanku. Kupegangi dahiku sembari menyibakkan rambutku yang menutupi sebagian wajahku. Lama aku terpaku dalam diam tapi tak juga kutemukan. Pada saat fokus pikiranku berganti justru pada saat itu aku merasa menemukan sesuatu.
“Ya Tuhan.. kamu Lingga. Kenapa aku bisa lupa kamu?” kataku sedikit berteriak.
“Ya aku juga bingung mengapa kamu bisa lupa padahal jelas-jelas kamu yang dulu suka jodoh-jodohin aku dengan Ana. Lagipula aku juga datang di pesta pernikahanmu. Itu belum lama, bukan?”
“Sori banget, Ga. Menjadi ibu rumah tangga telah menyita seluruh memoriku,” jawabku membela diri. “Oya dulu kalian bubar kenapa, tho?” tanyaku kemudian padanya. Aku iseng bertanya karena sebenarnya aku sudah tahu sebab mereka putus dari Ana sendiri. Ana mengatakan kalau dia terpaksa memutus Lingga karena alasan tabiat Lingga buruk. Ana bilang kalau dia sudah berusaha bersabar dan membimbing Lingga ke arah yang lebih baik, tapi katanya Lingga tetap tidak mau berubah.
Pada saat Ana mengatakan itu aku merasa bersalah karena akulah yang membujuknya untuk menerima cinta Lingga. Setahuku Lingga pemuda yang sopan dan baik. Bahkan sampai sekarang pun perasaanku mengatakan kalau Lingga adalah lelaki yang baik.
“Ya mungkin belum jodoh saja, Sil,” jawabnya dengan nada datar. Aku menangkap adanya perubahan raut mukanya.
“Maaf, Ga. Aku tidak bermaksud membuka luka itu,” kataku segera.
“Tidak masalah, Sil.”
“Belum pernah aku menerima undangan nikah darimu. Apa benar kamu belum menikah?”
“Seperti yang kamu lihat ini, aku memang masih sendiri,” katanya sambil kedua telapak tangannya dibuka. “Kamu kok belanja sendirian?” dia balik bertanya.
“Nanti sekalian beli baju, tidak ngajak anak biar milih bajunya bisa leluasa,” jawabku.
“Jadi aku mengganggu, nih?” buru-buru dia bertanya lagi. Aku ingin segera menjawabnya tapi tidak kulakukan karena seorang pramusaji datang meletakkan pesanan kami di meja.
“Bertemu sahabat lama adalah hal yang perlu kita syukuri, Ga,” jawabku mantap karena aku tidak ingin membuat dia tersinggung. “Oya, kamu kerja dimana, Ga? Ini liburan atau memang kamu sekarang kerja di kota ini?” tanyaku untuk mengalihkan perhatian. Pikirku untuk masalah beli baju bisa nanti saja. Pestanya masih sepekan lagi, masih ada waktu.
“Aku baru saja dipindah di Mall ini untuk menangani promosi dan pemasaran stan.”
“Keren dong. Makanya bajumu rapi gitu. Haha. Ya sudah tho, tunggu apa lagi cepetan cari istri. Ana bentar lagi milik orang lain, kamu tidak bisa berharap lagi,” kataku seperti tidak ada remnya. “Terus sebelum di sini?” tanyaku mengalihkan topik karena aku takut kataku tadi menyinggungnya.
“Sebelumnya di Bandung, terus pindah ke sini ini.”
“Oh begitu,” jawabku sambil melihat ke luar lewat jendela kaca yang besar. “Rupanya hujan,” kataku.
“Hujan sudah sejak kita tiba di sini tadi,” katanya menanggapiku. “Apakah kamu masih suka menulis, Sil? Apa justru kamu sudah jadi penulis hebat? Aku masih ingat lho cerpenmu yang berjudul Belenggu Hujan itu,” lanjutnya membuatku terhenyak. Rupanya dia perhatian pada cita-citaku. Cita-cita yang masih senantiasa jadi perjuangan.
“Ternyata jadi penulis tidak gampang,” ucapku lirih. “Apakah harus menderita dulu agar bisa membuat tulisan yang bagus?” desisku. “Dan apakah tulisan yang bagus selalu mengangkat kaum miskin dan jelata?” seperti tidak sadar aku menggerutu.
“Kok kamu pesimis begitu? Menurutku tulisan bagus tidak selalu mengangkat kaum miskin saja tapi yang dapat berguna bagi kemanusiaan itu sendiri.”
Aku tertawa. “Tahu dari mana kamu soal tulisan?”
“Jangan menghina ya, gini-gini dulu aku juara membaca puisi, lho.”
“Apa hubungannya dengan tulisan?” kami tertawa. “Cerita macam apa yang kamu suka?” tanyaku kemudian.
“Cerita semacam Robinhood,” jawabnya sembari ngakak.
“Ga, aku kebelet nih. Aku ke toilet dulu ya,” kataku sambil beranjak pergi begitu saja. Sempat kulihat Lingga geleng-geleng kepala.
“Lho, Ga. kamu sekarang merokok, tho? Yang kutahu kamu tidak merokok,” kataku saat aku kembali dan mendapati dia sedang asyik menghisap rokoknya.
“Begitulah, Sil.”
“Sampai dimana tadi ngobrolnya? Robinhood, ya?” tanyaku sambil tersenyum lebar.
“Aku jarang bisa menyelesaikan membaca novel-novel sastra,” katanya dengan serius.
“Jarang? Berarti pernah, dong? Novel apa, thu?”
“Aku pernah baca Keluarga Pascual Duarte karya Camilo Jose Cela. Sebuah kisah seorang yang jadi korban lingkungan hingga dia jadi pembunuh.”
“Aku ingin menulis kisah yang hebat seperti itu, Ga.”
“Aku yakin kamu bisa,” katanya hampir bersamaan dengan dering hp miliknya. “Aku terima telepon dulu, ya Sil” pintanya. Aku memberi isyarat iya dengan tangan tanpa berkata. Lalu dia beranjak dari tempat duduk. Mungkin biar leluasa bicaranya.
“Silvia, sori banget. Aku harus cabut sekarang. Ada yang perlu aku urus. Biasa tentang kerjaan,” katanya begitu dia kembali.
“Oke. Tidak apa-apa, Ga. Kamu datang di pesta pernikahan Ana, kan? Kuharap kamu sudah tidak sakit hati padanya.” kataku.
“Tenang saja. Aku pasti datang,” jawabnya. Kulihat tangannya mencari sesuatu, mungkin dompet.
“Sudah sana kamu pergi saja. Aku yang membayar. Tapi lain kali kamu yang harus traktir. Yah untuk perayaan saat kamu meraih gadis impianmu nanti. Oke?” kataku dengan mantap.
“Oke, Silvi. Aku pergi dulu. Sampai ketemu di tempat Ana.”
Begitu Lingga berlalu dari hadapanku, tiba-tiba aku merasa bersalah lagi. Mengapa dulu Ana tega memutusnya. Padahal menurutku, Lingga lelaki yang tampan dengan postur tubuh yang ideal. Dia begitu sopan dan baik. Wawasannya terhadap apa pun juga oke hingga asyik untuk jadi teman berbincang. Belum pernah kudapati satupun testimoni yang menunjukkan bahwa Lingga adalah lelaki yang tidak baik. Ah, cinta memang rumit. Apakah memang orang yang baik belum tentu mendapatkan pasangan yang baik? Aku menggerutu sendiri, seperti layaknya masalah itu sedang menimpaku. Belum selesai benakku memikirkan Lingga, aku beranjak menuju kasir untuk membayar.
Aku mencari dompetku di tas tapi tak kutemukan. Aku cari di tas belanjaan juga tidak ada. Aku mulai panik.
“Ada apa, Bu?” tanya petugas kasir begitu aku sampai di depannya.
“Saya mencari dompet saya, kok tidak ada.”
“Kulihat tadi Ibu pergi, mungkin Ibu membawanya dan lupa menaruh.”
“Tadi saya pergi ke toilet dan saya tidak membawa dompet.”
“Yang tinggal tadi suami Ibu?”
“Sahabat saya.”
“Pada saat Ibu sedang ke toilet, sahabat Ibu sedang telepon dengan suara agak keras. Oleh karena itulah saya jadi memperhatikannya. Setelah selesai menelepon dia merokok. Sembari menikmati rokok, dia membuka-buka tas dan barang belanjaan Ibu,” terang petugas kasir.***