Lima Sahabat Menemui Tuhan
Ranang Aji SP, senang menulis. Selain senang membaca sastra pria ini juga penyuka musik dan lagu-lagu klasik rock seperti Led Zeppelin, Pink Floyd, Jimmi Hendrix dan masih banyak lagi. Kini tinggal dan bergiat di Kalinegoro, Magelang, Jawa Tengah.
Lima sahabat keluar dari ruang kelas lima SD Inpres V. Tidak seperti biasanya, mereka tidak saling bicara atau berkencan bermain di sumber air Sungai Gending, di ujung desa, usai sekolah. Namun demikian, mereka berjalan pulang beriring bersama, menyusuri jalan yang sama tanpa suara.
Petrus menjadi anak pertama yang sampai di rumah. Ia melambaikan tangannya untuk memberi isyarat berpamitan. Empat temannya yang lain Abdul, Gilang, Budi dan Nyoman membalasnya dengan tatapan mata sebagai isyarat yang sama dan menyaksikkan Petrus membuka pintu gerbang rumahnya.
“Kalian tidak mampir?” Suara Ibu Petrus yang duduk di teras rumah.
“Tidak, Mak…” Sahut Abdul.
“Ya sudah, kalian pulang cepat. Nanti belajar bersama.”
“Beres,Mak..” Teriak Nyoman sembari nyengir.
Petrus menghampiri ibunya dan menurunkan tasnya dari punggungnya, menyeretnya ke arah kursi di sebelah ibunya. Perempuan setengah baya menatapnya sekilas. Tanganya membalikkan tabloid wanita.
“Ganti baju sana dulu. Cuci tangan dan kaki. Mak sudah masak pindang santan.”
“Iya, Mak..bentar..” Petrus duduk disamping ibunya.
“Kalian kok tidak seperti biasanya, sudah hampir seminggu di rumah. Biasanya pada langsung main..”
“Tidak, Mak. Kami lagi berjanji tidak bermain. Seminggu.”
“Wah, bagus.. baguslah kalau kalian pulang tepat waktu ..sementara bisa di rumah. Mereka bisa bermain di sini.” Kata perempuan itu sembari membaca.
“Tidak juga. Kami kan lagi tidak saling bicara.” Petrus melepas sepatu dan kaos kakinya. Ibunya sejenak tertegun. Menatap anaknya dengan curiga.
“Lho, kalian bermusuhan?
“Bukan,”sergah Petrus.
“Lalu? Kok gak saling bicara? Terus tadi kok tetap bersama-sama, kalian?”
“Bukan gitu, Mak..Kami ini lagi mau menemui Tuhan.”
“Hahaha..kalian bisa saja..Maksudnya apa kok menemui Tuhan?”
“Iya, pokoknya..” jawab Petrus sekenanya.
“Halah, kamu ini..” Kata ibu Petrus sembari menjewer ringan telinga Petrus.
“Sudahlah..sana, kamu ganti baju dulu. Cuci tangan dan kakimu terus makan. Jangan lupa berdoa,” perintahnya. Petrus kali ini mengiyakan tanpa suara. Ia beranjak sembari menyeret tas punggunggnya ke dalam rumah.
Di sore hari setelah usai mandi, ia tak menemukan ibunya di rumah. Sementara ayahnya memang biasa pulang di tengah malam, karena perjalanan dagang yang jauh dari kota asalnya. Senja itu, Petrus mulai gelisah. Ia ingat, hari ini adalah waktu terakhir yang sudah disepakati bersama sahabat-sahabatnya. Besok mereka akan menemui Tuhan.
Karena kuatir memikirkan perjanjiannya dengan sahabat-sahabatnya, ia memutuskan mengambil doa rosario dan berdoa di kamar ibunya. Petrus sudah melakukan banyak doa pagi, petang dan malam selama tujuh hari. Memohon dengan sangat agar doanya dikabulkan. Ini penting baginya untuk bisa membuktikan keyakinannya pada teman-temannya. Para sahabatnya mungkin melakukan hal yang sama, banyak berdoa kepada Tuhan mereka. Karena itu selama seminggu mereka tidak boleh saling bicara.
Ketika menjelang tidur malam, seusai belajar dan menggarap PR, Petrus menghampiri ibunya yang tengah menonton sinetron di ruang tengah.
“Mak..”
“Sudah belajarnya?” Sahut ibunya setengah acuh. Petrus tidak menjawab tetapi langsung duduk di samping ibunya dan bertanya.
“Apakah Tuhan benar ada?”
Ibunya tertawa kecil, pandangannya tetap di layar televisi yang memperlihatkan adegan seorang wanita tengah menangis.
“Tentu ada,” jawabnya singkat.
“Lalu, apakah doaku akan dikabulkan?”
“Iya, tentu saja..asal kamu berdoa sungguh-sungguh dan mejadi anak baik.”
“Lalu, apakah doa teman-temanku juga akan dikabulkan?”
“Kenapa sih? Kenapa kamu tidak tidur saja, sudah malam..”
“Mak?”
“Kenapa sih..bentar nunggu iklan dulu…”
Petrus merajuk. Ibunya mulai tampak terganggu dan membisu. Matanya lekat, terpesona oleh magnet TV. Beberapa saat kemudian iklan berputar mengganti ruang sinetron. Ibu Petrus menatap anaknya yang mulai terasa aneh baginya.
‘Kenapa?” tanyanya akhirnya.
“Apakah doa teman-temanku akan dikabulkan? Mereka punya Tuhan sendiri” ulang Petrus.
“Mak tidak tahu. Tapi kalau doamu pasti dikabulkan, karena kamu anak baik dan beriman pada Bapa di surga, Bunda Maria dan Tuhan Yesus.”
“Berarti aku benar kan…Tuhanku akan mengabulkan doaku.”
“Iya, sekarang tidur dan berdoalah.” Perintah ibunya. Petrus merasa puas dan beranjak ke kamar tidurnya. Malam itu Petrus berdoa dengan sangat serius memohon agar doanya dikabulkan.
Pagi hari, matahari bersinar terang, Petrus bersama empat sahabatnya beriring menuju sekolah. Tetapi kali ini mereka saling bicara. Abdul memulai percakapan sembari membagikan permen karet.
“Satu-satu nih”
“Hari ini kita akan buktikan. Kata ayahku, doaku pasti akan dikabulkan Tuhan.” Kata Budi sambil membuka bungkus permen karetnya.
“Ibuku juga bilang gitu,” ujar Nyoman, “tapi katanya aku harus usaha dan belajar.”
“Mak aku juga bilang gitu. “Kata Petrus.
“Iya, nanti kita buktikan. Masa’ Tuhan tidak mengabulkan. Kan katanya Tuhan suka mengabulkan doa orang baik dan beriman. Itu kata ibuku” Sambut Abdul.
“Meskipun agamanya beda?” Tanya Gilang.
“Memang ibumu bilang apa?” Tanya Petrus
“Mmm..anu..tidak bilang apa-apa..aku tidak tanya.” Tapi aku berdoa.”Jawab Gilang.
“Nanti habis pulang sekolah akan kita buktikan Tuhan siapa yang benar. Seperti perjanjian kita ya, doa siapa nanti di antara kita yang akan dikabulkan berarti harus percaya dan kasih uang saku yang menang.” Abdul mengingatkan.
“Oke.” Jawab serempak empat anak yang lain.
Waktu siang hari, bel sekolah berbunyi. Lima sahabat keluar dari kelas mereka.. Tak ada yang bicara tetapi mereka berjalan bersama, menyusuri jalan yang sama tanpa suara. Wajah mereka tampak kuyu. Kali ini mereka menuju sumber air Sungai Gending di ujung desa. Duduk bersama, di bawah pohon ringin besar yang tua. Petrus berdiri, dan melempar kerbau yang tengah dimandikan di sumber air dengan kerikil.
“Heii..jangan usil! Teriak gembala kerbau. Petrus melambaikan tangannya.
“Siapa yang pertama mau mengaku?” Kata Abdul memecah kebisuan. Suaranya ragu.Teman-temannya membisu. Mereka hanya memandangi kerbau dan gembalanya. Tetapi kemudian Nyoman membuka tasnya dan mengeluarkan lembaran kertas.
“Aku mengaku. Doaku tidak terkabul,”suara nyoma lirih. “Mungkin benar Tuhanmu yang ada. Aku cuma dapat 7..” Katanya sembari menyodorkan pada Abdul yang menunduk.
“Aku juga mengaku. Aku hanya dapat 6,5..” Kata Budi
“Aku mengaku. Aku dapat 7 juga,” Kata Gilang sambil membuka tasnya dan mengmbil lembaran kertas soalnya.
Petrus membalik dan duduk kembali. Ia melihat muka Abdul sekilas dan meraih tasnya.
“Aku mengaku. Aku dapat nilai 7 juga,” kata Petrus. Suasana hening beberapa saat sebelum kemudian Abdul mengambil kertas soalnya dan menunjukkan pada teman-temannya.
“Aku juga mengaku. Aku hanya dapat nilai 7 juga..Berati tidak ada yang dikabulkan doa kita ya.. Tidak ada yang dapat 10.” Kata Abdul. Suaranya lemas.
“Terus gimana?” Tanya Petrus.
“Tak tahu..kita tidak bisa buktikan Tuhan siapa yang benar. Tidak ada doa kita yang dikabulkan.” Jawab Abdul.
“Terus gimana?” Tanya Gilang mengulang.
“Ya berarti tidak ada Tuhan.” Kata Budi.
“Ada,” ucap Abdul cepat.
“Mana buktinya? Doa kita tak ada yang dikabulkan.” Budi mengingatkan. Abdul terdiam dan terlihat bingung dan masgul.
“Terus gimana?” Kejar Gilang. Tak ada yang bicara tetapi beberapa daun ringin berjatuhan bersama angin yang mendesis.
“Ya kita mandi saja,” teriak Petrus akhirnya sambil melepas baju dan celananya.”Kita temui Tuhan di sana!”
Teman-temannya melihatnya berlari dan terjun ke sumber air Gending yang jernih. Sesaat kemudian mereka bergegas berlarian menyusul Petrus menemui Tuhan di sungai Gending, berenang sembari tertawa riang.
Jogja, 5 Maret 2015