Agenda 

Tangga Menuju Surga

Wiji, bernama lengkap Kurnia Gusti Sawiji kini berdomisili di Kuala Lumpur, Malaysia. Lahir di Tangerang 26 November 1995. Sekarang adalah mahasiswa tahun 3 jurusan fisika di fakultas sains University of Malaya, Malaysia. Wiji cukup aktif dalam kegiatan menulis. Ia bergabung dalam grup kepenulisan FAM (Forum Aktif Menulis) Indonesia dan komunitas penulis muda UNSA. Wiji juga merupakan penulis kontributor dalam buku-buku yang diterbitkan di kedua komunitas tersebut. Karya terbarunya yang merupakan sebuah cerpen dimuat sebagai bagian dari antologi cerpen Orang Bunian (Unsapress, 2016).

 

Konon, ada seorang lelaki yang merasa bahwa segala hal yang bersinar adalah keagungan. Maka, ia pun ingin membangun sebuah tangga yang akan membawanya menuju puncak langit teratas dan menembus sang surya. Keinginannya mulai tumbuh karena dilihatnya surya sebagai cahaya paling benderang yang mampu menerangi sejagad semesta. Atas keagungan itu, sang lelaki berpikir bahwa surga berada di sebalik surya, sekurang-kurangnya berada di sekitarnya. Hanya surga yang mampu menampung keagungan semegah itu, begitu pikirnya. Ia bayangkan surya sebagai sebuah gerbang cahaya besar yang akan membawanya ke surga. Lalu di surga, menjaga agar surya tetap bersinar, adalah Tuhan sendiri. Maka, bertekadlah ia untuk mendekatkan diri kepada keagungan yang sejati.

Sang lelaki adalah seorang penjual kayu ia tinggal di dekat sebuah padang rumput yang dikeliling pepohonan rindang yang berada di sebelah barat kampung tempat ia tinggal. Dalam kesehariannya, lelaki itu menebang pohon-pohon di tanah itu untuk berbagai macam penggunaan; sebagian hasil tebangannya ia gunakan untuk kebutuhan hidupnya dan keluarganya, sebagian lagi ia jual ke pabrik kayu yang terletak di sebelah timur kampungnya. Setiap kali ia menebang pohon, ia akan menanam sebuah bibit pohon di tempat yang ia tebang, membuat pohon-pohon di tanah itu tidaklah berkurang.

Semenjak keinginannya untuk membangun sebuah tangga yang akan membawanya kepada sang surya semakin menguat dalam relung-relung hatinya, ia semakin gencar menebang pohon. Bukan untuk dijual, bukan untuk digunakan dalam keperluan sehari-hari. Ia gunakan kayu yang ia peroleh dari penebangannya itu sebagai bahan dasar tangganya.

Setiap harinya, ia akan pergi ke tanah itu di pagi hari dan mulai menebangi pohon-pohon, lalu membangun tangganya. Tangga itu ia bangun dengan menyusun satu persatu anak tangga berukuran persegi panjang—panjangnya lima jengkal dan lebarnya seukuran telapak kakinya lebih sedikit—yang ia buat dari kayu-kayu itu. Masing-masing anak tangga ia paku antara satu sama lain, dan ia pakukan anak tangga yang pertama ke tanah. Tidak ia buat kayu-kayu penopang dibawah anak-anak tangga itu. Sebabnya, kayu-kayu yang ia gunakan untuk membuat anak tangga itu begitu kuat, dan paku-paku yang menyambung anak-anak tangga itu begitu kokoh. Alhasil, tangga itu sudah sangat kokoh tanpa ada penopang dibawahnya.

Tangganya itu ia bangun dengan mengarah ke timur, maka semakin tinggi tangga itu semakin dekatlah anak-anak tangganya ke timur. Ia bangun sedemikian rupa supaya nanti ketika tangganya itu sudah selesai, ia bisa mencapai sang surya pada detik-detik awal terbitnya; saat ketika keagungannya baru akan merekah.

***

“Mau sampai kapan kamu mau membangun tangga itu, Pak?” tanya istri sang lelaki.

“Kalau sudah sampai tanggaku itu tepat dibawah mentari, aku akan berhenti, Bu,” jawab sang lelaki santai.

“Ya itu mau sampai kapan, Pak? Perlu banyak kayu dan waktu yang perlu untuk membangun tanggamu itu. Sekarang saja, kita sudah mulai kekurangan bahan makanan gara-gara kamu terlalu banyak menghabiskan waktu dengan tanggamu itu,” ujar istrinya itu dengan agak tajam kepadanya

“Tenanglah, Bu. Kekayaan yang sesungguhnya tidak terletak pada duniawi. Kekayaan yang sesungguhnya adalah kemampuan kita bertemu dengan Sang Maha Agung. Jika kita bertemu dengan-Nya, maka kita akan diberikan kekayaan yang nilainya jauh lebih tinggi daripada bahan makanan atau harta duniawi lainnya.”

“Lah, bagaimana pula itu?”

“Nanti kalau aku sudah mencapai mentari, aku akan cari surga. Surga adalah tempat dimana Tuhan bersemayam, tempat yang lebih agung daripada kekayaan paling tinggi di dunia ini. Tidak sembarang orang yang bisa masuk kesana. Hanya mereka yang sudah diberkahi Tuhan saja bisa menjejakkan kaki di surga yang ada dibalik mentari. Bu, tahukah kamu kenapa aku membangun tanggaku dengan kayu, tanpa ada penopang pula?”

“Tidak tahu. Kenapa?”

“Tangga yang kubangun hanya dengan kayu dan paku semata-mata, adalah caraku untuk menunjukkan kelemahanku sebagai manusia yang ingin mendekat kepada Tuhan. Walau hanya dengan berbekal kayu dan paku, dengan segala kesederhanaanku, aku tetap berusaha untuk mendekati Tuhan yang megah di surga sana, dibalik mentari. Sedangkan aku tidak membuat penopang dibawah tangganya adalah karena aku percaya Tuhan mau membantu umat-Nya yang ingin mendekat kepada-Nya. Maka aku yakinkan diriku, dan berdoa kepada Tuhan, dilancarkan dan diberikanlah aku keajaiban dalam usahaku untuk mendekati-Nya. Maka seperti yang kamu lihat Bu, tidak ada dijatuhkan tanggaku itu walau tak ada penopang dibawahnya. Ini semua berkah dari Tuhan, berkah bagi mereka yang mau mendekati-Nya.”

Mendengar itu, sang istri terdiam. Selama ini ia telah salah. Apa yang dikejar suaminya bukanlah kekayaan dunia yang sifatnya fana, namun sesuatu yang sifatnya lebih kekal. Kekayaan surga, itulah yang diinginkan suaminya. Namun ia tidak tahu niat baik suaminya itu. Setiap hari, ia malah merongrong suaminya agar bekerja lebih keras.

“Pak… maafkan aku. Selama ini aku tak pernah bersyukur dengan apa yang kita ada. Aku selalu berpikir, kalau kekayaan yang paling kita perlukan adalah kekayaan dunia.”

“Tak apa, Bu. Yang penting kita mau belajar dari perbuatan dan pemikiran kita di masa lalu. Ketahuilah, Bu. Yang namanya Tuhan itu agung, surga juga agung, dan begitu juga dengan mentari. Kita hanyalah manusia yang tak lebih besar dari sebutir debu di hadapan keagungan Tuhan dan surga-Nya. Maka, janganlah kita bermegahan, dan mulailah kita menghambakan diri dan hanya mendekatkan diri kepada Tuhan semata.”

Istri sang lelaki begitu terharu dengan kata-kata suaminya. Betapa suaminya itu rupanya begitu bijaksana pemikirannya, tidak seperti orang-orang di kampung mereka yang suka bermegah-megahan. Rumah mereka terbuat dari bata yang di cat sedemikian rupa sehingga nampak indah luarannya. Ukurannya padahal kecil, karena memang dalam kesederhanaan mereka sebagai orang kampung, hanya sejauh itulah kemampuan mereka membangun rumah. Namun bukan main hiasan yang mereka letakkan di rumah-rumah mereka. Kampung mereka yang sebenarnya tidaklah semegah kota itu jadi nampak penuh dengan kekayaan. Padahal, tidak ada yang tahu bahwa di dalam rumahnya masing-masing, mereka makan beras hanya tiga genggam sehari.

Namun tidak suaminya. Dengan sederhananya, ia tak segan-segan merendah dan menjauh dari mereka yang gemar pamer itu. Kini, ia sudah menetapkan hatinya untuk tetap menyederhanakan dirinya dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Ketika mereka sudah dekat dengan Tuhan dan Dia memberikan mereka kekayaan atas balasan kesederhanaan mereka, akan ditunjukkan oleh mereka arti kekayaan sebenarnya kepada orang-orang kampung.

“Pak, biar aku bantu kamu membangun tanggamu itu.”

***

Sudah tujuh ratus tujuh puluh hari dan tujuh ratus tujuh puluh malam sepasang suami istri itu bahu membahu membangun tangga idaman mereka. Tubuh mereka kini tidaklah lebih besar dari ranting, dan wajah mereka sudah tirus dan pucat, seakan tidak lagi bersemayam makanan dan air di tubuh mereka. Namun entah bagaimana, mereka begitu kuat membangun tangga itu.

Ketika tangga itu tingginya sudah seperempat tinggi dari tanah ke langit, sang lelaki menebang semua pohon yang tersisa dan membentuknya menjadi anak-anak tangga. Sang istri lalu mengumpulkan anak-anak tangga itu di karung-karung beras yang besarnya hampir seukuran dirinya yang ketika itu masih subur. Maka, sang istri membawa anak-anak tangga itu, dan sang lelaki bertugas untuk menyusun dan memakunya. Itu sudah mereka lakukan sejak seratus hari yang lalu, dan selama itu, tidaklah mereka makan dan minum. Namun mereka berdoa dan berdoa, memohon kepada Tuhan supaya bisa diberikan kekuatan mereka dalam usaha mendekatkan diri kepada-Nya.

Tujuh hari sudah berlalu. Ketika itu tengah malam. Sang lelaki dan istrinya sudah terkapar di anak tangga yang terakhir mereka buat. Untuk bernafas saja mereka sudah tak mampu. Tidak sanggup menahan lelah, sepasang suami istri itu akhirnya pingsan selama beberapa jam.

Dini hari pun datang, sang surya muncul perlahan di ufuk timur, mengusap dan membangunkan mereka dengan lembut. Pasangan itu terbangun dengan lemah, namun terbelalak melihat surya. Tanpa ada basa-basi, mereka langsung membangun tangganya. Semakin lama semakin tinggi, semakin dekat dengan sang surya. Sampai akhirnya mereka sudah sangat jauh dari daratan, dan seakan menyatu dengan surya. Tidak kembali lagi.

Berbulan-bulan lamanya, pasangan itu tidak muncul lagi ke daratan. Tangga mereka yang tingginya bukan main itu perlahan rubuh dimakan rayap, dan jatuh tepat di sepanjang jalanan kampung. Tidak ada yang tahu darimana atau untuk apa gunanya kayu sebanyak itu. Namun begitulah rezeki, ia datang tanpa diduga. Tanpa pikir panjang, seisi kampung menggunakan kayu-kayu itu untuk hiasan mereka; mereka ukir sedemikian rupa kayu-kayu itu agar menjadi ornamen hiasan yang indah di mata orang ramai.

 

Tanah Seberang, November 2015

Related posts

Leave a Comment

seven + eighteen =