ARTIKEL 

Kematian Kecil dan Masa Depan Penyair

“Sahabat, Minggu ini, adalah hari terakhir saya menjadi redaktur tamu halaman “Hari Puisi” di harian Riau Pos. Minggu berikutnya, saya tidak tahu pasti, apakah halaman puisi itu akan tetap ada atau tidak-tentu hanya Tuhan yang tahu. Dan tentu, sebagai ‘tamu’ ini peristiwa biasa saja…..”

(Marhalim Zaini)

Pernyataan di atas adalah kiriman Marhalim Zaini di akun media sosial sastrawan Riau tersebut yang ditulis pada hari Minggu 16 oktober. Kita mungkin hampir memiliki satu perasaan yang sama saat membaca pernyataan tersebut. Suatu kenyataan pahit tentang eksistensi sastra dalam hal ini genre puisi di media cetak yang makin mendapat ruang sempit karena banyak faktor.

Saya ingin mempersempit percikan ini dengan berasumsi bahwa tak ada lagi halaman “Hari Puisi” di surat kabar tersebut, ini yang sangat mungkin terjadi seperti halnya beberapa media cetak yang memang tak lagi memberi rubrik pada puisi. Saya tak mengajak anda memikirkan eksistensi media cetak secara global yang nanti mungkin bakal tergerus dengan lahirnya media daring. Itu lain soal walau sangat mungkin terjadi. Faktanya hari ini kita masih menemukan media cetak yang terbit dan masih bertahan serta memberikan ruang bagi para penyair meski harus juga diakui bahwa ruang bagi puisi mulai menyempit.

 

Kematian kecil

 

Tak adanya halaman puisi di sebuah media cetak bisa dianggap suatu kematian kecil tak hanya bagi penyair tapi juga pada suatu bangsa. Puisi sesungguhnya memilki energi dan spirit besar untuk menjunjung martabat suatu bangsa terlebih yang tersiar di suatu media cetak yang tentu saja memiliki redaktur sebagai penjaga gawang yang telah teruji dengan seleksi yang cukup ketat. Surat kabar yang biasanya hanya menyiarkan puisi satu kali dalam satu minggu mengharuskan sang kurator menyeleksi puluhan atau ratusan puisi yang masuk di meja redaksinya. Terjadi kompetisi yang cukup ketat untuk bisa menembus suatu media dengan honorarium yang sebenarnya juga tak cukup besar terlebih media lokal. Benar jika penyair tumbuh selaksa jamur di musim hujan, tapi yang mampu tumbuh besar dan mendapat tempat yang layak dan terhormat mungkin hanya sedikit. Menulis puisi bagi sebagian besar orang adalah hal mudah karena secara umum manusia memiliki alat yang sama, kemampuan menggunakan bahasa.

Terlepas dari segala politisasi dan kepentingan atau kelemahan seorang redaktur sastra suatu surat kabar, tetaplah seorang redaktur memiliki nilai lebih untuk menyiarkan suatu karya sastra yang benar-benar memiliki standard dan kualitas estetik yang mumpuni. Bahkan redaktur adalah sosok yang telah tumbuh dari suatu pergulatan eksistensi yang panjang. Tak heran jika hilangnya halaman puisi mungkin suatu hal biasa dan tak begitu berpengaruh besar bagi seorang redaktur. Justru yang menjadi persoalan adalah bagi banyak penyair, ini bisa menjadi kematian kecil bagi mereka.

Tak dapat diingkari jika eksistensi seorang penyair akan semakin kental jika karyanya pernah disiarkan di suatu media cetak, ini adalah mainstream yang masih kukuh. Semua orang memang bisa menjadi penyair dengan menerbitkan antologi bersama atau menerbitkan buku sendiri secara mandiri, atau juga menulis puisi di media sosial, tapi jika kita mau jujur terhadap diri sendiri, kita bisa menilai sesungguhnya sebesar apa apresiasi publik atas karya kita. Pencapaian yang berbeda akan menjadi lain jika penyair yang menebitkan antologi adalah penyair yang karya-karyanya biasa muncul di surat kabar meski yang perlu dicatat juga adalah bahwa tanggapan publik bukan satu-satunya yang bisa dijadikan parameter untuk kualitas karya.

Pada skala lokal atau daerah tentu saja berakhirnya halaman puisi bisa benar-benar menjadi kematian kecil para penyair. Menjamurnya para penyair sesungguhnya potensi besar untuk melahirkan dan menumbuhkan mereka menjadi tunas-tunas emas baru dan harapan sebagai generasi yang kuat dalam stilistika dan estetika. Peran media tetap dibutuhkan sebagai wadah untuk pembelajaran, pendidikan dan pembentukan karakter kebahasaan dan kebudayaan. Tanpa adanya suatu wadah pembelajaran dari suatu media surat kabar, tentulah kita tak bisa berharap banyak meski bukan berarti suatu kiamat.

 

Masa depan penyair

 

Nasib seorang penyair tentu saja ditentukan karya-karyanya walau bisa saja karya-karyanya tak bernasib baik. Tapi penyair harus percaya bahwa kualitas karya akan berpengaruh besar. Kualitas karya salah satunya tentu melalui suatu penilaian terukur seorang kurator dalam hal ini seorang redaktur sastra bukan berdasar testimoni atau endorsment di buku antologi yang sering kali lebih sebagai pujian atau hiburan.

Meski sebagian penyair akan mengalami kematian kecil dengan menyempitnya halaman puisi di surat kabar, tentu itu tak akan membuat surut bagi mereka yang benar-benar menjadikan bahasa sebagai senjata bukan sebagai keisengan dan permainan. Kenyataan bahwa media cetak mulai memberi ruang sempit pada puisi bukanlah peristiwa yang pertama dalam dunia sastra. Sebelumnya juga pernah tejadi dengan banyaknya toko buku atau penerbil major yang tak menerima penerbitan dan penjualan buku-buku puisi. Jika kita menengok toko-toko buku besar, mungkin kita hanya menjumpai sedikit buku-buku puisi yang terpampang di sana. Kondisi ini memang memprihatinkan, tapi di sisi lain kita masih bisa melihat para penyair yang tetap besar dan bertahan di dunia sastra tanah air. Artinya tetap ada harapan dan masa depan bagi penyair.

Sesungguhnya tetap masih ada ruang yang luas bagi penyair untuk tetap eksis di tengah sergapan kematian kecilnya. Tentu untuk bisa bertahan tersebut butuh fondasi yang kuat. Jamur di musim hujan bisa mati saat musim berganti, tetapi penyair sejati tak akan mati. Penyair sejati tersebut adalah mereka yang tetap mau belajar dan menyadari bahwa puisi bukanlah sekadar pesta dan hura-hura tetapi adalah kreatifitas, inovasi, dan eksistensi diri. Ada ruang yang masih menanti di mana penyair di sana tak akan mati. Komunitas, sekolah, kampus, balai bahasa, lomba, sebagian media dan panggung sastra dan di mana saja, tapi sekali lagi, puisi bukan sekadar selebrasi. Jangan jadi penyair yang menulis di atas pasir yang dengan mudah hilang saat disapu angin atau ombak, jadilah penyair yang menulis di lembar sejarah. Puisi bukan semata imaginasi tapi jiwa, pikiran, energi, dan spirit perjuangan. Kematian kecil itu akan menjelma sebagai tantangan menuju kebangkitan dan masa depan penuh harapan.

 

Mahrus prihany, divisi organisasi dan kaderisasi KSI Pusat  

 

 

 

Related posts

Leave a Comment

thirteen − 6 =