Nirzona: Tsunami of Emotion
(Litera)– Beberapa waktu yang lalu tepatnya pada bulan Oktober, Abidah El Khalieqy diundang dan diwawancarai mengenai novelnya yang berjudul Nirzona. Abidah sedang menghadiri seminar dan serangkaian acara sastra selama beberapa hari bersama beberapa sastrawan tanah air di Frankfurt, Jerman. Novel Nirzona adalah sebuah novel dengan latar peristiwa tsunami Aceh yang telah diterjemahkan dan diterbitkan oleh sebuah penerbit besar di Amerika Serikat.
Berikut adalah wawancara Abidah El Khalieqy dengan Gabriella Page-Fort dengan pertanyaan dalam bahasa Inggris tentang novel Nirzona. Wawancara dilakukan di Indonesia Agora Stand pada tanggal 20 Oktober. Abidah adalah seorang novelis dan penyair produktif yang telah banyak menghasilkan karya dan banyak penghargaan. Abidah kini tinggal dan bergiat di Jogja.
In terms of the subject for discussion, I have a few questions I would like to ask about Nirzona and your inspiration for writing such a beautiful and evocative love story.
1. The powerful backdrop of devastation feels so true and so close in the novel. What drew you to write about the Aceh tsunami and its aftermath?
Saya melihat Aceh sebagai saudara tersayang kami yang sedang ditimpa musibah besar. Sebagai penulis, hati dan emosi, pikiran dan imajinasi saya tergerak untuk membahasakan realitas dan akibat musibah itu ke dalam karya sastra, melalui karya novel. Memang, di Indonesia banyak peristiwa dan musibah. Dan tsunami Aceh sangat menarik bagi saya bukan saja karena memakan banyak korban, tetapi karena Aceh memiliki keistimewaan dalam sejarah bangsa dan negara. Aceh juga istimewa bagi kami karena beberapa hal.
Bagi muslim Indonesia, Aceh adalah guru dan kakak yang mengajari kami tentang budaya dan keagamaan Islam. Lebih tepatnya, sejarah Islam di Indonesia dimulai dari wilayah Aceh, sehingga Aceh mendapat sebutan “Serambi Makkah” (Mecca Veranda).
Bagi pemerintah Indonesia, Aceh selalu dicurigai dan dianak-tirikan. Hal ini sangat kontras dengan sikap rakyat Indonesia yang mayoritas sangat mencintai Aceh. Ketika Tsunami datang, dan nyaris mengubur segala yang dimiliki Aceh, membuat kami histeris dan melolong dalam kesedihan. Meskipun kami juga tahu tentang rumor yang beredar seputar tsunami, apakah benar–benar tsunami atau ada bom helium yang diledakkan dari kedalaman samudra.
2. English-language readers may be by the fluid poetry that flows from Sidan and Firdaus, weaving in familiar phrases from the Koran that were not familiar to me, personally. For me this created a new sense of connection. How have your readers responded to the spiritual and religious elements of your work?
Banyak di antara pembaca, kritikus sastra dan para peneliti yang menilai dan berharap, unsur-unsur religiusitas dan spiritual muncul dari karya saya. Sebagian besar mereka menganggap bahwa karya saya telah berhasil mencairkan makna dan istilah-istilah dalam Alquran ke dalam kehidupan sehari-hari.
Khusus dalam novel Nirzona, tokoh Sidan memang asli dari Aceh, lahir dan besar di Aceh, dan memang kenyataannya, orang Aceh pada umumnya sangat akrab dengan istilah-istilah dalam Alquran. Dan jangan lupa, tokoh Sidan dalam Nirzona pernah belajar pada jurusan Sastra Arab, sehingga diksi-diksi puitik dalam percakapan Sidan sering muncul dalam Nirzona.
3. Do you have any intentions you would like western readers to consider?
Saya berkarya tidak mengkhususkan untuk pembaca timur atau barat, tapi demi kemanusiaan secara universal. Jika saya memakai istilah–istilah yang akrab dengan Alquran, lebih karena saya sebagai muslim, yang lahir dan dibesarkan dilingkungan tradisi Islam yang kuat. Bahkan, sejak tingkat dasar sampai perguruan tinggi, saya belajar di sekolah Islam, di mana bahasa Alquran adalah makanan sehari–hari hehe….. Lebih tepatnya, diksi-diksi ke-Islaman dalam karya saya itu merupakan refleksi dari kehidupan saya sehari-hari, bukan dibuat-buat, bukan sekadar untuk memenuhi kebutuhan industri pasar.
4. Love stories have such great emotional strength, and they can connect people across great divides. You have been praised in Indonesia for giving a voice to women, using the comfortable context of reading fiction to help people push the boundaries. What love stories inspire you?
Kisah cinta selalu menginspirasi saya. Dan isu tentang perempuan lebih mudah dimasukkan melalui kisah cinta. Dalam kenyataannya, menurut pendapat saya pribadi, karya-karya fiksi yang mengambil pola di luar kisah cinta, kurang mendapat perhatian bagi pembaca umum di Indonesia. Dengan kata lain, kurang menjangkau masyarakat luas. Sedangkan saya selalu digoda untuk menulis novel yang bisa dibaca oleh banyak orang, oleh pecinta sastra maupun masyarakat pembaca pada umumnya. Karena menurut saya, karya fiksi harus memiliki sumbangan pikiran bagi pembacanya untuk merenungkan kembali nilai-nilai keagamaan dan spiritualitas dalam hidupnya.
5. Are there authors you admire doing this type of work?
Saya kira, spiritualitas kisah cinta Layla Majnun karya Sheikh Nizami, adalah sebuah model yang sangat menarik. Dan saya sangat menyukainya. Kisah Layla-Majnun bukan saja membantu pembacanya untuk memahami cinta antar manusia, cinta antara laki-laki dan perempuan, tapi lebih dari itu, sangat membantu untuk memahami makna cinta dalam kehidupan yang lebih hakiki.
(MP)