Agenda 

Bersamamu di Pematang Sawah

Nasrul M Rizal lahir pada tanggal 27 Agustus 1995 di Garut. Menulis adalah cara untuk memanfaatkan waktu di sela-sela kesibukannya sebagi mahasiswa di Universitas Pendidikan Indonesia. Berkeinginan mempunyai perpustakaan pribadi dan melahirkan karya yang bermanfaat.

 

Cinta bisa datang kapan saja dan dimana pun. Tidak ada kata siap atau tidak siap. Meskipun kamu mencoba untuk menafikan keberadaannya, tetap saja cinta akan bersemayam di hatimu. Aku merasakannya. Sepuluh tahun silam, takdir membawaku untuk bertemu dengan seorang perempuan yang sangat berarti dalam hidupku.

“Perkenalkan, namaku Raida. Senang berkenalan dengan kalian.” Itulah kata-kata yang pertama kali aku dengar darinya. Dari penuturan guruku, Raida pindah dari Jakarta. Karena satu dan lain hal terpaksa dia tinggal di Garut, bersama neneknya.

“Raida silakan kamu duduk di sebelah Reihan,” kata Pak Nasir.

Entah apa pasalnya Pak Nasir menyuruh Raida duduk di sebelahku. Puluhan pasang mata tertuju padaku. Tatapan itu seakan berkata “Wah, beruntung banget si Reihan bisa duduk sama cewek cantik.”

“Pak, nanti Doni duduk di mana? Biasanya kan dia duduk sama saya.” Aku berusaha supaya Raida tidak duduk di sini, bersamaku. Kalian jangan berpikir kalau aku tidak normal ya. Alasannya jika Doni yang duduk di sini, otomatis ada teman yang bisa diajak ke kantin saat pelajaran berlangsung. Ngobrol seenaknya. Nyontek tugas. Baru tiga hari Doni tidak masuk aja, kelas ini mirip kuburan.

“Nanti Doni duduk sama Gio aja,” jelas Pak Nasir.

“Tapi Pak… “ Pak Nasir tak menghiraukan ucapanku.

Raida berjalan menuju kursi kosong di sampingku. Dia “mencuri” tempat Doni. Hilang sudah hari-hari penuh canda dan tawa, yang membuat guru menegur. Tidak jarang aku dan Doni dikeluarkan dari kelas gara-gara gaduh. Mulai hari ini semuanya akan berubah menjadi membosankan.

Raida sempurna duduk di kursi Doni. “Hai, aku Raida,” dia tersenyum mengajak kenalan.

“Aku Reihan. Panggil aja Rei,”

“Oke Rei …” Sekali lagi dia tersenyum

Suasana kelas kembali seperti biasanya. Semua siswa serius mencerna apa yang diucapkan Pak Nasir, sambil sesekali mencoret-coret kertas. Andai saja ada Doni, mungkin tidak akan bosan seperti ini. Tiga jam pelajaran berlalu sangat lambat. Mata ini sudah terkatup-katup menahan kantuk.

Akhirnya bel berbunyi, nyanyian yang menghilangkan rasa kantuk. Entah kenapa pelajaran sejarah selalu mengingatkanku pada kasur yang empuk. Kami bergegas istirahat setelah Pak Nasir mengakhiri pelajaran.

Satu bulan berlalu. Tidak banyak kata yang keluar dari bibirku, begitu pun dengan Raida. Kami jarang sekali bertukar kata. Kalau pun harus berbicara, itu menanggapi celotehan Doni yang menjadi ‘penghubung’ kami. Doni cepat sekali akrab dengan Raida. Dulu Raida “mencuri” kursi Doni, sekarang perlahan tapi pasti dia juga mencuri perhatiannya. Aku tak lebih dari sekedar cicak saat bersama mereka.

Di akhir semester dua Pak Nasir menyuruh kami mengamati katak. Meskipun anak-anak terus protes, Pak Nasir tetap saja tak menghiraukannya. Parahnya, anggota kelompok sudah ditentukan oleh beliau. Mau tidak mau aku harus menerimanya. Menerima satu kelompok dengan Raida dan Doni. Simpul senyum terpatri di bibir Doni, tapi tidak denganku. Bibirku sibuk komat-kamit menyumpahi Pak Nasir. Bagaimana mungkin aku bisa mengamati katak, baru membayangkan rupanya saja sempurna membuat bulu kuduk berdiri.

“Jadi kita mau nyari katak di mana?” tanya Doni membuka diskusi.

“Gimana kalau di sawah dekat rumah nenekku aja,” timpal Raida. Aku sibuk mengeksekusi mie ayam daripada berdiskusi. Mie ayam di kantin enak sekali rasanya.

“Wah ide bagus tuh” sahut Doni “Kalau menurut elu gimana Rei?” Doni memindahkan tatapannya padaku.

Aku terlalu sibuk menikmati mie ayam. Melahapnya sesendok demi sendok.

“Ah elu mah, kalo udah makan mie ayam lupa sama yang lainnya. Pantesan aja sampai detik ini nggak ada yang mau jadi pacar lu.” Doni melempari kulit kacang. Aku menatap galak.Raida tertawa melihat tingkah kekanak-kanakan kami.

Pulang sekolah Doni dan Raida sudah berada tepat di depan pintu rumahku. Seribu alasan aku buat supaya tidak ikut menangkap katak di sawah. Bukan karena cape atau takut kotor, tapi aku khawatir mereka tahu kalau si ganteng ini takut sama katak. Bisa-bisa nanti jadi trending topik di sekolah. Sayangnya tidak ada satu alasapun yang diterima Doni. Bahkan dia bilang kalau sakit perutku kambuh, tinggal pup aja di pematang sawah. Dasar gila!

Dengan wajah cemberut aku membuntuti mereka.

Kami sampai di sawah. Jaraknya hanya dua ratus meter dari rumah nenek Raida. Doni dan Raida turun ke sawah, menyapu setiap sudutnya. Mata mereka awas mencari mahluk hijau yang hobi melompat-lompat. Yang juga senang bernyanyi, apalagi saat hujan. Merdu sekali nyanyiannya. Tapi tetap saja aku membencinya. Doni memaksa aku untuk bergabung. Sekali lagi aku menolak dengan alasan perut yang sakit. Jadinya aku mirip mandor saja. Cuma melihat mereka.

Tanpa aba-aba Raida mendekatiku, membawa katak besar. Aku kaget dan langsung lari terbirit-birit di pematang sawah, hingga jatuh berkali-kali. Bukannya menolong, Doni malah tertawa jahat. Celaka, Raida terus mengejarku, sampai lelah. Aku mengancam mereka supaya tidak memberitahu perkara ini pada siswa lainnya. Tidak boleh ada yang tahu kalau aku takut pada katak. Mereka tersenyum licik, lalu mengangguk.

Sekarang aku kelas XI. Aku masih satu kelas dengan Raida namun tidak dengan Doni. Kami semakin dekat saja. Pergi dan pulang sekolah bareng. Kedekatanku dengan Raida naik satu tingkat. Ada rasa yang tidak bisa aku jelaskan. Perasaan itu hadir begitu saja. Dulu aku biasa saja saat berbicara dengan Raida tapi sekarang berbeda. Jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya, jangan-jangan ….

Meskipun bibir ini selalu berkelit saat diinterogasi Doni, tapi hati malah terus membenarkannya. Rentetan pertanyaan yang diajukan Doni selalu saja sama, apakah kamu suka sama Raida?

Setelah sekian lama mengumpulkan keberanian, aku mengambil keputusan. Aku akan mengungkapkan perasaanku pada Raida di pematang sawah.

Hari itu matahari sedikit tergelincir dari atas kepalaku. Burung bernyanyi, seakan menyanyikan lagu cinta untukku. Setelah aku gemetaran mengungkapkan perasaan. Raida terdiam beberapa saat. Menatapku, buliran air menggelinding di pipinya. Secepat kilat bibirnya mengeluarkan untaian kata. Kata itu sempurna membekas di hatiku hingga detik ini. “Maaf! Aku tidak bisa.”

Seuntai kata itu berhasil meremukkan hati, mengubur harapan, menenggelamkan senyuman. Butuh waktu yang sangat lama untuk mengumpulkan keberanian. Mengungkapkan bisikan cinta yang menggebu di dada. Sayang, saat bibir sudah berani mengungkapkannya, hati malah menangis. Menangis menerima kenyataan. Cintaku bertepuk sebelah tangan.

Garam menabur luka yang menganga. Satu bulan setelah Raida menolakku, kabar menyakitkan sampai ke telinga. Aku membenci Raida, dia bilang tidak akan pacaran dengan siapa pun. Nyatanya dia malah pacaran dengan lelaki yang sangat aku kenal. Ya, dia sahabatku. Doni. Sempurna mereka menghancurkan hatiku.

Hari ini sepuluh tahun silam. Aku kembali menapaki pematang sawah yang sangat spesial ini. Ketahuilah, lima tahun lamanya aku tersungkur di jurang nestapa mengharapkan cinta Raida. Membujuk hati supaya bisa melupakannya dengan cepat. Berbagai cara aku coba, menjauhinya, memusuhinya hingga membencinya. Sayang luka yang ditingalkan teramat sulit untuk dihilangkan.

Lima tahun berikutnya aku mencoba menerima kenyataan. Terus memperbaiki diri. Menambah gula pada pahitnya kopi. Aku mengadu pada pena dan lembaran kertas. Kini lebih dari sepuluh buku yang aku tulis menjadi best seller. Keajaiban pun datang. Raida menemuiku. Dia meminta untuk menandatangani buku yang aku tulis (untuknya). Aku kaget tak terkira, sepuluh tahun lamanya aku berusaha untuk melupakannya. Sekarang saat aku sempurna lupa dia datang lagi di kehidupanku.

Setelah bertemu di pameran buku, aku membuat janji untuk makan malam dengan Raida. Menceritakan banyak hal. Mengingat kembali masa lalu. Saat kami di pematang sawah. Saat kami tersenyum hingga saat dia menangis. Tidak waras. Aku melakukan hal yang sama seperti di pematang sawah sepuluh tahun yang lalu. Mengungkapkan perasaanku.

“Aku tidak tahu kenapa perasaan ini bertahan begitu lama. Padahal aku sudah mencoba berbagai cara untuk memusnahkannya. Raida, mungkin kamu menganggapku gila. Ya, aku memang sudah gila sedari dulu.” Aku menghela nafas panjang. “Tenang saja, saat ini aku tidak akan meminta kamu untuk menjadi pacarku.”

“Raida maukah kamu menjadi istriku?” Aku mengeluarkan sebuah cincin.

Raida tidak bisa menahan air matanya. Apakah air mata itu adalah jawaban? Seperti sepuluh tahun silam.

Lima detik berlalu tanpa jawaban.

Sepuluh detik.

Lima belas detik. Masih sama.

Raida sibuk membendung air mata. Sedangkan aku sibuk mengendalikan detak jantung yang sangat cepat. Mengatur nafas supaya tidak berhenti.

Di detik yang ke enam puluh, dia menjawab, “Iya aku bersedia,” senyum menyertainya.

Jawaban yang membuat aku bahagia. Merasa menjadi lelaki paling bahagia di muka bumi ini. Aku memasang cincin pada jari manis Raida. Cincin model lama yang aku beli sepuluh tahun silam. Bukan emas. Hanya perak. Dulu dia tidak mau menerimanya. Aku memeluknya erat. Tidak terasa mataku ikut basah.

Hari ini sepuluh tahun silam. Aku kembali menapaki pematang sawah yang sangat spesial ini bersama dengan istriku. Mengingat banyak hal. Dulu dia membawa katak, sehingga aku berlari terbirit-birit. Satu rahasia besar terungkap setelah kami menikah. Raida tidak benar-benar pacaran dengan Doni. Dia melakukan itu supaya aku menjauhinya, fokus terhadap sekolah, cita-cita, dan masa depanku. Awalnya Doni tidak mau melakukannya. Namun, setelah Raida memberikan penjelasan, Doni pun menyetujuinya. Raida mengaku, sepuluh tahun sudah ia sempurna menyembunyikan perasaannya. Hanya air mata saja yang tahu bagaimana perihnya menahan rindu. Dia tidak henti membujuk hati. Meyakinkan diri kalau keputusan yang dulu diambilnya tidaklah salah.

 

 

 

Related posts

Leave a Comment

seventeen − fourteen =