ARTIKEL 

Pemain, Penonton, dan Komentator

Dunia dalam lingkaran

 

Dalam dunia sastra tanah air khususnya genre puisi, kerap kali kita menyaksikan seorang penyair berperan sebagai penonton sekaligus komentator. Sederhananya banyak dalam event sastra kita menyaksikan seorang penyair adalah juga penonton yang kadang juga berperan sebagai komentator. Dalam lingkup yang lebih luas, bukan pada suatu event ternyata hal semacam itu tetap berlangsung. Misal saja dalam ruang yang lebih terbuka, di dunia maya atau media sosial atau juga interaksi antar para penyair sehari-hari.

Pada pertandingan dan di luar pertandingan ternyata peran itu kerap bercampur aduk. Bukan hal yang aneh jika penyair sebagai pemain juga sering menjadi penonton dan komentator. Tak ada larangan untuk itu, hanya kenyataan ini bisa membuat kita berpikir sejauh mana puisi mendapat perhatian di mata pembaca (khalayak).

Puisi seolah bermain di dunia sempit atau bahkan lingkaran sempit yang tak mampu merambah dunia luar. Pemain tentu saja bisa menjadi penonton, tetapi kita seharusnya menarik khalayak untuk menjadi penonton. Ini penting agar puisi benar-benar bisa sebagai suatu hiburan yang menyenangkan dan mendidik. Dengan kata lain puisi bisa “memasyarakat” dan menjadi ruang dialektika. Hal ini sesungguhnya sangat mungkin jika seorang penyair bisa menyajikan pertandingan yang menarik dengan kemampuan yang benar-benar memenuhi kualifikasi, bukan asal-asalan tanpa memperhatikan aturan main.

Coba kita renungkan lebih dalam, adakah sesungguhnya khalayak yang benar-benar bisa menjadi penonton yang setia pada puisi. Ini bisa menjadi subyektik tapi kita bisa mengidentifikasi indikator-indikator tersebut dengan benar-benar mencermati sejauh mana puisi diterima dan dinikmati oleh khalayak. Panggung, event, diskusi, dan festival puisi hanya dipenuhi oleh para penyair yang juga bertindak sebagai penonton. Sangat sedikit kalangan umum yang datang dan menjadi penonton.

Ada banyak khalayak sesungguhnya yang bisa kita tarik untuk menjadi penonton. Pelajar dan mahasiswa, ibu rumah tangga, dan segala macam profesi bisa menjadi penonton yang setia sebagai layaknya mereka menonton sebuah acara yang menarik dan berbobot.

Puisi tentu saja bisa menempatkan dirinya sejajar seperti halnya sastra dengan genre prosa atau novel yang mampu menarik khalayak untuk bisa menjadi penonton. Sebuah novel atau cerpen bisa dibaca (dibeli) hingga jutaan eksemplar, dan beberapa novelis atau cerpenis bahkan kerap ditunggu pembaca akan kehadiran karya baru mereka. Selain itu banyak cerpen dan novel telah diangkat dalam film layar lebar yang membuat jumlah penonton meningkat secara drastis yang kerap makin membuat sang sastrawan mendapat apresiasi tinggi padahal bisa jadi novel atau cerpen tersebut juga tak memiliki kualitas yang tinggi karena sangat mungkin unsur komersil yang lebih ditonjolkan.

Jumlah penonton mungkin bukan satu-satunya ukuran, tapi tentu kita juga ingin membuat puisi di negeri ini mendapat perhatian penonton. Ini sangat mungkin sesungguhnya karena puisi lebih memiliki ruang yang lebih luas dibanding cerpen atau novel. Puisi tidak hanya berupa tulisan yang bisa kita tulis di banyak media tetapi juga memiliki ruang panggung yang memungkinkan bisa berinteraksi secara langsung.

Tak ada sesungguhnya yang ingin mengekang kebebasan penyair, mereka memiliki dunia sendiri yang memang kerap diidentikkan dengan kebebasan dan kreatifitas. Kreatifitas adalah dunia tanpa batas. Tapi jika penyair tenggelam dalam kredo semacam itu, maka wajar saja jika kemudian mereka sedang membangun sebuah dunia atau lingkaran yang sempit.

Suatu hal yang harus disadari adalah bahwa penyair juga sering berperan sebagai komentator. Tak semua bisa menjadi komentator. Dalam sebuah pertandingan, komentator memiliki kompetensi khusus dan dilakukan pada saat pertandingan berlangsung. Di ranah puisi, kerap komentator tak memiliki kompetensi khusus, ironisnya lagi komentar sering dilakukan tanpa memperhatikan situasi dan momentum karena bisa dilakukan pada saat atau bahkan di luar pertandingan.

Fenomena lain adalah keberadaan wasit dan juri di dunia puisi, dalam hal ini adalah kurator dan redaktur. Dalam sebuah pertandingan kerap kali wasit atau kurator tak bisa bersikap tegas. Kurator mungkin kerap menghadapi situasi di mana para penyair bisa berperan sebagai pemain, penonton, sekaligus komentator. Sesungguhnya dalam keadaan tertentu, dalam hal ini pada suatu pertandingan, kurator dan redaktur bisa memainkan peran secara lebih maksimal. Kurator bisa bersikap netral dan objektif, atau setidaknya memiliki ketegasan jika ada pemain yang bertindak sebagai komentator dengan cara mengajukan protes atau usulan manis yang mencoba mempengaruhi laju pertandingan, sebab selesai pertandingan, seorang kurator tak bisa berbuat banyak.

Tak ada wasit dan juri di luar pertandingan. Ya, tak ada kurator di luar pertandingan, tetapi pemain, penonton dan komentator bersuara dengan sebebas-bebasnya. Jika toh permainan digelar secara tak resmi semisal acara panggung atau diskusi dan katakanlah tak ada wasit atau juri di situ, maka sesungguhnya tetaplah ada aturan main. Tapi sering kali penyair tak begitu peduli dengan aturan main, maka akhirnya penyair bermain dengan lingkaran mereka sendiri yang membuat khalayak tak mendekat.

 

Menarik minat penonton luar

Upaya yang telah dilakukan beberapa rekan penyair saat bekerja sama dengan pihak sekolah, kampus, lembaga swasta dan pemerintah sesungguhnya suatu hal yang positif. Juga beberapa rekan penyair yang mengadakan gelaran puisi langsung bersama warga, itu layak diacungi jempol. Para penyair lain mungkin bisa lebih memaksimalkan kegiatan tersebut. Upaya menarik penonton luar tentu lebih berarti ketimbang mencurigainya dengan bermacam dalih. Penyair ada baiknya melakukan intropeksi bukan sekadar membuat justifikasi bahwa dunia penyair adalah dunia yang berbeda dengan dunia luar. Perbedaan adalah suatu hal yang sangat wajar dan faktual., tetapi kita tetaplah berinteraksi dengan dunia luar di mana kita bisa saling bersinergi. Tentu puisi yang kita tulis ingin bisa dihargai. Tentu penyair ingin sekali mendapat tempat yang layak, tapi jika kita mengungkung diri sendiri tentu sangat sulit bisa terjadi sinergi.

Penyair bisa saja menjadi pemain, penonton dan komentator meski sesungguhnya komentator haruslah memiliki kompetensi. Pada saat-saat tertentu lebih baik menjadi pemain yang baik yang nantinya mampu menyedot penonton luar atau khalayak. Seorang penyair sesungguhnya adalah pemain sejati yang tak pernah mengenal kata berhenti, meskipun begitu seorang pemain pasti mengalami masa istirahat sejenak atau lama. Pemain yang baik akan diikuti oleh banyak pemain baru yang lain yang sangat mungkin melahirkan juga pemain yang baik.

Ya, bermain dan bertandinglah dengan baik hingga penonton pun hadir memberi penghormatan atau bahkan melontarkan ucapan pedas. Di antara penonton yang beragam itu kelak akan lahir seorang komentator dan pengamat yang hebat karena telah menonton permainan yang dahsyat. Sebagian besar lain penonton yang datang akan becerita pada banyak orang di luar sana bahwa puisi lahir bukan karena basa-basi atau dari sebuah dunia yang tak dimengerti.

 

Mahrus Prihany, divisi kaderisasi dan organisasi KSI

 

 

Related posts

Leave a Comment

10 − 10 =