Puisi-Puisi Raedu Basha
Raedu Basha (Badrus Shaleh), lahir 3 Juni 1988 di lingkungan Pondok Pesantren Darussalam Bilapora Sumenep Madura. Alumnus Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-guluk Sumenep dan Pondok Pesantren Sarang Rembang. Buku puisinya: Matapangara (Ganding Pustaka, 2014); risetnya Etnografi Sastrawan Santri (tesisnya pada pascasarjana Antropologi Universitas Gadjah Mada/belum diterbitkan) 3 besar penghargaan riset Mizan 2017. Diundang mengisi program Festival Kesenian Yogyakarta 2014, Ubud Writers & Readers Festival 2015, dll. Mendapat banyak penghargaan dan memenangkan banyak lomba.
Lidi Kaligrafi
kapankah kita membuat janji
bersua mengejakan kembali lafal-lafal Qur’an mini
juga melukis kaligrafi dengan sebatang lidi
tangan ini gugup mengukir namaku sendiri
jantung gugup mendegub namamu di hati
kau pinta aku menggambar wajah kita
pada dinding-dinding impian
pada tembok-tembok kenangan
“kelak rumah kita adalah benteng terakhir
ketika di luar ada badai” bisikmu
dulu aku tak paham bahwa itulah
bahasa kasih
kini cuma rindu kusemayamkan
berteduh di kaki waktu
memandangi lembut awan
dari jauhnya jarak dua ruang
kau dan aku, tersimpan
oleh makna yang rahasia
entah apa, entah apa
dari lubang ingatan, kuintip masa lalu
langit keemasan mengilau di kening tuamu senja itu
kini membasahi bumiku, seluruh kenangan luruh
seumpama lirih gerimis, percik-percik perlahan jatuh
rintik rapuh dari mendung jutaan kangen yang mengeluh
petir geram menghantam kalbu
mengharap kunci doa
membuka pintu-pintu sua kita
dari lubang ingatan, kuintip masa lalu
masa belia sebatang lidi dan tintamu
kau suruh aku membaca menulis basmalah
aku gemetar, betapa koyak diri menyebut asma Allah
betapa indah ukiran lafal bismillah
dalam kaligrafi perasaan
terberkatilah pertemuan kita dulu
seumpama darahmu mengalir di urat-uratku
lewat lubang huruf mim ke mim ke mim
dan alif-lam dengan lidi
melukis kaligrafi bunga-bunga haru
kuresap gaharu, kucium hangat getarmu
tapi oh, bagaimana kesempatan kembali berulang
sakit peri obatnya hadirmu ke mari
mungkin pada sepasang cangkir hangat di meja
atau suatu mimpi malam nanti
tapi oh, hanya kutahan nyeri
sebab kerinduan menahun tanpa syair selimut Al-Bushiri
walau kumadahkan Kasidah Burdahnya 99 kali
aku di sini tanpamu datanglah walau sekali
walau sejenak membetulkan letak tanganku memegang lidi
melukis kaligrafi basmalah yang belum jua jadi-jadi
pada dinding-dinding tauhid pada tembok-tembok ilmu
“kelak kaligrafi kita adalah benteng terakhir
ketika rindu tak cukup bertahan”
Bisikmu dari jarak bayangan
Jalan Lora
telah kutapaki jalan
yang tak kau tunjukkan
jalan terlarang dalam pesan-pesan
sakit masa silam
dan kutanggung rintih sepanjang derap
sebab kau pergi sebelum aku benar-benar siap
untuk berangkat
mengiringi kesunyianmu
namun lafal-lafal di dadaku
senantiasa tancap
kueja terus di setiap
udara kuhirup
sebagai jawab
bagi isyarat tanya
yang degab
dalam degup
bait-bait alfiah
firman-sabda singkat
memagari ruh
dan nur lubang-lubang tubuh
bagaikan rajah-rajah
bertintakan sepertigamalam
menulis jimat langit subuh
menjelma syair yang mendesirkan aortaku
namun aku
belum bisa menyiapkan kertas baru
bagi lafal-lafal, menjamu santri dan tamu
sebasah kalbu menulis petuah
tentang pahala dan loba, sebab aku
masih betah bermain di jalan ini
jalan yang sama sekali
tak pernah terbayangkan
Lora: musik, celana, kopi, puisi,
dan menikahi gadis perantauan.
Ganding Pustaka, 2016
Peramal
buat Mira MM Astra, dkk.
kuberikan tanggal lahirku,
selintas bara dupa memanas telinga
kau ramal lelaki ceking sebagai cecunguk,
karma suami penindas kesetiaan istrinya
yang sudah menjelma emak-emak gendut
di pesta ulang tahun putunya yang ke-1000 kali tarikan napas.
dada berdebar
menyiptakan kerutan kasar di dahi tipis samar
hukuman apalagi yang diturunkan hujan
pada tanah tandus halaman rumah?
ah, aku masih punya
api untuk tungku esok hari
kemudian kau tanyakan tanggal lahir istriku,
ramalanmu pecah kelakar
: sepeda melintasi jalan-jalan kampung, dua roda berputar
sejajar tarikan napas yang ke-1000 kali di rongga.
kau pinta istriku menjadi rantai, kawat-kawat velg,
yang berputar lancar searus takdir bundar mengayuh pedal
sekencang mungkin di trotoar-trotoar
menuju empat mata angin
dada istriku berdebar
bukankah wajahnya begitu bulat
sepucat jumat keempat zulkaidah
menyimak tutur asing peramal sesat
yang melihat tabiat
dengan menujum tanggal lahir?
Ganding Pustaka, 2016