puisi 

Puisi-puisi Riduan Hamsyah

Riduan Hamsyah, puisi puisinya pernah dimuat Majalah Puisi, Majalah Sabili, Majalah Suluh, Harian Lampung Post, Koran Dinamika News, Harian Media Kalimantan, Radar Banjarmasin, Harian Satelit News, wartalambar.com, saibumi.com, nusantra news, Harian Amanah (Jakarta) serta dalam buku-buku antologi bersama atau pribadi yang terbit sejak tahun 2006. Kini bergiat dan berdomisili di Pandeglang, Banten.

 

Mata Kekunang

 

Ia masih menyala, padahal hari mulai larut

menghindari gigitan nyamuk

menghindari angin malam yang lengket

di kulit. Tidurlah, engkau putri manis.

 

Aku menyebutmu ‘Galuh Kelindan Senja’

tepat di bulan ini

pada tiga tahun yang lalu, selepas magrib itu

menetaskan perempuanmu

menyempurnakan hitungan kesekian nama-nama

yang meramaikanku.

 

Dan matanya menyimpan banyak kekunang

begitu kembara

mengisyaratkan agar aku menulis lebih banyak puisi hingga jauh malam

untuk menemaninya di kemudian hari-hari lebam.

 

“Galuh, aku tak ingin terlalu berenang, dalam lipatan

yang sebenarnya belum kita pahami..!”

 

Selalu kuhentikan kalimat ini pada parkiran

yang sepantasnya saja:

– di halaman sebuah kantor tempat aku bekerja

– di samping rumah kontrakan kita

– atawa sesekali di teras sebuah mini market

tempat dirimu menyambar tangkai es cream.

 

Kita ini orang biasa. Kenyang dengan kemelaratan

bebal dengan himpitan. Jadi, aku tak dapat

menarasikan yang lebih jauh dari itu

yang melompati tubuh lusuh

sebab aku tak mengajakmu hidup dalam kantuk ‘kepura-pura-an’

pura pura menyelam padahal kita ini mengapung.

 

Banten, 12 Mei 2017

 

 

Kerinduan untuk Pulang

 

Akhirnya kami merindukan semua itu

sebuah desa, di kaki gunung, yang menelurkan

sungai berbatu.

 

Kami menyebutnya ABUNG. Bayangannya meneduhi nisan

ayah kami, nenek dan kakek kami, tertancap di sini

suara semuanya masih terngiang

kadang membuat hasrat ke muara.

 

Juga sajak-sajak yang dipaksa jadi aneh

mengikuti selera orang di seberang

padahal (sejatinya) kami lebih menyukai kekata

yang biasa saja, asal bisa mengobati luka.

 

Itu pula yang membuat kerinduan untuk pulang

kembali pada diri, pada desa, kesederhanaannya

sejak lama telah menghidupi kami

dengan bahasa lugas dan beraroma kesejukan

yang membuat kami dinamis dan tertidur.

 

Serang, 10 Mei 2017

 

 

Berhenti Sejenak

 

 

Membuang penat. Menghindari orang orang yang

menggugat

ada saja hening di keramaian ini, di batu alam abu abu

dingin. Sejuk mengalir ke rusuk.

 

Di sebuah kantor derap kehidupan lalu lalang

mengebiri diri dengan hasrat meminjam yang belum juga padam

bahkan menyala terus

ini kebutuhan, orang orang berkilah, dan aku memberontak

pelan pelan.

 

Tuhan, bila jalan hijrah ini telentang, maka di tepiannya saja aku cukup

asalkan bisa menapak, menghindari pertikaian dengan dunia

yang hanyir benar baunya.

 

Seperti layar ponsel yang banyak disinggahi

nomor nomor asing

kita mulai lelah, dan lebih banyak mengabaikannya, dengan perasaan lebih ramai

tetapi entah bentuknya menyerupa apa.

 

Sebab aku tak pernah sepi

memikirkan ini

meski kadang berhenti sejenak, memeriksa sesak.

 

Pandeglang, 20 April 2017

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Related posts

Leave a Comment

four × five =