Agenda 

Mencari Ibu

Zainul Muttaqin, lahir di Garincang, Batang-batang Laok. Batang-Batang, Sumenep Madura 18 November 1991. Cerpen dan puisinya dimuat pelbagai media nasional dan lokal. Salah satu penulis dalam antologi cerpen; Dari Jendela yang Terbuka (2013), Cinta dan Sungai-sungai Kecil Sepanjang Usia (2013), Perempuan dan Bunga-bunga (2014), dan Gisaeng (2015). Tinggal di Madura. Email; lelakipulaugaram@gmail.com

 

Meradang wajah Sukam, bertelanjang dada di sebuah rumah berupa gubuk tua. Sorot mata laki-laki itu menakutkan, memandang laut dengan kekuatan luar biasa. Mendengar Manyang bertanya dimana ibu kini berada? Terselubung deru gelombang, seketika mulut Sukam mengutuk anaknya sendiri. Tak tanggung-tanggung, dibuatnya Manyang bergidik. Tubuh laki-laki berusia remaja itu bergeletar hebat.

“Ibumu ditelan laut!” murka Sukam tak henti-henti, letupan bara meledak di dadanya yang ringkih. Ia membuang muka. Bengis.

“Aku ingin mencari ibu.” Tak berani mendongakkan wajah, sayup-sayup dan terdengar ragu-ragu Manyang menguatkan nyali untuk berkata pada lelaki yang berdiri di ambang jendela tersebut. Hujan mendesis turun hati-hati, gelombang mengguncang laut sejarak mata Sukam memandang.

Sunyi, terjatuh gerimis dari liang sudut mata Manyang. Di wajah Manyang, betapa Sukam melihat kerinduan seorang anak pada ibunya. Ia melihat sorot mata anaknya yang begitu berhasrat, mencari perempuan yang dulu menimangnya, dan yang kini raib, entah kemana. Bukan maksud Sukam memutus pertalian darah yang terhubung antara Manyang dengan perempuan yang waktu terakhir kali angkat kaki dari rumah, meninggalkan tangis, mendayu-dayu, diantara desir angin, yang merontokkan dedaunan.

“Aku rindu ibu,” di sela tangisnya yang lugu, menyusup rindu yang begitu kuat bersarang di dada Manyang. Tak lagi menangis, tinggal isak yang terdengar ritmis.

“Di laut itu ibumu ditelan gelombang bersama lelaki biadab!” ke laut Sukam mengarahkan jari telunjuknya. Bias-bias kecemburuan membakar dadanya setiap melihat tepi laut yang berpasir, ditumbuhi cemara udang. Disana, di balik rimbun cemara udang Sitti, istrinya bercinta dengan seorang nelayan berkulit gelap.

Dalam hujan yang turun. Dingin begitu menggigit. Tak ada Sitti di rumah. Tak terdengar letupan tungku, biasa ia mengangsurkan kayu ke mulut tungku. Lelah tak terkira merambat sekujur tubuh Sukam. Laki-laki itu baru saja pulang dengan sekeranjang ikan. Tubuhnya hitam legam terpanggang matahari di laut. Mata tuanya mencari-cari Sitti, yang biasanya menyambut dirinya di ambang pintu, dan menyeduhkan kopi.

Kakinya telanjang, menakik pasir yang basah. Begitu gegas ia melangkah diantara rindang cemara udang yang tumbuh di bibir laut. Tak menemukan apapun. Lantang ia meneriaki nama ‘Sitti’ berkali-kali. Begitu sempurna cinta Sukam pada Sitti yang sudah memberikan anak laki satu-satunya. Tak lelah, ia mencari di setiap cemara udang yang menyungkup seperti tangkuban perahu.

“Terlaknatlah kau!” Angin berhenti bergerak. Membara wajah Sukam, mengutuk Sitti yang berlindung dibawah cemara udang bersama laki-laki bermata juling yang asing baginya.

Tak berkutik, Sitti bangkit membenarkan tubuhnya yang acak-acakan. Merasa tak peduli, laki-laki yang baru saja menindih tubuh Sitti begitu gegas melangkah, menjauh, tersaruk berjalan menapak pasir putih. Setengah telanjang, sangat lekas ia menyeret kakinya yang kasar. Deru gelombang terombang-ambing. Bergeletar tubuh Sitti, mengucurkan bau keringat yang campur aduk. Merah padam wajah Sukam memandangi raut Sitti yang ketakutan.

“Sebaiknya kau tak perlu lagi pulang ke rumah. Kau tak pantas mendidik Manyang. Pergilah yang jauh,” nyeri menghantam relung hati Sukam.

“Bagaimana kalau Manyang bertanya?” terbit sedikit nyali untuk berkata pada Sukam yang tengah berdiri dengan gaya menantang.

“Akan kukatakan yang sebenarnya.”

“Mengapa begitu?”

“Manyang pantas tahu mana yang benar mana yang salah. Ia sudah dewasa.”

Meraih pohon cemara. Sitti berdiri. Tak kuat lagi menatap mata Sukam yang menyulut. Ditundukkan mata Sitti yang terbalut air mata. Dikibaskan pasir yang menempel di bagian tubuhnya. Lambat ia melangkah, hatinya berat, teringat Manyang. Baru sadar betapa dosa telah diperbuat, dan menghancurkan cinta yang dibangun bersama di sebuah rumah berupa gubuk tua di bibir laut itu, bersama Sukam, bersama Manyang.

“Apa kau tak mengharap aku kembali suatu saat nanti?” gamang, dan ragu-ragu Sitti menundukkan pandangan.

“Pergilah! Sebelum kesabaranku habis,” tukas Sukam. Meradang wajah hitamnya. Api menjilat-jilat di kedua matanya.

Bertubi-tubi nyeri menghantam hati Sitti yang terus melangkah. Menapaki pasir. Melewati semak cemara tubuhnya menghilang dari pandangan Sukam. Bergulir waktu, membias senja merona jingga menggaris langit. Sukam meninggalkan tepi laut itu, yang sejarak pandang dari rumah ia tinggal. Terenyuh, tak terkira luka menganga bila Manyang kerap bertanya; dimana ibu kini?

***

Lampu teplok yang bersandar di dinding, mendesis-desis dari tiupan angin. Bulan bulat melingkar seperti hasrat Manyang mencari ibunya. Tak lagi dihiraukan murka ayahnya. Manyang sering mengutarakan keinginannya untuk mencari Sitti, ibunya yang kini tak tahu dimana. Meledak amarah Sukam, memaki dan mengutuknya hingga Manyang berkali-kali pula merasakan geletar hebat di sekujur tubuhnya.

Dari balik sinar bulan yang tersembunyi. Manyang melangkah hati-hati, menembus pekat malam. Tak terdengar suara kaki telanjang yang sedang bergerak. Hati-hati pintu dibuka. Tak menimbulkan derik, hanya suara ombak dari utara yang terus berderu-deru. Begitu di ambang pintu. Urung melangkah kaki Manyang. Terdengar Sukam berbatuk dari belakang. Gemetar Manyang melihat ayahnya berdiri, dengan mata yang sangat ia tidak sukai. Seperti pandangan seorang musuh pada lawannya.

“Mau kemana kau?” terselubung remang lampu teplok menahan tiupan angin, Sukam berujar agak lirih.

“Mencari ibu,” tukas Manyang. Terbenam matanya. Tak berani melihat mata ayahnya yang tajam.

“Apa yang kau cari dari perempuan tak tahu adab itu?” mendesah Sukam, membakar api kemarahan, terbayang peristiwa kelam dibalik rindang cemara udang.

“Surgaku ada pada seorang ibu,” tegas Manyang menjawab. Bulan sempurna melengkung seperti celurit. Terdiam sejenak Sukam mendengar anak lelakinya berujar. Ditutup kembali pintu. Jendela yang terbuka ke arah laut dirapatkan. Ombak berdesis-desis pelan dari utara.

“Tapi, bukan perempuan seperti ibumu!” berat suara Sukam.

“Dosa ibu hanya pada ayah. Ia tetap ibu yang baik bagiku, bertaruh nyawa melahirkanku. Wajib bagiku mematuhi segala kebaikannya. Biarkan aku mencari ibu,” pecah gumpalan awan hitam yang menggantung di kedua mata Manyang. Hujan luruh, jatuh satu-satu. Terisak Manyang, menahan rindu yang teramat.

“Tidak ada surga pada ibumu! Pada perempuan laknat itu!” membelah langit-langit rumah, meledak amarah Sukam. Lenguh napasnya tak beraturan.

“Surga seorang anak hanya ada di telapak kaki ibu,” berujar Manyang dengan hati-hati. Sesak dadanya, terbayang wajah ibunya yang telah raib.

“Masihkah surga itu kau anggap ada pada perempuan yang berdosa?” bertanya Sukam, nadanya agak lirih sekarang. Mengambil napas panjang.

“Ketentuan Tuhan tidak berubah-rubah. Dan bagaimana ayah tak mengampuni dosa ibu?” jawab Manyang tegas, disusul pertanyaan yang tiba-tiba terasa menghantam dada Sukam.

“Terlalu berat,” singkat Sukam menjawab.

“Seberat apa sehingga tak ada pengampunan bagi ibu? Tuhan Maha pengampun. Dan ayah hanyalah ciptaan-Nya. Bagaimana tidak punya sedikit belas kasih?”

Tak bergeming. Tiba-tiba saja lelaki setengah senja itu menekuk wajahnya. Getar bibirnya terombang-ambing. Ia tak lagi berani berkata-kata. Liang sunyi dari sudut matanya menyiratkan penyesalan. Direngkuhnya Manyang, dengan tubuh bergetar. Manyang merasakan air mata jatuh di punggungnya. “Carilah ibumu. Bawa ia kemari,” terbata-bata ujar Sukam. Alangkah berbinar mata Manyang. Dilepas adegan rangkul merangkul. Mereka tersenyum, memandangi kedalaman mata satu sama lain .

***

Lepas Subuh. Matahari membias warna merah jingga di sela-sela pasir putih. Baru selesai, Manyang memohon bertemu ibu, segera dimana pun dan bagaimana pun. Membuka pintu. Laut berbingkai sejarak Manyang memandang. Gelisah Manyang, terhenti sejenak. Berpikir kemana harus melangkah, mencari ibu yang raib secara tiba-tiba setelah ayahnya mengusir. Tak mungkin ibunya tinggal di gubuk-gubuk yang banyak berdiri di bibir laut. Pasti menjauh, sejauh kenangan yang harus pergi.

“Dimana ibu harus kucari?” tanya Manyang pada ayahnya.

“Entah. Ia pergi tanpa kutahu arahnya. Pun tak terdengar kabarnya,” ke laut yang masih terlihat tenang, Sukam membidikkan matanya. Berkali-kali cemara udang yang tumbuh di bibir laut terkena tempias ombak.

“Adakah tanda yang bisa kulacak?” tak tahu kemana Manyang harus mencari. Bingung Manyang. Memilih duduk, dan berpikir mencari-cari tempat yang sekiranya dijadikan tempat singgah oleh ibunya. Tak terbersit apapun. Pikirannya buntu dan memang tak ada tempat berlindung selain rumah ini bagi ibunya. Lantas kemana ibu pergi dan kemana harus kucari? Kecamuk pikiran Manyang terombang-ambing.

“Tidak ada. Carilah dengan hatimu. Dimana pun ibumu berada. Yakinlah kau pasti menemukannya,” tukas Sukam. Dua bola matanya berkaca-kaca.

Melangkah hati-hati, menapaki pasir putih. Melintasi cemara udang. Keresak sandalnya terdengar begitu berat. Mengikuti kata hati, Manyang gegas melangkah. Tak tahu tujuan mencari ibunya dimana. Ia terus menyeret kakinya. Tak hirau terik matahari. Tak hirau hujan mengguyur. Hasratnya luar biasa besar mencari ibunya. Tak peduli apapun dan bagaimana orang-orang mengira Manyang kehilangan akal. Berjalan tak menentu. Melewati tanah gersang, dari pantai ke pantai, dari bukit ke bukit. Tujuannya cuma satu; mencari ibu.

Pulau Garam, 2017

Related posts

Leave a Comment

4 × four =