puisi 

Puisi-puisi Fitriawan Nur Indrianto

Fitriawan Nur Indrianto, lahir di Yogyakarta, 27 Mei 1987. Menyelesaikan pendidikan pascasarjana di program studi Ilmu Sastra Fakultas Ilmu Budaya UGM. Bersama dua sahabatnya, Ramayda Akmal dan Asef Saeful Anwar menerbitkan antologi puisi Angin Apa Ini Dinginnya Melebihi Rindu (2015). karya-karyanya yang lain dapat ditemukan di surat kabar dan sejumlah buku antologi puisi bersama.

 

Hamburg yang Kau Kirim Kepadaku

      Ramayda Akmal

 

Hamburg yang kau kirim kepadaku

mungkinkah menjelma kampung halaman

salju putih dan daun daun pada menggigil

rumah rumah kecil berjajar rapi

dan orang orang sibuk membenarkan dasi

Di kotamu, kereta berjalan lebih cepat dari mulut yang kita buka

sebab di sana, orang orang lebih memilih diam

dalam keheningan masing masing

 

Hamburg yang kau kirim kepadaku

mungkinkah menjadi rumah untuk kembali

menjaga agar salam dan senyum sembunyi di ruang privasi

masih bisakah menulis puisi dan melukis pagi

sementara barangkali kita agar bergerak sepanjang hari

mengikuti kemana arah tergelincirnya matahari

 

Hamburg yang kau kirim kepadaku

mungkinkah menjadi alamat yang tepat untuk dituju

sementara di sini, di Jogja

puisi mengalir deras dan makna hidup begitu dalam

sedalam sungai Elbe dan Alster yang selalu kita bicarakan

 

Februari 2016

 

 

Bawalah Aku Pulang ke Minangkabau

        Adek Risma Dedees

 

Bawalah aku pulang ke Minangkabau

menyusur jejak rumah para penyair

mendengar kisah dalam tambo

legenda asal muasal

bawalah aku pulang ke negeri Minang

menyandarkan tubuh pada tiang rumah Gadang

merebahkan harap pada hamparan sajadah

di surau surau tempat para syech sufi

berkhalwat dan bertemu para nabi

bawalah aku pulang ke tanah Minang

menyicip rasa daging rendang dan kuah santan

menyapa ibu dan mamakmu

sambil sesekali bicara menyoal masa depan

sebab sesunggunya aku hanya ingin

bersandar pada bahumu

 

Pada pertemuanku denganmu di tanah Jawa

mengalir sungai kampar di dalam matamu

membawaku jauh menelusup ke dalam

keheningan jiwa dimana aku

akan melayarkan masa depan

bawalah aku pulang ke Minangkabau

selayaknya puisi puisi yang di tulis para penyair

menyapa kembali bumi, manusia, dan cerita

yang teduh dalam keharuan rindu

seperti burung murai

yang ingin berjingkrak dari dahan ke dahan

mengepakkan sayap kebebasan

terbang menelusup jauh dalam hidupmu-hidupku

 

Januari 2017

 

 

Melankolia

     Ifa Muza’rifa

 

pada pagi serta senja

berkejaran hujan dan kerinduan

merebut sempat demi tempat yang hangat depan bangku

meletakkan pensil dan pandangan mata

sebelum hening mengisi seisi jiwa dan kepala

 

kata kata melesat dari bibirmu bagai sepasang merpati

atap gedung tua menjelma kebiruan langit

hujan di luaran nyanyi merdu lagu asmara

anak anak sama merapal aksara

membaca hari depan lewat kamus dwi bahasa

 

gelegar tawa sesekali mengiring dalam jeda

suara suara mencipta kederasan

bersahut-sahutan menenggelamkan hujan

Kalangan mulai terjebak dalam riuh suasana

sementara tak ada yang tahu

bahwa mataku-matamu sedari tadi beradu sama menatap kenangan

mengeja abjadabjad kegetiran

yang ditulis begitu rapi oleh kehidupan

 

dalam bayangan apa yang telah lampau

Hujan dan angin tiba tiba begitu karib mengirimkan irama sunyi

matamu senantiasa memberikan isyarat

sementara waktu begitu cepat mengirimkan kabar kepulangan

 

pada catatan yang terselip di antara buku pelajaran

tertulis memoar panjang

Melankolia

Kata yang ditulis untuk mengabadikan

Segala apa yang tak bisa dilupa

 

 

7 Juli 2017

Related posts

Leave a Comment

six + 17 =