Sebuah Dunia yang Tenggelam
Plato pernah mengatakan bahwa karya sastra adalah sebuah mimesis. Sang filsuf mengatakan itu dengan berdasar bahwa banyak tulisan dan panggung pada saat itu memang mementaskan lakon-lakon sebagai sebuah tiruan dari peristiwa-peristiwa nyata yang kemudian diangkat dan dikemas dalam suatu seni pertunjukan.
Tentu apa yang dikatakan Plato tersebut tak salah meski juga ternyata karya sastra kini bergerak dan dimaknai tak lagi sesederhana seperti yang terjadi 23 abad yang lampau di masa hidup sang filsuf, meski harus kita akui tradisi Yunani kuno juga sangat dikenal memiliki seni dan peradaban yang sangat tinggi.
Karya sastra yang kita temui saat ini tentu telah mengalami perjalanan yang begitu panjang dengan lintasan periode yang beragam. Perkembangan pemikiran manusia telah berada pada satu masa dimana interaksi dunia telah berada seperti pada satu ruang yang kita bisa saksikan satu sama lain selama kita mampu dan mau memasuki ruang tersebut.
Mungkin kita tak lagi hanya menemui sebuah mimesis dalam suatu karya sastra semisal prosa, puisi, dan teater. Bisa jadi yang kita temui adalah hanya cipratan atau percikan, atau bisa juga sebuah imaginasi dan citraan yang tercipta jauh dari jangkauan kehidupan kita. Di tempat lain bahkan kita bisa melihat karya sastra sebagai suatu tipuan yang digunakan sebagai alat untuk melakukan sebuah hegemoni budaya. Ini hanya fakta-fakta yang membuat kita bisa semakin membuka mata bahwa karya sastra tetap memiliki peran yang sangat signifikan bagi perkembangan peradaban manusia.
Kita kembali pada karya sastra, apapun yang kita baca sesungguhnya kita memang melihat “dunia” di situ, sekalipun kita membaca karya yang dianggap paling absud. Seberapa besar pengaruh “dunia” tersebut tentu perlu kita masuki dan telusuri atau bahkan harus kita abaikan.
“Dunia” dalam karya sastra sesungguhnya adalah dunia yang unik dan hidup. Dunia yang dibangun dengan imaginasi tinggi, nilai-nilai filosofis, dan penuh dengan simbol yang mengusik nalar kita untuk mampu mencapai hal-hal yang dianggap tak mungkin tapi tetap memiliki konsep dan tautan untuk bisa berada di dalamnya.
Hal tersebutlah seharusnya yang mampu mendorong kita untuk menulis dan mengemas karya sastra secara serius. Suatu ketika kita bisa saja mengabaikan estetika, tapi kita harus menguatkan makna. Terkadang ada karya yang kita anggap tak indah, tapi kita melihat makna yang kuat yang mampu mendorong orang untuk berbuat. Sebaliknya terkadang kita membaca karya yang begitu indah tapi serasa dangkal akan makna karena kelemahan-kelemahan beberapa aspek dan elemen sastra.
Novel, puisi, cerpen, dan teater menjelma dalam “dunia” mereka yang berdiri sendiri. Apakah sebuah karya akan mampu bertahan atau akan tenggelam dalam waktu singkat, “dunia” yang dibangun dalam karya sastra itulah yang akan membuktikan hal tersebut. Kemampuan membangun dengan energi, ruh, spirit, pemikiran, gagasan, ideologi, atau apapun yang mendukungnya itulah yang akan memperkuat sebuah “dunia”.
“Dunia” yang dibangun dengan kata-kata tersebut sesungguhnya tak semudah yang kita bayangkan hingga dengan begitu bebasnya itu dibangun, meski juga tak serumit seperti yang kita pikirkan karena pada faktanya kita telah banyak menemukan dan membacanya dalam kehidupan kita sehari-hari bahkan sebagian kita begitu memujanya.
Hal yang paling mungkin dan harus kita lakukan saat ingin mencipta karya sastra adalah dengan melihat, membaca, memahami, dan menelaah “dunia” sebelumnya atau yang ada di sekitar kita. Itu adalah langkah awal. Mungkin ini telah banyak dilakukan oleh banyak orang walau pada praktiknya mungkin masih bisa diperdebatkan. Banyak juga karya sastra yang kita baca tak memiliki jejak dan akar yang kuat bahkan fondasinya begitu rapuh. Tak ada landasan yang terbangun tetapi semata suatu susunan acak yang sebenarnya bisa hancur dengan begitu mudah. Bagaimana mungkin membangun dengan material-material baru dan asing yang sebenarnya tak dikenal dan dipahami dengan baik. Yang terjadi kemudian adalah kita membaca cerpen dan novel tanpa plot yang jelas, tanpa karakter dan konflik yang kuat atau kita membaca puisi tanpa narasi dan tema serta tak puitis. Kita serasa membaca puisi serupa kisah galau tanpa nada dan emosi yang menghentak. Kreatifitas atau eksperimen tentu hal yang baik sepanjang memiliki landasan yang jelas. Seberapa banyak literatur dan karya sastra yang kita baca dan pelajari secara serius akan berpengaruh pada seberapa baik karya yang kita tulis dengan kemasan yang lebih bervariatif.
Membaca karya-karya lain semisal budaya, sejarah, agama, filsafat, sosiologi, antropologi, politik dan sebagainya tentu akan lebih memperkaya sebuah karya sastra. Sesungguhnya apapun karya sastra yang ditulis dengan beragam persoalan tentu tak menjadi soal. Prosa, puisi, dan naskah teater yang mengangkat tema politik, agama, kemanusiaan, atau hal sederhana akan tetap menarik dalam perspektif apapun. Tak persoalan aliran apa yang diusung. Realisme,surealisme, idealisme, naturalisme, atau absurd sekalipun dan yang lain entah apa lagi nanti yang bakal lahir sesungguhnya memiliki landasan dan kredonya masing-masing. Semua akan menjelma “dunia” yang akan dibaca dan dilihat. Hal yang mesti diyakini dan diberi penekanan adalah kesadaran dan pengetahuan bagaimana sebuah karya tersebut ditulis karena itulah yang akan menentukan “dunia” itu menjadi hidup atau tenggelam.
Esai ini dimuat di surat kabar Lampung Pos, edisi 23 Juli 2017.
(Mahrus Prihany, bergiat di KSI)