Puisi-puisi Syafri Arifuddin Masser
Syafri Arifuddin Masser, lahir di Sirindu 13 Juli 1994 di Sulawesi Barat. Pendidikan terakhir sebagai alumnus mahasiswa jurusan Sastra Inggris di Fakultas Sastra Universitas Muslim Indonesia. Puisi-Puisinya pernah terbit di koran Radar Sulawesi Barat dan bukuindie.com. Penggagas Pustaka Jalanan Kamar Literasi Mamuju.
Elegi Seorang Pengangguran
Malam sudah menjadi sahabat karib
melebihi sahabat yang hanya datang sesekali.
Setelah kesibukan melahirkan batas. Aku
memilih untuk tinggal di rumah—sendiri.
Aku sudah lama menanggalkan gelar mahasiswa—
status yang membuatku seperti Raja. Kuasa
atas kebebasan isi kepala dan tubuhku.
Perempuan itu
memalingkan wajahnya.
Ada isyarat penolakan, padahal
aku tak pernah berniat mengajukan lamaran.
Menjadi pegawai negri sipil
adalah sebuah cita-cita yang telah turun-menurun
seperti cerita rakyat yang selalu aku percayai.
Tak ada pekerjaan yang lebih mulia
dari mengabdi kepada negara,
meski kadang kala negara hanya butuh
orang-orang yang sibuk dengan keuntungannya
sendiri.
Masa depan menatapku penuh curiga
dan aku selalu dipenuhi pertanyaan-pertanyaan
yang aku jawab dengan bahasa pengertian yang halus
untuk menenangkan hati seorang perempuan
yang kupanggil Ibu.
Senandika Lelaki Penulis Puisi
Setiap malam kusisihkan waktu untuk membuat syair
di saat cinta melangkah pergi sejengkal demi sejengkal
dari dalam isi hatiku. Kau sebuah puisi yang tak pernah
selesai aku tulis dan aku seorang kekasih yang tak pernah
ingin kau akui.
Kepalaku masih keras kepala. Ia berhasil membuatku mengerti.
Ada bagian dari diri kita yang sengaja kita kelabui. Kata-kata akhirnya
hanya sebatas coretan dalam lembar akhir buku sekolah. Tak
pernah punya arti.
Aku yakin. Tak ada orang tua yang menerima lamaran
seorang lelaki yang menawarkan puisi sebagai mahar.
Apalagi kamu yang tak pernah mengunjungi perpustakaan
dan aku yang sibuk menyusun kata-kata. Kita sebuah cinta
tanpa campur tangan tuhan.
Aku tetap akan mencintaimu sebagaimana
pena membutuhkan kertas. Sampai kau memutuskan
untuk tak mau membaca. Barulah aku akan pergi
walau tanpa kau pinta.
Mamuju, 2017
Aku Tidak Terlahir Sebagai Anak Melankolis
Aku adalah seorang anak kecil yang melihat dunia seperti kelereng.
Mencintai seorang teman seperti layang-layang yang ku genggam erat
talinya sampai tanganku merah. Menganggap
tentangga sebagai lapangan bola yang aku kunjungi
tiap sore hari tanpa perlu meminta izin.
Aku adalah seorang anak kecil yang merasakan bahagia seperti
saat menunggu bulan ramadan tiba. Menghabiskan waktu dengan
bermain petak umpet tanpa perlu takut akan diculik.
Menikmati masa kecil seperti memanggil temanku
dengan panggilan paling tidak masuk akal, bahkan
dengan panggilan nama ayahnya tanpa takut UU ITE.
Setelah tumbuh dewasa.
Aku melihat dunia dengan penuh rasa takut. Orang
gampang mengayunkan parang hanya karena persoalan lahan.
Menghapus nama belakang oleh sebab harta warisan.
Tak lagi pergi ziarah di hari lebaran karena beda pilihan.
Aku melihat kepalaku sebagai kamar ukuran empat kali empat.
Orang-orang bahagia berbagi gambar dengan sedikit kalimat keterangan.
Seperti sebuah etalase dalam situs online yang menunggu para pembeli
tanpa perlu proses tawar menawar