Kisah Kakek
Muchsin Alman, lahir di Aceh Utara, Paya Bakong 19 Oktober 1994. Pernah mengaji dan menjadi santri di dayah Babussalam dan dayah Ashabul Yamin. Menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah di daerahnya. Mengambil jurusan ilmu hukum di STAIN Malikussaleh Lhokseumawe. Penulis adalah anggota KSL (komunitas sastra Lhokseumawe), juga ketua Fokus (forum kuliah sastra) di daerahnya.
“Berjihad itu tidak salah Fahri, bahkan dalam agama kita diwajibkan, baik dengan harta maupun tenaga, tapi kamu harus ingat, perang bukan solusi yang tepat untuk menyelesaikan masalah,” kata kakek dengan nada yang begitu lembut sambil tersenyum kecil padaku.
Aku hanya terdiam mendengar nasehat kakek, di usianya yang hampir mencapai satu abad itu, mungkin kakek bisa dikatakan sumber sejarah yang langka, karena selain kakek dan Nek Ali, tidak ada lagi yang tau tentang sejarah peperangan Aceh melawan marsose-marsose Belanda dulu.
“Jika kakek dan Nek Ali yang sudah setahun lebih terbaring tak berdaya di tempat tidur itu sudah tiada, mungkin sejarah Aceh di kampung kami akan punah dan terkubur bersama dua jasad tua renta yang dulu kekar mengayunkan bambu runcing bagai cengkraman maut malaikat pencabut nyawa ketika melawan kafir-kafir penjajah itu,” pikirku.
Seakan aku bisa merasakan bagai mana kondisi anak Aceh nanti, mereka hanya bisa tertawa dengan kebebasan yang mereka rasakan sekarang, tanpa menyadari pahitnya perjuangan orang-orang zaman dulu mengusir penjajah di bumi tanah rencong ini. Mereka harus kehilangan anak dan istrinya, bahkan kubangan darah menjadi tempat peristirahatan terakhir mereka.
“Fahri, kenapa kamu melamun ?” kakek mengejutkanku dari lamunan.
“Ini minum kopi dulu, ini kopi khas Aceh buatan nenekmu, cepat diminum mumpung masih hangat,” kata kakek padaku sambil mengangkat secangkir kopi dengan tangannya yang gemetaran, mungkin karena pengaruh usianya yang sudah terlalu tua untuk usia penduduk di kampung kami atau bahkan sekecamatan.
“Apa kakek akan setuju kalau setelah tamat SMA nanti aku jadi tentara?” kataku pada kakek sambil kuletakkan cangkir kopi ke atas meja di depanku setelah beberapa kali kuteguk, hangat dan aromanya membuat malam itu seakan aku tak ingin tidur walau jam di dinding sudah menunjukkan jam dua belas malam.
“Tentu kakek akan setuju Fahri, dan almarhum ibu dan ayahmu pasti akan sangat bangga padamu, tapi kamu harus menjadi seorang pejuang seperti sahabat-sahabat Rasulullah dulu atau pejuang beberapa generasi setelah Rasul seperti Salahuddin al-Ayubi, yang semua musuhnya menangis ketika beliau wafat karena mereka telah kehilangan seorang musuh yang sangat bijaksana, punya rasa manusiawi yang begitu tinggi sehingga rela membantu pemimpin pasukan musuh yang kesakitan.”
Aku begitu terharu mendengar cerita kakek, mungkin kakekku memang seorang pecinta sejarah. Selain sejarah pahlawan-pahlawan Aceh dulu, kakek juga tau semua sejarah para sahabat Rasulullah, entah karena kakek sering membaca di buku-buku sejarah atau kitab-kitab, karena kakek dulu seorang guru ngaji di dayah yang jaraknya kurang lebih satu kilometer dari rumah sebelum kakek harus duduk di kursi roda.
Kaki kakek lumpuh karena kecelakaan, dan kecelakaan itu juga yang membuat ibu dan ayah meninggal, mungkin karena ayah terburu-buru membawa ibu ke rumah sakit saat melahirkanku, sehingga ayah menabrak sebuah truk pengangkut beras di persimpangan jalan, nyawa ayah dan ibu yang duduk di kursi depan pun tidak terselamatkan, ibu meninggal setelah melahirkanku. Kakek mengalami patah tulang paha kanannya yang membuat kakek cacat seumur hidup.
Meski aku yatim piatu, tinggal bersama nenek dan kakek selalu diliputi rasa bahagia, walau sesekali terkadang aku menangis karena merindukan dua sosok pahlawan yang tak pernah dan tak akan pernah kulihat wajahnya seumur hidupku. Sekarang kakeklah pahlawanku, juga pahlawan bangsa Aceh yang pernah menguras tenaganya dalam merebut kemerdekaan sehingga sayap burung garuda bisa terbuka lebar di bumi tanah rencong ini.
Kakek pernah bercerita tentang Teungku Banta teman seperjuangan waktu kakek berperang dulu. Aku menyebutnya perang, karena menurutku memakai senjata dan saling membunuh, walau kakek pernah marah padaku dan mengatakan itu bukan perang seperti yang aku pikirkan, itu jihad fisabilillah bukan sekedar perang. Entah apa bedanya, tapi menurutku sama saja.
Ketika itu kakek berumur delapan belas tahun, pemuda seusia kakek sudah berjihad melawan marsose-marsose Belanda itu.Apalagi katanya kakek sangat bercita-cita untuk mati syahid. Kakek menikah di usia muda, dan nenek ketika itu berumur tiga belas tahun, tidak ada bulan madu atau semacamnya, yang ada hanya kalut dalam rasa takut, yang terdengar hanya teriak tangis anak-anak yang kehilangan orang tua mereka, suara moncong senapan serigala penjajah yang haus darah dan kekuasaaan, kubangan darah dan raga tanpa nyawa para syuhada berserakan. Semua laki-laki tidak dibiarkan hidup, mereka terpaksa harus naik gunung untuk menyelamatkan nyawanya.
Malam itu, marsose-marsose itu melakukan patroli ke kampung-kampung, mereka membunuh siapa saja yang di anggap membangkang dan memberontak tanpa belas kasih. Malam itu Teungku Bantalah satu-satunya lelaki yang tidak melarikan diri, dia tidak bisa kemana-mana akibat terkena muntahan peluru senjata pasukan belanda yang masih bersarang di betis kanannya. Namun naas berpihak padanya malam itu, dalam suram buramnya malam, pasukan Belanda menyeretnya keluar dengan paksa. Teungku Banta dieksekusi mati, tiga butir timah panas menembus tubuh yang tak berdaya itu, dia jatuh terkapar dalam kubangan darah. Kakekku yang berhasil melarikan diri cuma bisa meratapi nasip sanak-saudaranya di rumah. Dari kejauhan kakek hanya bisa melihat gumpalan asap dan api yang menyelimuti seluruh kampungnya. Kakek memilih nekat untuk pulang karena mengkhawatirkan keadaan keluarganya.
Kakinya tersentak, tubuhnya bergetar kencang, butiran-butiran bening mengalir deras membasahi baju tua yang dia kenakan itu, namun tak ada sedikit pun isak tangis yang terdengar, seakan kiamat baru saja dimulai. Ibu dan ayahnya telah menjadi raga yang bersimbah darah, tidak ada tanda-tanda kehidupan dari mereka, mereka telah menjadi para syuhada. Rumahnya yang terbuat dari bambu dan pelepah rumbia telah menjadi kobaran api yang mewakili ucapan benci para penjajah terhadap bangsa kita, tidak ada yang tersisa dari hidupnya, seakan ini penderitaan yang tiada akhir dalam hidupnya, penjajah telah merampas semua dari kehidupan kakek. Kecuali nenek, nenek selamat dari dari keganasan dan kebiadaban penjajah dari negeri kincir angin itu. Mungkin mereka menganggap nenek sudah meninggal, kalau tidak nenek sudah menjadi tempat pelampiasan nafsu bejat penghuni jahannam itu.
Kulihat kakek tak sanggup menahan kesedihannya ketika menceritakan itu padaku, seakan sebuah luka yang begitu dalam kembali terbuka. Aku bisa merasakan semua itu walau aku tak pernah melihatnya, sangat menyakitkan!.
Setelah kejadian itulah kakek dan nenek pindah ke Kuta Raja tempat kami tinggal sekarang.
“Fahri, kamu harus tau, jadi tentara kita punya tanggung jawab yang besar, bukan hanya sekedar berbangga dengan seragam loreng dan senjata yang selalu kita jinjing, kita harus seperti Coet Nyak Dhien, Coet Mutia, Teuku Umar dan pahlawan lainnya, mereka tidak memperjuangkan harta, pangkat dan jabatan, dan tidak pernah mengharapkan pujian dari orang-orang. Mereka mempertaruhkan nyawa demi mempertahankan ketauhidan, dan harga diri bangsa.”
“Kita tidak butuh senjata untuk berjuang, Fahri. Yang kita butuhkan niat yang ikhlas untuk berjihad di jalan Allah, dan keberanian untuk mengambil sebuah keputusan dan berani bertanggung jawab dengan sebuah tindakan. Sejak dulu bukan senjata yang memerdekakan kita, melaikan jiwa-jiwa pejuang yang tidak pernah lelah berkata bahwa kita jiwa-jiwa merdeka yang akan membasahi setiap jengkal tanah dengan darah perjuangan,cukup doa sebagai senjata dan zikir sebagai perisai.”
“Sehingga lahirlah hikayat perang sabi, yang dilantunkan masyarakat Aceh untuk membangkitkan semangat berperang melawan penjajahan Belanda dulu. Jika nanti kamu menjadi tentara, bukan perang yang kakek harapkan darimu, Fahri. Bukan membunuh musuh dengan ganas membuat kakek bangga, tapi kamu harus mampu menghentikan perang sebelum perang menghentikan embusan nafas setiap jiwa bangsa kita.” Kata-kata kakek memang sangat menyentuh hati, sehingga tanpa sadar air mataku mengalir keluar.
“Fahri kenapa kamu menangis?”
“Aku teringat dengan kata-kata kakek, aku takut cita-cita kakek untuk mati syahid di medan perang tidak tercapai.” Kakek memelukku erat-erat.
“Bukan itu yang harus kita fikirkan, Fahri. Tidak bisa mati syahid tidak apa-apa,yang sangat kakek harapkan tidak ada lagi mayat yang terlantar di jalanan, anak- anak yang kehilangan ayahnya entah kemana, tangisan janda yang di tinggal suaminya, dan yang paling penting tidak ada lagi derai air mata bangsa kita, itu sudah cukup membuat kita hidup bahagia,” kata kakek tersenyum dan beranjak ke menuju kamarnya.
Malam itu kuhabiskan dengan cerita kakek, meski perang di setiap penjuru dunia belum pernah berakhir, dan pesan kakek yang akan selalu kuingat bahwa perang tidak akan menyelesaikan masalah.
Paya Bakong, Agustus 2017.