Seorang Kakek di Tepi Jalan
Nana Sastrawan, nama Pena dari Nana Supriyana. S,Pd. Tinggal di Tangerang, lahir 27 Juli di Kuningan, Jawa Barat. Seorang guru yang menulis, pernah menjadi peserta MASTERA CERPEN (Majelis Sastra Asia Tenggara) dari Indonesia bersama para penulis dari Malaysia, Brunei, Singapura dan meraih penghargaan Acarya Sastra bagi pendidik dari Badan Bahasa Pusat. Karya sastranya berupa buku kumpulan puisi : Tergantung Di Langit (2006), Nitisara (P2008), Kitab Hujan (2010). Beberapa karya sastranya berupa puisi dan cerpen tergabung dalam Menggenggam Cahaya (2009), G 30 S (2009), Empat Amanat Hujan (2010), Penyair Tali Pancing (2010), Hampir Sebuah Metafora (2011), Kado Sang Terdakwa (2011), Gadis Dalam Cermin (2012), Rindu Ayah (2103), Rindu Ibu (2013). Beberapa novelnya adalah Anonymous (2012), Cinta Bukan Permainan (2013), Cinta itu Kamu (2013), Love on the Sky (2013), Kerajaan Hati (2014), Kekasih Impian (2014), Cinta di Usia Muda (2014). Kumpulan Cerpen adalah ilusi-delusi (2014), Jari Manis dan Gaun Pengantin di Hari Minggu (2016), Chicken Noodle for Student (2017).
Merindu adalah batu.
Ia duduk di tepi jalan dengan rokok kretek mengepul dari mulutnya. Matanya berserpih bening menatap kendaraan yang lalu-lalang, wajah renta menggoreskan perjuangan di masa mudanya, masa di mana ia harus menyatakan dirinya seorang lelaki.
“Mereka akan datang!” teriaknya ke setiap orang yang lewat.
Gigi keroposnya terlihat seperti jurang terjal. Jurang yang menimbulkan sunyi seperti hatinya. Sesekali ia menggerakkan jari-jari ke udara seperti mengingat sebentuk garis-garis yang sama sekali tak ingin dilupakan. Jari-jari itu bermain tanpa ragu, walau memang harus hilang dihempas oleh angin yang tiba-tiba datang, seakan tak rela jika ingatan itu kembali menghuni dalam kepala. Akan tetapi ia tak perduli, nyata atau maya baginya menggerakan jari adalah menumbuhkan harapan, yang mungkin diinginkan oleh setiap orang.
Berhari-hari ia membayangkan ada sebuah mobil berhenti di depannya dan membawa setiap impian yang selalu mengganggu tidur di saat malam mulai tiba. Impian untuk kembali menjadi seorang lelaki seperti ketika masa mudanya di tanah rantau. Baginya membayangkan adalah doa yang terkabulkan dan sedikit demi sedikit menghilangkan kegelisahan yang merimbun seiring tubuh bungkuknya.
Rokok kretek terus dihisap, dada kurus menunjukan tulang-tulang yang kokoh. Sebenarnya ia sudah dilarang merokok oleh para tetangga, sahabat dan kerabat. Usia yang sudah renta tidak baik untuk asap rokok, tetapi ia tak pernah menggubris, rokok baginya adalah keluarga yang tak pernah bisa dilupakan dan memang itu satu-satunya yang dimiliki. Matanya menatap langit yang tak pernah berubah seolah memang tak ada peradaban di atas langit, biru dan tenang. Ia ingin seperti langit, akan tetapi ia hanya sebuah batu yang terdiam.
“Mereka akan menjemputku!” bentaknya ketika orang-orang mulai mengusir dari tepi jalan.
Mencintai adalah air.
Ingatan itu mengalir seperti arus sungai yang menghayutkan batu-batu. Sebuah kenyataan yang tak bisa dilupakan dari nama-nama yang telah dihidupi dan dibesarkan olehnya walau memang terkadang membuatnya menangis. Menangis seperti hujan, yang melunturkan debu-debu di wajah.
“Aku memiliki lima gadis dan dua perjaka, apakah kalian tahu mereka di mana? Anak gadisku yang pertama sudah tiga puluh tahun tak pulang. Ia telah pergi ke suatu tempat yang mungkin aku sendiri tak akan pernah mengunjunginya. Tempat yang menumbuhkan tunas-tunas mimpi.” Rokok kretek dihisap dalam-dalam membuat tulang dadanya semakin terlihat.
“Anakku itu telah dipinang oleh orang seberang dan aku memiliki tiga cucu dari mereka. Dulu mereka tinggal denganku, bermain, sekolah dan juga menanam rumput di halaman, namun itu tak lama. Beberapa tahun kemudian mereka turut ke kota.”
Asap rokok masih saja mengepul dari mulutnya.
Ia masih saja menatap beberapa orang yang turun dari angkutan umum, wajahnya berseri-seri seakan baru saja mendapatkan sesuatu yang ia senangi.
“Lihatlah! Anak perempuanku pulang membawa beraneka macam kue dari kota. Iya, anak perempuanku yang kedua, ia selalu pulang dengan suaminya yang bekerja sebagai pedagang kaki lima. Mereka pun memberiku tiga cucu yang lucu-lucu, walau jarang sekali mereka bawa ketika pulang namun hatiku selalu menyayangi mereka. Ia senang sekali membuat beraneka macam kue, memasang perhiasan di tubuhnya serta selalu mengikuti arisan dengan jumlah besar.” Wajahnya semakin berseri-seri dan tangannya melambai memanggil orang-orang yang turun dari angkutan umum.
Mereka hanya tersenyum lalu pergi tanpa menghampirinya, ia kembali duduk, membuang rokok kreteknya.
“Akan tetapi mereka telah hilang sejak hutang menghancurkan keharmonisan keluarganya dan tak kudengar kabar berita,” wajahnya berubah muram.
Kemudian ia merebahkan tubuhnya di sebuah bangku bambu, matanya menatap langit biru. Perlahan air mata menetes membasahi kedua pipi yang keriput, diacungkan telunjuknya lurus dengan matahari lalu mulai mengingat sebuah garis.
“Aku hanya ingin memberikan tanda tangan ini di surat wasiat untuk anak perempuanku, dia memang bukan yang pertama atau kedua, tidak juga aku memanjakannya. Dia telah menikah dengan seorang lelaki bajingan, mungkin itu yang pantas ku ucapkan, sejak melahirkan anak tunggalnya lelaki itu pergi tanpa kabar. Kecewa dan patah hati telah menjadikannya perempuan yang tegar, namun entah kenapa dia tak kunjung pulang sejak anak tunggalnya merantau ke kota. Pernah aku dengar kabar bahwa dia tak kerasan di rumah sebab tak ada teman untuk bertukar pikiran, mungkin dia kesepian semenjak adik laki-lakinya meninggal. Mereka semua anak-anakku!” Ia bangkit dan menangis.
Beberapa orang melihat dengan iba, sesekali mereka menghampiri untuk membujuknya pulang ke rumah. Namun ia tak pernah menghiraukan, rindu akan anak-anaknya telah membuat luka yang dalam hingga tak pernah bisa terlihat dan tersentuh.
“Anak perempuanku yang kelima sudah menjadi pengusaha di kota,” ucapnya ketika salah satu dari pembujuk duduk di sampingnya.
“Dia melahirkan tiga cucu untukku tapi aku lupa wajahnya karena yang selalu datang hanya foto-foto mereka saja, aku pun tak tahu tinggi badannya serta kesukaannya. Berbeda dengan si bungsu, anak perempuanku yang terakhir. Dia baru saja menikah dengan pegawai pabrik milik perusahaan asing, walau hidup pas-pasan mereka sayang kepadaku hanya karena keadaannya itu mereka jarang pulang.”
Wajahnya tampak bersemangat dan rokok kretek dibakarnya dengan hisapan yang dalam sementara pembujuk itu hanya manggut-manggut.
“Aku masih anakmu Bah,” ucap si pembujuk dengan nada datar.
“Iya, kau anak laki-lakiku. Namun kau sudah banyak berubah semenjak istrimu menyukai perhiasan!”
Setelah bersusah payah membujuk, si pembujuk tak berhasil membawanya pulang dari keramaian jalan raya. Dengan gontai ia melangkahkan kaki meninggalkan lelaki renta yang menetesakan air mata seperti rintik hujan yang perlahan turun, bola matanya menatap air hujan yang jatuh ke tanah dan mengalir ke selokan entah kemana.
Kenangan adalah hujan.
Begitulah keadaanya setelah berhari-hari di tepi jalan, bisu dan menangis. Mungkin ia tengah menyesali mengapa harus memiliki anak-anak yang durhaka, atau kesal kepada dirinya sendiri yang renta tak bisa berbuat apa-apa atau marah kepada sang peramal? Dulu ketika masih di tanah rantau ia sempat iseng bermain kartu ramalan di pasar bersama kekasihnya yang kini menjadi istrinya. Sang peramal mengatakan bahwa ia berjodoh dan usia pernikahan mereka akan kekal sampai anak cucu, akan tetapi dalam rumahnya akan dihuni oleh lima kupu-kupu dan dua srigala. Awalnya ia mengabaikan segala ucapan peramal itu, baginya masa depan adalah hal yang tak pernah bisa dilihat.
Segalanya begitu sulit dipahami. Sejak anak-anaknya dewasa dan berkeluarga, ia terlupakan. Sebenarnya ia tak ingin menduga-duga meskipun pikirannya mengatakan bahwa peramal itu benar. Kupu-kupu terbang dan hinggap lalu kembali terbang mencari tempat yang nyaman untuk mengakhiri hidupnya sendiri, melupakan masa-masa metamorphosis. Sedangkan srigala adalah binatang buas yang bisa menjadi teman atau lawan, namun cinta bukanlah sebuah dendam, bukan pula sebuah penyesalan. Lima kupu-kupu itu kini pergi dan belum kembali, sementara dua srigala telah mati. Yang satu mati karena Tuhan menyayanginya dan yang satu mati akibat terlalu menyayangi.
Kini, rasa cintanya tengah dipermainkan oleh waktu, membuat hatinya rapuh. Masa mudanya telah berakhir, membawa kenangan seperti hujan membasahi tubuh di tengah kesendirian. Wajahnya menatap langit cerah perlahan tertutup awan hitam, angin mulai terasa dingin sementara jalan masih saja ramai oleh kendaraan.
Lama ia duduk termangu menghadap aspal jalan. Matanya kuyup berlinang, hatinya sepi. Sesekali menelan ludah untuk membasahi tenggorokan yang kering oleh rokok kretek. Ia kian gelisah di tengah gerimis yang perlahan turun dari langit, membasahi hati dan musim kemarau. Ia masih bercakap dengan diri sendiri.
“Kupu-kupuku, pulanglah!”
Kematian adalah malam.
Jam dua pagi, aku terperanjat dari tempat tidur ketika mendengar dering handphone. Suara isak tangis teriring kabar kematian menambah rasa dingin dalam tubuh hingga benar-benar diam. Aku masih tak percaya tentang kematian itu. Bukankah selama ini keadaannya baik-baik saja? Kakekku tak pernah mengeluh sakit. Lalu apa yang terjadi padanya?
Pikiranku melayang tak bisa dihentikan, ada di sebuah persimpangan. Besok, aku harus berhadapan dengan dosen-dosen penguji tugas akhir, sementara kakekku yang sudah seperti ayahku sendiri tengah dibungkus kain kafan di kampung halaman. Mana yang lebih penting kenangan atau harapan? Di saat seperti ini mungkin keduanya sangatlah penting karena ini bukan khayalan tapi sebuah kenyataan yang melibatkan orang lain bukan hanya aku.
Jam delapan pagi. Kedua mata dari tiga dosen penguji itu seperti mata Elang yang siap menerkam mangsa. Aku mencoba tidak memerhatikan mereka, hati kujaga untuk tetap tegar dalam mengurai hasil penelitian di tugas akhir. Walau tetap saja pikiranku belum kembali dari kampung halaman sejak semalam. Setiap pertanyaan dari dosen-dosen bermata Elang ini membuatku geram. Ingin rasanya kumuntahkan segala kegelisahanku agar mereka diam dan mengulurkan tangan untuk membuat kesepakatan dengan penuh tanggung jawab, mengijinkan aku keluar ruangan. Akan tetapi bertubi-tubi ia memberi beberapa pertanyaan yang sebenarnya mereka sendiri sudah mengerti tentang tugas akhir ini.
“Aku harus pulang kampung hari ini juga!” ucapku tegas terhadap mereka.
Delapan jam kemudian, aku sudah berada di halaman rumah. Bau kemboja dan kain kafan masih tersisa. Nenek menatapku dengan mata sembab. Hatinya kosong, kehilangan yang tak pernah bisa didefinisikan oleh kata, hanya rasa. Ibu memelukku, tentunya dengan sebuah tangisan dan air mata kami berjatuhan ke atas tanah. Tanah kelahiran. Mataku menatap ke sekeliling rumah, tak ada yang lain, hanya kami bertiga. Di manakah kupu-kupu dan srigala yang lain?
“Apakah mereka masih sibuk bekerja?” tanyaku.
Nenek mengangguk, kemudian membawaku ke sebuah foto yang menempel di dinding. Gambar lelaki tangguh tengah tersenyum memandang kami, seakan mengabarkan sebuah berita, bahwa kerinduannya tak pernah hilang dan kebahagian yang sesungguhnya adalah cinta dan kasih.