puisi 

Puisi-puisi Willy Ana

Willy Ana, lahir di Bengkulu, 29 September 1981. Buku kumpulan puisinya yang telah terbit adalah  Aku Berhak Bahagia (2016), Tabot Aku Bengkulu (2016) dan Petuah Kampung (2017). Puisi Willy dimuat di sejumlah media, antara lain Amanah, Riau PosKoran Tempo dan Indopos. Salah satu puisinyamasuk menjadi nomine Litera Award 2017. Sebagian puisi lainnya terhimpun di beberapa antologi puisi bersama seperti Antologi Puisi Kopi 1.550 Mdpl (2016), 6,5 SR Luka Pidie Jaya (2017),  Nyanyian Puisi untuk Ane Matahari (2017) dan Ziarah Sunyi (2017). 

 

Jejak Bocah Rakhine

 

Bocah-bocah itu memandang surga dalam tidurnya

Matahari membiru seakan berduka pada bumi yang memerah

 

Tanah itu bungkam, daun-daun berguguran menjadi gundukan makam,

awan hitam pun terus menyelimuti hingga semakin kelam

 

Perempuan-perempuan itu tak lagi bisa bersendawa,

ketika perut mereka kenyang terisi gelak tawa

tatkala jari-jari mungil itu menyusup di puting payudara

 

Rakhine, nasib apa yang membawa raut wajah nisan pada bumi ini

hingga moncong senampan, bedil, menjadi  pengkerat nyali

 

Wajah-wajah lusuh itu menyisir malam  yang beku,

memeluk batu dan memikul gunung  dengan gagu

 

Lembah terjal, sungai, dan tebing mengurai jejak

bersama kaki-kaki telanjang tanpa arah

Mengadu pada takdir yang terselip di jagad entah

 

Depok, 14 September 2017

 

 

Kepada Wiji Thukul

 

Kau mungkin meraung pada cerita senyap yang gelap

 

Mungkin juga merintih pada bulir-bulir embun

yang tak sempat kau sesap

 

Pada malam yang menghimpit dan pagi yang terjepit

 

Angin pun tak menyibak rambut keriwilmu

Hingga aku tak mengendus wangi nafasku

 

Jumat,27 Januari 2017

 

 

Marlborough

 

Pada laut yang membentang

pada pelabuhan abad yang panjang

 

Pedagang rempah

Pesta perkawinan

Dan peperangan berdarah

 

Josep Colin tetap kokoh

Dengan tembok-tembok yang dingin

 

Seperti kura-kura

Yang terus melangkah

Bersama lumut usia

 

Depok, 4 Desember 2016

 

 

Petuah Kampung

 

Pulanglah nak, kepada tanah, rimbun hutan,

dan kicau burung yang memberi melodi di kabut pagi

 

Meski detak arloji menghapus bayang

pada cerita yang kau gerus di ladang itu

 

Tapi napasmu masih melekat di kerumunan ikan mungkus

pada sungai yang tandus

 

Tak kan tanak periuk menggantung pada lipatan hari

tanpa kau siram dengan peluh yang mengupas waktumu

 

Pulanglah nak, pada rejung yang mengurai bait-bait

pada lembar hari

 

hingga sungai di sudut matamu seperti rawang di lubuk betung

 

Mungkin bola salju itu telah menjadi bara,

membakar sketsa pada diary tahun yang kau cipta

 

Pulanglah nak, menarilah bersama meriam bambu di gubuk itu,

pipit-pipit menanti tembangmu

 

Depok, 8 Juni 2017

 

Mungkus: ikan khas sumatera selatan yang tidak di temukan di daerah lain

Priuk: panci tempat menanak nasi

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Related posts

Leave a Comment

10 − six =