Puisi-puisi Deni Puja Pranata
Deni Puja Pranata, kelahiran Sumenep, Madura. Menyelesaikan Studinya di jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Budaya, Universitas Trunojoyo Madura. Karyanya tergabung dalam antologi bersama Memo untuk Presiden (2014). Antologi Jalan Bersama (Yayasan Panggung Melayu 2014). Antologi Wakil Rakyat (2013). Antologi puisi bahasa Madura JHIMAT (Disparbud Sumenep 2014). Antologi Nyanyian Para Pecinta (Ganding Pustaka 2015). Antologi Memo Anti Terorisme (Forum Sastra Surakarta 2016). Antologi Laut Kenangan (UKM Nanggala Universitas Trunojoyo Madura, TANKALI 2017), dan Antologi Indonesia 2030 (Jejak Publihser 2017).
Aksara Yang Memanjat Ayat
/a/
Berbaringlah di suatu batu selebar bukit
di sudut gua, sebelah pohon tak bernama
tanahnya gandum, mataharinya dingin
lalu gantung bau sepatumu di sungai, dan
kau boleh membuka mata setelah lebam
Berangkatlah Rabu legi, di arah angin ke tujuh
Di telapak jari Ibumu, ikatkan benang hitam
Sebelum kau cuci dengan kembang mayat.
Pelan-pelan, ciumlah ujung kakinya, pipinya,
Juga tangan kanannya. Tenggaklah air suci
dari rapal mantra kaki Ibumu, jika tersisa
tuangkanlah ke dalam botol, sebagai bekal
/na/
Petunjuk selanjutnya:
Dalam perjalanan, kau tak boleh menatap ke depan
Miringkanlah lehermu 23 cm ke kanan atau 14 cm ke kiri
daun-daun akan merayumu untuk berhenti, setiap derap langkah
kakimu di bebani pecahan piring dapur dari langit. Kuatkan hatimu
/ca/
Setelah kakimu tuntas menjadi duri beling
Bersiap-siaplah menuju alamat pembawa pesan
Tubuhmu menjadi ringan seperti abu untuk terbang
Suarumu seruling merdu melebihi album Bob Dylan
Dan tepat seperempat perjalanan, kau akan menemui
sapi. Sapi coklat yang akan menunjukkan tempat yang
kau tuju, untuk mengurangi beban kakimu, Tunggangilah
/ra/
Sapi penunjuk jalan di mana kau akan menemukan aksara
Ingat! Dalam perjalanan hanya air basuh ibumu sebagai bekal
Lebih baik kau mati dari pada meminta-minta makan pada orang,
makanlah seadanya, Tai sapi atau buah rambutan di pinggir hutan
/ka/
Kau akan menghadapi tujuh musim di arah mata angin
Mendung merah, hujan kelapa, kabut hitam,
dan pelangi tanpa warna
tabahlah!
/de/
Ada sisa musim yang aku dan kau, tak tau
Di musim itu, kau akan menemui tulang-belulang
Dan binatang yang menakutkan, ular bertubuh gepal
Berkaki lima, ekor dan kepalanya berjumlah seribu
2017-2018
Bukit Kapur
/a/
Batu-batu putih serupa selimut doa
Bukit yang memanggul rindu dari
setiap peziarah yang menapakinya
di puncak paling tingggi, menunduklah
ke pucuk paling bawah, angin yang setia
Hamparan tanah menjelma malaikat putih
Dendangkanlah ul daul dari ponselmu
burung-burung riuh bernyanyi salsa
hati yang hitam akan lekas memutih
ayo, berjingkrak, begulung-gulung kita
di tanah yang putih, sebab, esok hanya
ada tanah yang sudah bosan kita pandang
/na/
Laut Kamal, lorong panjang Suramadu
Dan tidak ada yang boleh bersedih hari ini
Sebab, bukit kapur adalah obat paling sedih
Nyanyikan Tuhan dengan doa-doamu
Usapkan air mata kita dengan berguling-guling
di tanah. Kesedihan akan menjadi putih
Di Bukit kapur kita akan tau, bagaimana salju
menjadi batu dan di tanah putih, warna menjadi
bendera
/ca/
Jangan cemas, di Bukit kapur tak ada hantu
Atau Nyi Roro penguasa laut Kidul, dan di sana
kau boleh bertelanjang sesukamu. Segeralah mangkat.
Bangkalan 2018
Reklame Bisu
Dendamnya ia pajang di himpitan kota
di tumpahkanlah segelas amarah
dari susu kedelai yang ia minum
sehabis mengerjakan tugas fisika
dering hanpfon di telinganya meledak
saat di bacanya daun saledri dari sawah
Kami tak ingin mengatakan, jika ini Durjana
walau badai api di jantung sudah menyala
Petani-petani masih memendam amarah
Telenovela nyanyian pecundang
ia tembus matahari dan merobeknya di
langit ke tujuh. Malaikat-Malaikat diam
tertunduk!
2017-2018