Puisi-puisi Rifky Raya
Rifky Raya, lahir di Sumenep, Pulau Madura, Jatim, 15 April 1993. Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam, Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Aqidah Usymuni (STITA), Tarate Pandian Sumenep. Alumnus Pondok Pesantren Annuqayah Daerah Lubangsa. Tulisan-tulisannya dimuat beberapa media lokal dan nasional. Juga dalam antologi bersama, Ketam Ladam Rumah Ingatan (LSS Reboeng, Jakarta, 2016), Lubang Kata (2017), The First Drop Of Rain (2017), dll. Selama di pesantren, aktif di Sanggar Pangeran (2007-2011), Sanggar Andalas (2010-2011), Teater Kotemang (2008-2011). Saat ini aktif menulis dan berkesenian di Komunitas Pelar sekaligus aktivis di Padepokan Bintang Sembilan.
Malam Tanpa Puisi
Malam turun dengan cemas
Melukis wajah malas di sudut perkotaan
Tak ada kata-kata untuk ditulis
Hanya saja hujan menggenangi mata yang liris
Mengguyur lamunan-lamunan gelap
Bergemuruh di atas genteng yang bocor
Wajah malas di balik payung yang berkibar
Terpekur di atas jalan kota yang kejam
Malam melelapkannya di dalam kamar yang pengap
Jauh dari ibu seperti jauh dari doa dan harapan
Malam turun dengan cemas
Menyembunyikan bulan di dalam buku-buku
Ia berbicara kepada malam, sebuah malam tanpa puisi
Sumenep, 31 Januari 2017
Kalimat Hujan
Di luar, suara hujan begitu runcing
Menusuk jantung dan melemahkan puisi-puisi
Menghunjam gedung-gedung kota
Menyekap bibir dan matamu semakin rahasia
Ia menderas membuat samar kata cinta
Berbaur melebur menjadi angin, menjadi bayangan semata
Kau tahu, tak ada dusta di balik hujan
Seperti hatiku menerangkan hakikat kesetiaan
Maka kemarilah, untuk memaknai satu-satu garis tangan kita
Sambil terpejam kemudian bertanyalah pada diri sendiri:
“Hujan, kemanakah kau akan bermuara?”
Sumenep, 31 Januari 2017
Pintu Taman
Karena taman adalah panggung bagi puisi
Maka kami tiba membentuk sebuah janji
Mengikat kesunyian di dada malam
Sejumlah salam menggugurkan daun-daun hitam
Di dalam pikiran, kami membentuk sebuah lingkaran
Saling bersulang menyilangkan percakapan-percakapan
Sedangkan gelap yang sembunyi di balik gedung bertingkat
Larut ke dalam segelas kopi, tenggelam ke dasar ampas yang pekat
Kami bernyanyi di antara sorot lampu dan pendar cahaya
Yang menyilaukan wajah kota, menerabas batas tanah dan udara;
Membikin mata kami begitu suntuk oleh kantuk berkepanjangan
Membikin kami tersesat di sepanjang jalan
Tetapi, di sini kami telah menemukan jalan keluar
Malam begitu akrab menghaturkan pertemuan
Mencumbui nasib juga seikat puisi di kedua tangan
Senantiasa melingkar dalam ingatan dan kenangan
Karangduwa’, 18 Mei 2017