Dari Ceruk Cangkir ke Lekuk Bibir
Iman Sembada, lahir di Purwodadi, Kabupaten Grobogan, 4 Mei 1976. Cerpen dan puisinya dimuat di beberapa media massa pusat dan daerah. Puisinya tergabung di sejumlah antologi bersama, seperti Resonansi Indonesia (2000), Kado Sang Terdakwa (2011), Jejak Tak Berpasar (2015), Matahari Cinta Samudera Kata (2016), Buitenzorg (2017), Jejak Kata (2017). Buku antologi puisi tunggalnya Airmata Suku Bangsa (2004) dan Perempuan Bulan Ranjang (2016). Aktif di KSI (Komunitas Sastra Indonesia). Kini ia bermukim di Depok.
Kota ini seperti kota mati, tapi kota ini tidak benar-benar mati. Masih ada denyut kehidupan sampai menjelang dini hari. Di kota ini, orang-orang menjalani kehidupannya tidak tergesa-gesa. Orang-orang di kota ini seperti tidak ingin cepat tua. Kafe-kafe masih buka hingga tengah malam, bahkan ada yang buka 24 jam, tapi tak ada seorang pun yang memukul-mukul tiang listrik atau tiang telepon sebagai tanda waktu.
Orang-orang berjalan di trotoar dengan langkah yang teratur. Lampu jalan yang temaram membuat bayang-bayang samar. Niara baru saja masuk ke kafe. Kafe yang lampu-lampunya tidak terlalu benderang, mengalun lamat-lamat musik instrumentalia. Niara selalu memilih duduk di kursi yang ada di sudut kafe. Meja dan kursi tertata rapi. Sembari menunggu apa yang telah ia pesan, sesekali Niara membaca pesan yang masuk melalui jaringan WhatsApp dan membalasnya.
Malam yang dingin di bulan November dan gerimis rintik-rintik, seorang lelaki mengenakan jaket dan topi berjalan di trotoar, di luar kafe. Lelaki itu berjalan tidak tergesa-gesa, langkah kakinya teratur. Lelaki itu terus berjalan ke selatan. Apakah ia akan menemui kekasihnya? Apakah ia akan ke rumah kekasihnya? Atau barangkali ia pulang ke rumahnya?
Seorang pelayan kafe menghidangkan secangkir kopi robusta dan dua donat di hadapan Niara. Meja di depannya kini tak lagi kosong. Pelayan kafe mengenakan baju hitam dengan garis-garis vertikal kecil warna merah pada bagian dada. “Silakan. Selamat menikmati,” ucapnya.
Niara tersenyum dengan sedikit anggukan. “Terima kasih.”
Waktu seakan berjalan lambat. Niara menghirup aroma kopi robusta di hadapannya. Uap tipis melayang, berkelindan di atas cangkir. Niara benar-benar merasakan rileksasi. Niara menyeruput kopi robusta perlahan seusai beberapa kali menghirupnya. Niara tampak sangat menikmatinya, ia penikmat kopi sejak remaja. Kini usianya 40 tahun. Kegemarannya menikmati kopi tidak luntur.
Kota ini tidak kecil, tapi juga tidak besar. Kota ini menjadi destinasi wisata para turis. Gedung-gedung kuno bergaya Eropa yang dilestarikan menjadi daya tarik turis-turis yang ingin mengetahui sejarah kota yang dihuni sekitar 24.000 atau 25.000 ribu jiwa. Kota ini tampak luas karena penghuninya tidak banyak. Tapi turis-turis yang mengunjungi kota ini, menurut data resmi dari pemerintah, lebih dari satu juta turis setiap tahunnya. Selain memiliki gedung-gedung kuno bergaya Eropa, kota ini juga memiliki pantai dan hutan kota untuk menarik wisatawan. Pantai yang indah dengan pasir putih. Jika siang, banyak turis yang berjemur di pantai. Kota ini hampir seluas kota Jakarta.
Jam 8 malam. Gerimis masih turun rintik-rintik. Niara masih bertahan di kafe. Menikmati secangkir kopi robusta dan donat. Ia kembali menyeruput kopi robusta. Kali ini ia merasakan getar getir di bibirnya yang tebal. Ya, ia pun merasakan ada derit pahit di lidahnya. Pikirannya mulai kacau lagi, tapi ia berusaha untuk bisa tenang. Ia harus bisa menguasai keadaan. Rasa getir dan pahit yang pernah ia rasakan 20 tahun lalu.
Kopi robusta tidak terlalu getir dan pahit sebenarnya, tapi peristiwa 20 tahun lalu itulah yang sebenarnya bikin getir dan pahit. Peristiwa yang masih tersimpan dalam ingatannya. Naira sebenarnya ingin membuang jauh-jauh dan melupakan peristiwa itu, tapi ia masih gagal dan gagal lagi. Wulung, lelaki yang dicintainya, pergi tanpa kabar setelah menemui dan menemaninya menikmati kopi. Tak ada pertengkaran atau perselisihan. Wulung pergi seperti ditelan bumi. Tak ada jejak. Nomor kontaknya tak bisa dihubungi. Tidak aktif lagi.
Gerimis masih turun di luar kafe. Orang-orang berjalan di trotoar yang basah. Sesekali ada beberapa kelelawar yang bersliweran di antara pohon-pohon di pinggir jalan raya.
***
“Aku merasa ada orang yang mengikutiku. Entah apa maunya….,” kata Wulung saat menemani Niara menikmati kopi. Jari tangannya menggamit jemari tangan Niara. Niara tak menganggap serius kata-kata kekasihnya itu. “Aku serius. Aku tidak main-main,” ucapnya meyakinkan Niara.
“Mereka mau apa? Apa yang mereka inginkan dari kamu?” tanya Niara.
“Entahlah, aku tak tahu.”
“Bagaimana dengan pekerjaanmu? Bagaimana dengan teman-teman kerjamu di kantor? Baik-baik sajakah?
Wulung hanya mengangguk-anggukan kepalanya. Ekspresi wajahnya tampak bingung.
Niara mendengar rintihan yang mengendap di ceruk cangkir. Ia terpaksa mencecap berkali-kali penderitaan yang menggenang sejenak di rongga mulutnya. Getar getir dan derit pahit pun berulang kali ia rasakan seperti seribu jarum mencucuki bibir dan lidahnya. Udara dingin mengembara di luar kafe. Ia menatap wajah kekasihnya. Kekasihnya masih tampak kebingungan.
Wulung pelan-pelan menyeruput kopi arabika kesukaannya.
Kafe ini menyediakan banyak menu kopi. Kafe ini benar-benar menjadi tempat yang memanjakan bagi para penikmat kopi. Para penikmat kopi betah berlama-lama berada di sini. Kafe ini pun merupakan bangunan kuno bergaya Eropa, pemiliknya sengaja mempertahankan bentuk asli bangunan ini. Musik instrumentalia masih mengalun. Di dalam kafe, orang-orang duduk di kursi-kursi yang terbuat dari kayu jati, di hadapannya terhidang cangkir-cangkir kopi yang diletakkan di atas meja kayu jati. Beberapa orang berbincang ringan, sesekali saling melepas tawa, sambil menunggu minuman dan kudapan yang telah dipesannya.
“Apa selanjutnya yang akan kamu lakukan?”tiba-tiba suara Niara membuyarkan lamunan kekasihnya. “Kamu harus berbuat sesuatu,” ujarnya lagi.
“Ya, aku sudah punya rencana. Aku sedang menyusun strategi. Aku ingin tahu siapa mereka dan apa yang diinginkan dariku,” kata Wulung.
“Lebih cepat, lebih bagus,” tukas Niara cepat.
“Ya.”
Jalanan basah tampak berkilauan dalam sorotan lampu-lampu mobil. Angin berhembus pelan. Mobil-mobil melaju pelan dengan kecepatan 30-40 kilometer/jam. Niara dan Wulung masih bertahan di dalam kafe. Di kota ini ada kanal-kanal yang masih dilintasi perahu-perahu yang ditumpangi turis-turis. Turis-turis banyak yang kagum melihat kondisi kanal yang bersih, dengan pemandangan bangunan-bangunan kuno bergaya Eropa abad 18.
Di dalam kafe, orang-orang duduk berbincang ringan, tidak mau berbicara yang berat-berat. Orang-orang berbicara tanpa beban tentang kisah kehidupan mereka. Orang-orang, saat ini, hanya ingin bersantai di kafe bersama teman, kekasih dan kerabat. Sepertinya mereka hanya ingin menghabiskan waktu untuk bersenda-gurau, tertawa lepas tanpa dibebani teori-teori filsafat.
Kota ini tampak serba minimalis. Tapi tidak serba seragam. Kota ini memang memiliki banyak bangunan kuno bergaya Eropa dengan beragam fungsinya: ada yang dijadikan hotel, restoran, kafe, museum, galeri lukisan, kantor-kantor pemerintah dan lain sebagainya. Tapi kota ini juga memiliki bangunan-bangunan masa kini yang berfungsi sebagai rumah sakit, sekolah, perumahan-perumahan modern, taman-taman kota dan lainnya.
Di luar kafe, langit hitam tanpa bayangan. Jam 10 malam akan tiba 5 menit lagi. Bau parfum berhamburan di jalan raya yang basah dan di sepanjang trotoar masih ada orang yang berlalu-lalang. Masih ada juga beberapa kelelawar yang berkeliaran.
Wulung telah lebih dulu keluar kafe. Berjalan menembus gerimis. Niara masih duduk di kursi, di dalam kafe. Niara memandangi punggung kekasihnya hingga lenyap di keramaian. Kehidupan dunia malam di kota ini mulai berdenyut dan menggeliat. Kehidupan malam bermula dari kafe-kafe, diskotik-diskotik dan ruang-ruang karaoke.
Orang-orang menyeberang jalan raya di tempat yang sudah ditentukan. Orang-orang di kota ini patuh pada aturan-aturan. Hal ini yang bikin kehidupan teratur. Kehidupan yang ritmis dan dinamis. Meski gemar bercanda dan bersenda-gurau, orang-orang di kota ini sangat menghargai waktu. Waktu adalah sesuatu yang terus bergerak ke depan. Melaju ke masa depan.
Niara menyeruput kopi robusta yang sudah dingin. Kopi di cangkirnya tinggal setengah. Dua donat sudah habis dikudapnya. Ia khawatir. Sangat cemas. Ia mulai membayangkan hal-hal buruk yang akan menimpa kekasihnya. Meski ia sangat tidak ingin hal itu terjadi menimpa kekasihnya. Ia memandangi lampu-lampu yang menggantung di langit-langit kafe. Orang-orang di dalam kafe pun tak luput dari pandangannya. Tiba-tiba matanya liar, menatap benda-benda di sekitarnya.
***
Suara klakson telah membuyarkan pikiran Niara, membuyarkan kenangan-kenangan kesedihannya. Ia mengusap wajahnya dengan tisu. Ia mengatur napasnya. Ia ingin segera bisa melupakan kesedihannya, melupakan kenangan buruk yang kadang tiba-tiba muncul dalam pikirannya. Kesedihan dan kenangan buruk yang membuatnya menangis. Ia berharap masih ada kabar baik tentang kekasihnya.
Niara berharap kekasihnya tiba-tiba datang, berdiri tepat di depannya, dan memeluknya erat-erat.
Seperti yang tersusun pada sebaris kalimat yang klise, yang sudah terjadi ya terjadilah. Tak mungkin bisa diulang kembali. Niara mulai menikmati getar getir dan derit pahit dari ceruk cangkir ke bibirnya. Ia mengarahkan pandangan matanya ke luar kafe. Gerimis sudah reda.
Jalan raya masih basah. Trotoar seperti berkabut. Seorang lelaki mengenakan jaket dan bertopi berjalan di depan kafe. Lelaki yang berbadan tinggi, usianya sekitar 41 tahun. Lelaki itu sudah sangat mengenal kehidupan malam di kota ini. Lelaki itu sering mondar-mandir di depan kafe, sesekali matanya melirik ke arah Niara. Ya, sepasang mata lelaki itu mencuri-curi pandang, tapi ketika Niara memandangnya, lelaki itu segera memalingkan wajahnya. Lelaki itu tak ingin Niara mengenali wajahnya.
Lelaki itu berdiri di depan kafe, seperti ingin memunguti kenangannya yang tercecer, sepasang matanya masih mencuri-curi pandang. Ia ingin masuk ke dalam kafe, menemui Niara, perempuan yang sedang menikmati secangkir kopi robusta dan dua donat, yang selalu memilih duduk di sudut kafe. Tapi ia selalu mengurungkan langkahnya. Setiap kali memandang wajah Niara, degup jantungnya semakin kencang, seperti menahan rindu yang menggebu-gebu. Rindu yang terus bertalu-talu. ***
Depok, November 2017