ARTIKEL 

[Puisi] Bukan Bacaan Iseng-iseng

Oleh: Iman Sembada, penyair dan aktif di Komunitas Sastra Indonesia (KSI).

Akhir pekan menjadi moment yang paling ditunggu-tunggu oleh banyak penulis fiksi, salah satunya adalah penyair. Apa sebab? Hanya pada akhir pekan sejumlah media massa cetak atau online menerbitkan karya sastra, seperti puisi dan cerita pendek. Para penulis puisi (penyair) tak ingin melewatkan untuk membeli atau sekadar melihat media massa-media massa tersebut. Hal ini sebuah upaya untuk mengecek dan mastikan apakah puisinya yang dikirim ke media massa dimuat atau tidak. Sebab banyak media massa yang tidak memberi tahu penulis yang karyanya dimuat. Sangat sedikit media massa yang memberi tahu, via telepon atau e-mail, penulis yang karyanya akan dimuat.

Mengapa media massa cetak atau online biasanya menerbitkan puisi hanya pada akhir pekan (Sabtu dan Minggu)? Apa alasannya? Entahlah. Apakah puisi termasuk bacaan santai, bacaan ringan dikala senggang atau puisi hanyalah sekadar bacaan iseng-iseng.

Puisi, sebagaimana karya sastra lainnya (cerpen dan novel), merupakan karya yang harus ditempat dan didudukkan secara layak dan bermartabat. Jika ada anggapan bahwa puisi adalah sesuatu yang sepele dan remeh temeh, tentu hal ini sebuah anggapan keliru dan tidak benar.

Memang puisi tidak bisa menurunkan harga-harga sembako yang melambung tinggi secara sewenang-wenang. Puisi juga tidak bisa mengubah perut yang lapar tiba-tiba menjadi kenyang, meski itu perut penyairnya sendiri.

Hal ini karena puisi masih dianggap sesuatu yang sepele dan remeh temeh, sehingga masih minim apresiasi dan penghargaan. Tetapi para penyair itu tetap terus berkarya, menjelajahi rimba bahasa, merenangi samudera kata-kata hingga “berdarah-darah”. Para penyair terus saja mencari idiom-idiom baru, metafora-metafora yang lebih segar dan menyegarkan pada puisi-puisinya.

Jika masih ada yang anggapan puisi itu sekadar bacaan iseng-iseng, mestinya Fakultas Sastra itu sudah sejak lama ditutup. Karena hanya dianggap mengajarkan keisengan saja. Puisi, sebagai karya sastra, memiliki kaidah-kaidah dan ilmu-ilmu yang harus dipelajari. Inilah peran penting pengajaran sastra di sekolah-sekolah dan kampus.

Peran penting puisi di masa revolusi juga sangat besar. Puisi-puisi perjuangan yang ditulis para penyair memiliki peran besar mengobarkan dan menganjurkan semangat para pejuang. Chairil Anwar, penyair pelopor Angkatan 45 ini, menulis puisi Diponegoro yang begitu heroik.

Maju
Serbu
Serang
Terjang

Siapa yang akan meragukan heroisme dan semangat yang diusung Chairil Anwar dalam puisi Diponegoro itu? Bait puisi di atas mampu membangkitkan semangat para pejuang. Tidak hanya Chairil Anwar, ada juga penyair lain yang menulis puisi tentang perjuangan sebagai alat untuk menentang penjajah. Tidak sedikit puisi perlawanan yang dituliskan di masa revolusi.

Di masa kemerdekaan dan pembangunan pun puisi punya peran penting dalam memberi motivasi dan semangat membangun. Banyak puisi tentang keindahan alam Indonesia, kekayaan dan keberagaman bangsa Indonesia yang dituliskan untuk promosi pariwisata.

Saya menaruh harapan besar bahwa ke depannya, puisi tidak dipandang sepele dan diremehkan. Puisi harus diberi tempat dan kedudukan yang sama dengan karya disiplin ilmu lainnya melalui gerakan-gerakan literasi.

Depok, 26 Februari 2018

Related posts

Leave a Comment

five × two =