Puisi-puisi Salim Ma’ruf
Salim Ma’ruf, seorang Mahasiswa tingkat akhir yang berdomisili di Martapura. Bergiat di Sanggar Ar-rumi Institut Agama Islam Darussalam Martapura dan Kindai Seni Kreatif Banjarbaru Kalimantan Selatan. Puisinya tersiar di berbagai antologi bersama, di antaranya: 6,5 SR Luka Pidie Jaya (2017), Menembus Kegelapan Menggapai Kerinduan(2017), Maumang Makna di Huma Aksara (2017), The First Drop Of Rain (2017), Ungkapan Cinta (2018) serta di Linikini.id, Nusantaranews.co, Majalah Simalaba, dan Qureta.com.
Relief Memori
: perempuan bermata randu
Jejak kaki kita menapaki tangga waktu
Seiring gerak imaji senja di rantau sunyi, kian bangsai.
Sasa,
Abaikan percakapan kursi tua itu, serta dialog arif dinding sepuh.
Di ujung lorong ‘kan kita jumpai
Segelintir jawaban menguar dari jamung cendekia.
Seiring deru sajak di mega kata-kata
Menautkan diri pada ritus rindu di antara gemeretak peradaban.
Hanya ada sejumput kenangan, rumpun kesunyian, dan petitih klasik
Bersarang di etalase tubuh.
Dari riuh rendah sorot matamu,
Kelepak elang di pucuk beringin,
Aku membaca narasi kegelisahan seorang penyair jalanan
Meraba lekuk debu, semisal hujan menetiki gerimis.
Di serambi detik, kita mematung diri
Menyaksikan kaum proletar mengikat rumpun ilalang,
Dan juga seorang pengelana berteduh dari ribuan letai.
Di runcing perjalanan
Kita disambut bocak cilik yang bermain petak umpat dengan ruhbanat.
Seusai dialog tiga patah kata purba
Kusibak tirai kelir, engkau berpulang menuju janubi.
Dan akupun kembali pada kefanaan.
Martapura, 2016
Perahu Tua
Teronggok perahu tua di bandar. Berkelukur.
Kau berbisik, “Lihat, bocah-bocah bertelanjang dada itu
mengikat laut pada kerangka layang-layang.”
Aku terperenyak. Kata-kata menginjak pasir.
Sekawanan camar beralih arah
-tafsir si pecundang dan si pemenang-
Martapura, 2017
Meratus: Duka Kelukur
puzzle ke 1
Tercabik dara pucuk-pucuk daun
khidmat aroma tanah basah hirap
dan kidung warisan leluhur terdengar sumbang
seiring arus globalisasi merajam petuah-petuah pendahulu.
Alunan serunai, kuriding, radab, gunggut
kelebu di balik raung bulldozer
balam-balam
sabak
hingar bangar
persembahan orkestra dahanam.
Teriakan bisu, kepal tangan buntung
mulut reguk nuftah modernisasi
o, Meratus
punggungmu penuh sayatan dan
keperawananmu terdedah.
Dangsanak
air mata membatu menatap
tanah dikerok hutan ditebang
wajah-wajah beringas, garang
riang terpatri pada lembaran money
sedang para bocah bertelanjang dada mengintip peradaban
giris
jeri
ngeri.
Semoga mala tiada bergegas mengurai rambutnya.
Martapura, 2017