Berita 

Catatan Kurator Antologi Puisi Pematangsiantar

PEMATANGSIANTAR (Litera.co.id) – Sekira 128 kilometer dari Kota Medan dan 50 kilometer dari Prapat, kota yang biasa disebut Siantar ini menjadi perlintasan bila hendak ke Danau Toba. Terletak di Provinsi Sumatera Utara, Pematangsiantar menjadi kota terbesar kedua setelah Medan di provinsi tersebut. Sebagaimana banyak kota di Nusantara, kota ini pun tak terlepas dari sejarah kolonial meskipun awalnya adalah sebuah kerajaan.

Beragam jejak sejarah berceceran di kota ini. Warna-warni kebudayaan. Kesenian. Dan lain sebagainya. Mulai dari Pulau Holing, lepau tuak, tugu, becak BSA, tari toping-toping hingga ke aktor Lo Lieh. Banyak keunikan yang bertabur di kota berpenghuni mayoritas suku Simalungun dan Toba ini.

Lalu apa yang akan dituliskan penyair ketika Siantar mengundang mereka?

menyusuri jalanan airmata
antara tugu tugu hantu
matahari membakar rambutku satu satu
jadi bukitan tandus
terkelupas hangus
menguap di didih air danau
yang diludahkan para leluhur
dari pusuk buhit dongeng kanak kanakku

Demikian bait terakhir puisi yang ditulis Saut Situmorang yang berjudul Samosir. Sebuah kerinduan yang penuh terhadap sebuah kota masa lampau. Kenangan kanak-kanak yang tak ingin dilupakan, pergeseran-pergeseran yang dituntut zaman. Betapa puisi ini adalah cermin dari tusukan-tusukan masa lalu dan hari ini.

Menulis puisi tentang sebuah kota, baik itu dari sejarahnya, kebudayaan, legenda, mitos, tradisi, sampai pada kenangan dan lain-lain, memiliki tantangan tersendiri. Bagaimana puisi berangkat dari data yang ada dan bukan hanya imajinasi semata. Kesulitan akan dirasakan ketika seorang penyair tidak pernah bersentuhan atau tidak memiliki pengalaman pribadi dengan kota dimaksud. Akibatnya akan muncullah hal-hal yang seolah-olah diduga-duga saja, muncul diksi-diksi yang sekedar ada tapi tidak begitu dalam keberadaanya, sebagaimana bermunculan pula diksi-diksi lokal yang seolah dipaksakan kehadirannya dengan harapan mampu memberi warna.

Akan tetapi tidak demikian halnya dengan penyair-penyair yang sudah terlatih nalurinya untuk memberikan respon terhadap apa yang dilihat, dirasakan, maupun dibayangkan. Pernah atau tidak pernah mereka bersentuhan dengan kota tersebut, dengan kepiawaian yang dimiliki penyair-penyair dimaksud di atas, mereka berhasil menyuguhkan puisi-puisi yang baik tentang sebuah kota, meskipun belum bersentuhan secara nyata. Itu dapat kita lihat dari puisi Saut Situmorang yang dikutip di atas, dan beberapa puisi penyair yang terdapat di dalam antologi ini. Ada kekentalan kultur budaya yang berhasil disingkap. Ada lanskap alam yang mampu dilukiskan. Ada keunikan-keunikan yang diusung menjadi celah baru dalam penyampaian. Sejarah, budaya, wisata, potret kota, cinta, kenangan, hingga berbagai mitologi ditampilkan menjadi puisi yang dikemas di balik tajuk: Pematangsiantar.

Puisi-puisi berdatangan dari beberapa penyair dari berbagai daerah untuk merayakan antologi ini.y Akan tetapi tentu tidak semuanya bisa dimasukkan. Selain dengan alasan yang sudah dipapar di atas, banyak pula puisi-puisi yang hanya mengumbar-umbar kekaguman, memuji-puja, melebih-lebihkan, sehingga sebagai sebuah puisi yang baik ia terdepak dari hakikatnya. Tak ada estetika. Tak ada isi. Tak bermuatan pesan. Hanya serupa gambaran pemandangan senjakala yang sudah sangat biasa. Maka puisi-puisi jenis itu dengan sangat menyesalu terpaksa kami sisihkan.

Di samping itu, tentu pula tidak semua puisi yang dimuat di antologi ini berada di wilayah kualitas sebuah puisi. Ada unsur-unsur yang harus ditolerir, didispensasi. Karena bagaimanapun, meski antologi ini berkaitan erat dengan literasi, akan tetapi juga sekaligus menjadi promosi Kota Pematangsiantar. Namun demikian, puisi-puisi yang tampil dalam antologi ini telah melewati ruang kurasi yang kami coba melakukannya dengan sebaik mungkin. Semoga antologi ini berhasil mendapat tempat di hati para pembaca dan sastra Indonesia tentunya. Salam!

Iyut Fitra
Sulaiman Juned
Itov Sakha

(R)

Related posts

Leave a Comment

three × 1 =