puisi 

Puisi-puisi Pilo Poly

Pilo Poly lahir di Pidie Jaya, NAD, 16 Agustus 1987. Aktif di beberapa komunitas sastra seperti KSI dan Cendoler. Banyak puisinya termuat di antologi dan tersiar di sejumlah media massa. Buku puisi tunggalnya adalah Yusin dan Tenggelamnya Keadilan (2014) dan Sehelai Daun yang Merindukan Ranting (2016). Kini aktif dan tinggal di Jakarta.

 

Rohingya

 

1/
Aku ingin mencarimu
ke dalam rasa sakit
dadaku, ke dalam
asin air matamu
yang menghitam.

Pasi kakimu bagai
runtuhan pagoda,
berat menahan
ketidakadilan sejarah,
bahasa ibu yang hilang
buat anaknya.

Aku melihat wajahmu, tapi
dalam mataku tampak
halaman rumah yang
ketakutan dan ingin lari
lewat lunglai kakimu.

2/
Nyenyak tidurku, sedang
kau jadi mata yang tegak
agar hutan tak bawa
rasa ngeri ke dalam mimpimu

“Aku ingin pergi sejauh mata
mampu menterjemah garis laut.
Sejauh kesunyian yang
tak mempan ditafsir
ribuan falsafah.
Di hutan ini,
hidup bagai bidak catur,
yang dikendalikan dua setan
dari neraka,” katamu.

Kenyang makanku, tapi
lidahmu kemarau dan
bibirmu tak sehijau
jalan-jalan kota
yang riuh dengan
bau makanan.

Sesak dadaku ini, oh,
jantung hati simalakama.
Namun, setiap kau
menelusuri ribuan onak,
kau tetap merapal bagai
ribuan doa baik pada
negeri yang meludahmu
dengan peluru.

3/
Aku ingin menjemputmu,
dengan kerinduan yang
seperti hujan. Bukan kengerian
dari taring serigala istana yang bagai
matahari membakar dadamu

Di jalan-jalan, kadang matamu
terseret ke ribuan sakit
di belakangmu. Di tempat
kau lahir dan besar itu, kau
terus mengingat walau
sebenarnya hanya
derita yang terus
membakar hangus dirimu.

Matamu yang sedalam
sungai, tak lagi alirkan
air bahagia dari jiwamu.
Kakimu bau lumpur dan
digigit pematang berduri
tempat kau lari, tertatih-tatih
mencari cahaya dalam
kepulan asap mesiu
dan hujan peluru.

“Demi masa depan,
lelah ini hanyalah
kebahagian yang masih
dapat diteguk. Walau kaca
dan duri ada di dalamnya,” bisikmu.

4/
Bersih tubuhku, sedang
kau berhari- hari merindukan
air. Badanmu lengket terik
matahari, darah,
dan ketakutan. Tapi kau
diam dan tak mencemooh
buku-buku perdamaian.

Kadang-kadang, aku ingin datang
kepada sakitmu, masuk
dan tidur di dalamnya. Agar
saat sadar pada pagi hari,
aku tahu sakit tubuh mana
yang terus mengusik pikiranku.

Jombang, 2018

 

 

Lihatlah Kota Ini
: Jakarta
Lihatlah kota ini, begitu rakus
Melumat daging-daging kami
gedung-gedung, jalan tol, tempat-
tempat hiburan adalah perih jiwa ini

Lihatlah kami yang begitu kurus
Daging dan tulang telah lumat tak bekas
Sebab disasar proyek ke proyek

Lihatlah tanah kami, tinggal lumpur
Minyak kami sisa ampas
Besi, perak dan emas kami,
adalah dongeng belaka

Lihatlah kami, kurus kering begini
Sedangkan Jakarta gemuk dan berisi
tampak sehat dan selalu muda

Jombang, 2018

 

 

Mei di Pertengahan Lorong
: LK Ara

Bulan naik, tinggi dan merah
sedang Mei, masih di pertengahan
lorong matamu yang sepi.

Kerinduan, pucuk bunga yang kuyup dengan kesunyian. Seperti matamu, hampa dengan riuh kamar ini. Sebab ada yang begitu jauh dari jangkauanmu.

Kau sendiri menyapu panjangnya perjalanan hidup. Bibirmu pecah, tapi kata-kata dalam hatimu selalu biak.

Kesendirian, katamu, tumbuh dalam tubuhmu, memanjang ke atas langit. Sedang di bawahnya, dadamu setandus bukit-bukit dikunyah kemarau.

Indosiar, 2018

 

 

Tidur dalam Igaumu
: Miss

Rindu adalah tempat
kau mendengkur, tempat
dimana aku ingin selalu tidur.

Aku ingin tidur dalam
igaumu, agar kudengar suaramu
menyebut namaku.

Cintamu adalah kesabaran sungai Nil. Laju rindu yang tak paham kata nihil.

Cikini, 2018

 

 

 

Related posts

Leave a Comment

five + 1 =