Agenda 

Sorban

Humam S. Chudori, lahir di Pekalongan pada 12 Desember 1958. Menulis cerpen, puisi, esai, dan novel. Dikenal luas sebagai novelis dan cerpenis. Beberapa novelnya adalah Ghufron (Republika, 2008), Shobrun Jamil (Republika, 2011), dan Rezeki (Q Publisher, 2016). Cerpennya banyak menghiasi media massa nusantara. Beberapa cerpen dan karyanya juga pernah mendapat penghargaan dari Kementerian Agama. Kini tinggal dan bergiat di Tangerang Selatan.

 

Ustad Saleh tidak pernah kelihatan bersorban lagi.

Dulu, ayah dari empat orang anak itu tidak pernah tidak bersorban, baik ketika sholat berjamaah di masjid, mengajar ngaji di rumahnya, memberikan ceramah agama, memimpin tahlilan, atau acara ritual keagamaan lainnya. Ya, sorban menjadi ciri khas penampilan lelaki berjenggot lebat itu.

Entah berapa banyak sorban yang dimiliki Ustad Saleh. Yang pasti, sorbannya tidak hanya dua atau tiga potong. Coraknya pun bermacam-macam. Betapa tidak, hampir setiap orang di kota kecil itu yang pulang dari tanah suci Mekah (usai melaksanakan ibadah haji atau umroh) selalu membawakan sorban kepada guru ngaji itu. Meskipun Ustad Saleh tak pernah memintanya.

Bagi Ustad Saleh, memang, sorban memiliki nilai lebih bila dibandingkan dengan benda lain. Kendati dibandingkan dengan sajadah yang paling mahal sekali pun. Sebab sorban merupakan satu-satunya benda yang terdapat dalam riwayat nabi dan pantas dikenakan siapa saja. Sementara itu, pakaian Rasulullah yang lain – gamis atau jubah, misalnya – dianggap tidak tepat dipakai setiap orang kecuali untuk orang Arab yang tinggal di kawasan Timur tengah.

Ustad Saleh baru merasa afdhol apabila melakukan pekerjaan ubudiyah jika ada sorban melekat di badannya. Bahkan merasa lebih khusyu’ terutama ketika melaksanakan salat. Keyakinannya ini pernah ia sampaikan dalam sebuah ceramah agama, di masjid Agung, di kota kecil itu.

Sebelum Ustad Saleh menceritakan keyakinannya, tidak pernah ada yang membawakan sorban kepadanya selain air zam-zam, kurma, kacang arab, dan tasbih. Lazimnya mereka yang pulang dari tanah suci memberi sajadah – bukan sorban – kepada Ustad Saleh. Namun, sejak lelaki berkacamata itu menuturkan penilaiannya tentang sorban dan sajadah, tepatnya sejak lima tahun lalu, ia selalu kebagian ‘jatah’ sorban dari orang yang pulang dari tanah suci.

Mereka yang pernah memberinya sorban juga mempunyai kebanggaan tersendiri jika sorban yang diberikan itu melekat di pakaian atau melingkar di peci Ustad Saleh.

Karena itu, tatkala Ustad Saleh tak bersorban lagi – tentu saja – menimbulkan pertanyaan di kalangan masyarakat. Tetapi, tak seorang pun ada yang berani menanyakan kenapa ulama terpandang di kota kecamatan itu tak bersorban lagi. Dan orang pun hanya menduga-duga. Barangkali sorban Ustad Saleh raib dicuri maling.

Beberapa waktu sebelum Ustad Saleh terlihat tak bersorban, rumahnya memang disatroni maling. Ketika itu, Ustad Saleh sekeluarga sedang pergi ke luar kota. Maling yang sempat masuk melalui atap rumah itu, langsung kabur setelah kepergok Musa yang hendak memberi makan ikan di rumah sang ustad. Ia kabur melalui jalan yang sama, atap rumah yang dijebol, sebelum warga sempat mengepungnya.

Ketika Ustad Saleh pulang dari luar kota. Ia mengaku tidak ada satu pun barang miliknya yang hilang. Pengakuan ini disampaikan kepada Musa, tetangga yang dititipi kunci. Ya, setiap kali mengunjungi mertuanya – yang tinggal di luar kota – Ustad Saleh selalu titip kunci kepada Musa lantaran di rumahnya ada akuarium. Dengan menitipkan kunci rumah, ia sekaligus minta tolong agar Musa memberi makan kepada ikan yang dipeliharanya.

* * *

“SAYA jadi tidak enak sama Pak Ustad,” kata Musa, tatkala menyerahkan kunci rumah kepada Ustad Saleh.

“Mengapa mesti merasa tidak enak? Bukankah Pak Musa mengatakan pencurinya masuk lewat atap. Menjebol genting?”

Musa mengangguk.

“Kalau begitu Pak Musa tak perlu merasa bersalah segala,” lanjut suami Rohmah itu. “Lagipula kalau seandainya memang harus ada barang yang hilang berarti bukan hak kita lagi. Lantas kita mau apa, Pak Musa? Semua itu cuma titipan Tuhan. Tak terkecuali istri dan anak kita. Bisa apa kita?”

Musa diam.

“Karena itu Pak Musa tak perlu merasa tidak enak jika dititipi kunci. Justru karena kunci rumah ada pada Pak Musa, maka pencurian itu bisa digagalkan. Bukankah gara-gara hendak memberi makan ikan, Pak Musa melihat ada orang di dalam?”

* * *

LANTARAN tak ingin Musa dihantui perasaan bersalah, esoknya Ustad Saleh menyempatkan diri bersilaturahmi ke rumah tetangga yang dititipi kunci rumahnya.

“Alhamdulillah! Tidak ada barang di rumah yang hilang, Pak,” kata Ustad Saleh.

“Jadi, maling itu tak sempat ….”

“Betul!” potong Ustad Saleh, “Mungkin barang-barang di rumah itu masih menjadi hak saya. Sebab tak ada barang yang sempat dibawa pencuri.”

Penuturan Ustad Saleh kepada Musa, diceritakan kepada orang-orang, menjadi buah pembicaraan masyarakat.

Jadi sorban-sorban Ustad Saleh masih utuh. Tidak ada yang hilang. Kenapa Ustad Saleh tak pernah bersorban lagi? Demikian pertanyaan yang mengusik hati setiap orang di kota kecil itu. Namun, pertanyaan ini tak ada yang berani melontarkan. Tak terkecuali Rohmah, isteri Ustad Saleh sendiri.

* * *

AKHIRNYA pertanyaan yang selama ini menjadi teka-teki masyarakat terjawab, setelah Ustad Saleh memberi sambutan pada acara pemberangkatan calon jemaah haji yang diadakan di masjid Agung.

“…..Mudah-mudahan dengan nawaitu yang tulus, ikhlas, bersih dan semata-mata Lillahi taala, semua yang berangkat haji pada tahun ini akan menjadi haji mabrur. Gelar haji bukan dijadikan tujuan utamanya. Sebab betapa naifnya kalau sudah naik haji lantas merasa tersinggung jika ada yang memanggil tanpa menyebutkan embel-embel kata haji di depan namanya. Lagipula kalau memang setiap orang yang sudah melaksanakan rukun Islam ke lima harus disebut hajinya, betapa tidak konsistennya kita. Bukankah setiap nabi pasti sudah melaksanakan rukun Islam kelima. Demikian pula para sahabat nabi. Khulafaur rasyidin, misalnya. Bukankah kita tak pernah menyebut sayidina Abubakar atau Umar Bin Khattab, dengan mengatakan Haji Abubakar Ash Shidiq atau Haji Umar Bin Khatab ….. betul?”

“Betul,” jawab hadirin. Serentak.

Ustad Saleh melanjutkan sambutannya, “Sayangnya, barangkali, sebagian dari kita masih merasa penting gelar semacam itu. Gelar haji menjadi semacam simbol status seseorang. Perubahan semacam ini, agaknya, bukan hanya terjadi pada gelar haji, melainkan pada pemakaian sorban. Betapa tidak, seperti kita lihat di televisi, sorban dipakai saat mengadu kepada wakil rakyat, presiden, menteri, atau pejabat.. Bahkan digunakan ketika berdemo atau protes terhadap sesuatu yang bersifat politis. Padahal seharusnya sorban hanya pantas dipakai saat kita mengadu kepada Yang Maha Kuasa. Bukan kepada penguasa.”

“Marilah kita doakan semoga calon jemaah haji yang akan berangkat nanti akan menjadi haji mabrur. Dan kita semua akan bisa mengikuti jejak mereka ke tanah suci,” lanjut Ustad Saleh.

* * *

EMPAT hari setelah Ustad Saleh memberi sambutan pada saat keberangkatan rombongan haji di masjid Agung. Insan Tauhid – takmir masjid Agung – menemukan sorban yang tertinggal di tempat ibadah itu.

Hari Jumat berikutnya, ada sorban yang tertinggal di masjid itu lagi. Demikianlah, hampir setiap hari Jumat, usai pelaksanaan ibadah salat Jumat, Insan Tauhid selalu menemukan sorban yang tertinggal di sana. Tidak diketahui siapa pemiliknya. Bahkan Meskipun setiap hari Jumat selalu diumumkan ada sorban yang tertinggal di masjid. Namun, anehnya tak pernah ada yang mau mengakui sebagai pemilik sorban-sorban tersebut.

Sementara itu, tidak setiap hari Jumat Ustad Saleh datang ke masjid itu. Ia memang tak pernah menetap di satu masjid jika salat Jumat. Sebab ia menjadi khotib di masjid-masjid lainnya.

Kini. Belakang mimbar masjid dipenuhi sorban berbagai corak dan warna. ***

 

 

 

 

 

Related posts

Leave a Comment

14 − six =