Yayasan Hari Puisi Gelar Seminar Syair Toleransi
JAKARTA (Litera.co.id) – Yayasan Hari Puisi (YHP) bekerja sama dengan Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia (DRPM UI) dan Pusat Dokumentasi sastra (PDS) HB Jassin akan menggelar Seminar Nasional bertajuk “Syair Kampung Gelam Terbakar: Representasi Toleransi Masyarakat Melayu” di PDS HB Jassin, Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, pada 26 Juli 2018, pukul 14.00-17.00 WIB.
Acara ini dilaksanakan dalam rangka syukuran menyambut Hari Puisi Indonesia sekaligus mempersiapan perayaan ke-6 Hari Puisi Indonesia, yang akan dihelat pada17-19 Oktober 2018 mendatang.
Acara ini akan menampilkan para pembicara di antaranya: Maman S. Mahayana (kritikus sastra), Bastian Zulyeno, Ph.D. (ahli Parsia), Dr. Ade Solihat (antropolog) dan Suranta, M.Hum. (Islamolog). dengan moderator penyair, Sofyan RH. Zaid.
Acara ini nantinya juga akan dimeriahkkan dengan pembacaan puisi oleh para Penyair Yayasan Hari Puisi. Di antaranya: Asrizal Nur, Sihar Ramses Simatupang, Nana Sastrawan, dan Arief D. Hasibuan.
Untuk mengikuti Seminar Nasional ini para peserta yang hadir tidak dipungut biaya. Hanya saja untuk keperluan alokasi tempat para peserta harus mendaftarkan kehadirannya terlebih dahulu ke panitia. Melalui narahubung: 085921684703 (Ariany Isnamurti).
SEMINAR SYAIR TOLERANSI
Ketua Umum Yayasan Hari Puisi, Maman S Mahayana berharap Seminar Nasional bertajuk: “Syair Kampung Gelam Terbakar: Representasi Toleransi Masyarakat Melayu” ini dapat memantik kesadaran kesejarahan dan sekaligus mengembalikan ingatan kolektif masyarakat dalam menjaga toleransi.
“Sudah sejak lama penduduk di kawasan Nusantara, punya semangat yang sama dalam urusan menjaga toleransi, merayakan kebinekaan, dan menolak ujaran kebencian,” katanya seperti yang dilansir Haripuisi.info di kediamannya, Depok, Senin (23/07).
Di tempat terpisah, Ahli Parsia, Bastian Zulyeno mengungkapkan, bahwa produk budaya yang merepresentasikan semangat toleransi, kebinekaan dan anti-ujaran kebencian dapat dijumpai dalam berbagai karya sastra, khususnya puisi.
“Dalam ‘Syair Kampung Gelam Terbakar’ karya Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi yang ditulis tahun 1847, tampak jelas, bahwa persoalan gotong royong, toleransi, menghormati perbedaan, dan menolak kosakata kasar yang menyulut kebencian, sudah menjadi sikap budaya dalam kehidupan masyarakat di Nusantara sejak dahulu kala,” terangnya.
Seperti yang diketahui. Belakangan ini, masyarakat, bahkan juga pemerintah, riuh mengangkat wacana toleransi, kebinekaan, dan anti-ujaran kebencian. Tujuannya, tentu saja agar bangsa Indonesia yang multi-etnik dengan berbagai kekayaan budayanya itu, tetap kokoh berada dalam NKRI. (R)