Agenda 

Jalan Buntu

Ruly R, tinggal di Karanganyar, Jawa Tengah. Bergiat di Komunitas Kamar Kata Karanganyar (K4) dan Literasi Kemuning. Senang menulis khususnya genre prosa baik novel atau cerpen. Kumcernya yang baru saja terbit berjudul Cakrawala Gelap (Penerbit Nomina, 2018) dan Novelnya yang akan segera terbit berjudul Tidak Ada Kartu Merah.

 

Dari kejauhan, seorang pemuda dengan langkah tegap dengan setelan busana serba putih sebentar lagi memasuki gapura yang tanpa nama. Ya, gapura itu tidak sepenuhnya gapura, hanya bata merah yang disusun serampangan agar tampak menjulang kira-kira satu setengah meter, sebagai sebuah tanda jika setiap orang yang telah melintasi tanda itu bisa disebut pergi atau datang, dari atau ke desa bernama Kaliharjo.

Angin siang berkesiur tak kencang namun menggugurkan daun yang sudah tua. Daun itu terbang dengan lembut seakan langgam jawa yang mengalun ketika malam tiba. Dari warung yang tidak jauh dengan bata yang tersusun sekawan pemuda sedang ongkang-ongkang kaki sembari membanting kartu yang tampak mereka mainkan. Pemuda berbusana putih itu menyapa mereka dengan senyum dan anggukan kepala. Sekawan pemuda itu membalas dengan senyum yang nampak dipaksakan. Pemuda berbusana putih terus berjalan, sementara bisikan dan tanya di antara sekawan pemuda saling terlempar di warung itu. Angin siang mengantar bisikan mereka yang seakan menyesaki warung.

***

Pemuda berbusana putih tiba di depan sebuah gubuk reot dan tampak tak terawat. Pemuda itu mengedarkan pandangan ke sekeliling dan matanya tak menemu satu orang pun yang ada di sekitar sana, yang ada hanyalah pohon randu besar yang membuat senyuman menyimpul dari bibirnya. Tapi dia juga seperti sadar kalau ada jalan buntu saat dia kembali ke sini, namun dia putuskan melangkahkan kaki mantap memasuki gubuk reot itu.

***

Semburat jingga sudah diganti gelapnya malam.

Gubuk reot yang sebelumnya tidak berpenghuni kini memancarkan seberkas cahaya. Warga desa Kaliharjo yang melintas di jalan depan gubuk itu penasaran, meski di antara mereka tidak ada yang berani untuk benar-benar mendekat dan masuk ke gubuk itu. Jangankan masuk ke gubuk itu, untuk menginjak rimbunan rumput liar yang ada di rumah itu saja mereka tidak berani. Pohon randu yang menjulang di antara rimbun rumput di sana, menambah ketakutan yang dirasakan mereka.

“Kualat nanti.”

“Gubuk itu harusnya musnah.”

“Besok kita bakar saja daripada membuat takut begini.”

            Begitulah bisikan mereka yang berbaur dengan malam dan ketakutan milik masing-masing. Tapi bisikan itu tidak lama, mereka bubar ketika Mbah Diran menyela di antara bisikan mereka. Mereka—warga yang berbisik, segera pergi seakan kakek tua yang berkopiah itu lebih menyeramkan dari sekadar gubuk reot dan pohon randu.

Angin malam membelai api yang ada di gubuk reot itu. Api sedikit bergoyang dan memunculkan siluet seseorang yang sedang bersila. Mbah Diran dengan wajah tenang, langkah yang mantap memasuki pelataran gubuk reot dan menghaturkan salam. Pemuda yang masih dengan busana serba putih menjawab dan bergegas membuka pintu. Wajah Mbah Diran nampak gamang ketika dua matanya yang renta menemu wajah pemuda itu.

“Sa..ri..no,” ucap Mbah Diran dengan terbata. Air matanya sedikit menetes.

“Saya Marwanto, Mbah,” jelas pemuda itu.

Mbah Diran memeluk pemuda itu. Air matanya semakin deras mengalir.

***

Kaliharjo, sebuah desa yang tentram. Para warga yang mayoritas mata pencahariannya petani juga hidup sentosa. Tapi pada suatu malam yang telah berlalu sepuluh tahun lalu, Kaliharjo geger. Ada merah darah yang menetes di antara cakrawala hitam. Ada bau amis yang tercium di antara gelap. Sampai sekarang, wajah dan nama satu orang tidak mungkin bisa lepas dari ingatan warga Kaliharjo, yaitu Sarino. Warga menemukannya di tengah semak sebelah selatan desa ketika sebuah pisau ada di genggaman tangannya. Bukan hanya Sarino dan pisaunya saja yang ditemukan warga, tapi juga mayat seorang lelaki yang bernama Samiyun. Tanpa babibu dan aba-aba, warga Kaliharjo seakan saling menukar riang—di antara warga, untuk menghakimi dan melepas bogem mentah pada Sarino. Wajah Sarino seakan tak berwujud lagi ketika dia digelandang oleh warga ke sebuah rumah. Rumah itu adalah rumah Mbah Diran.

Jelas saat itu Mbah Diran belum setua sekarang, tapi dia sudah dianggap warga sebagai salah satu tetua desa, bukan karena umurnya melainkan karena kecakapannya mengaji dan kepandaiannya berbicara ketika warga desa melakukan kenduren.

Saat itu—sepuluh tahun yang lalu, Mbah Diran seakan menjadi malaikat yang diutus Tuhan untuk turun menyelamatkan Sarino dan anak semata wayangnya. Dalam ingatan Mbah Diran yang sekarang mulai samar, dia mengatakan kalau Sarino membunuh Samiyun karena si korban telah mengungkit masa lalu istri Sarino.

Kubur istri Sarino saat itu belum sepenuhnya kering ketika dia mendengar Samiyun mengatakan kalau istri Sarino pernah dicicipinya dulu. Perkataan itu masuk ke telinga Sarino dari kabar burung yang merambat di antara telinga warga Kaliharjo. Samiyun memang dikenal seorang pembual, tapi tidak ada warga yang benar-benar tahu perihal ngicipi itu benar atau tidak sampai sekarang. Satu hal yang jelas dari perkataan itu, yaitu menyulut api amarah yang ada di dada Sarino.

Mbah Diran mencoba memahami apa yang diceritakan Sarino, memberi kebaikan, dan memutuskan: Sarino dan anak semata wayangnya ‘dikaburkan’ dan dilarang untuk kembali ke Kaliharjo.

***

Deras air mata Marwanto mengalir ketika dia mendengar cerita Mbah Diran.

“Lalu kenapa kamu kembali ke sini, Le?” tanya Mbah Diran kepada Marwanto yang ada di hadapannya. Mbah Diran seakan masih ingat siapa pemuda yang bersila di hadapannya ketika dia dengan mantap menanyakan hal itu.

Marwanto menjelaskan kalau ini semua keinginan ayahnya sebelum meninggal. Katanya dia merindukan tanah kampungnya, Kaliharjo. Marwanto juga menerangkan kalau dia tahu Kaliharjo dan gubuk reot ini, ketika ayahnya mengatakan kalau ada rumah di mana depannya ada sebuah pohon randu besar, itu adalah rumahnya, meski ayahnya tidak pernah menjelaskan kepadanya tentang peristiwa yang sudah lama berlalu itu.

Malam semakin larut. Mbah Diran hendak pamit meninggalkan Marwanto.

“Kamu harus datang pas malam Kamis Pahing, aku mau mengumpulan warga Kaliharjo di rumahku,” terang Mbah Diran sembari menjelaskan kalau malam Kamis Pahing menurut budaya jawa itu menjadi malam yang penting.

Kabeh sing ning Kaliharjo iki sedulur,” ucap Mbah Diran sebelum benar-benar pergi dan seakan hilang di telan gelap malam.

***

Malam diganti matahari yang terbit dari ufuk timur. Entah bagaimana kabar kepulangan anak Sarino segera tersiar ke seluruh Kaliharjo. Setiap warga mulai membagi cerita yang ada di masa lalu, karena cerita itu pula ada satu orang yang kupingnya merah dan hatinya panas. Sarju—dia anak dari Samiyun dan salah seorang di antara sekawan pemuda yang ongkang-ongkang di warung, ketika Marwanto datang di Kaliharjo.

Kepulangan Marwanto menjadi keresahan bagi warga Kaliharjo. Mereka mulai menebar ancaman ke gubuk reot yang ditinggali Marwanto, dan orang yang paling sering menebar ancaman itu ialah Sarju. Tapi hal-hal yang dilakukan warga Kaliharjo—termasuk Sarju hanya sekadar ancaman, tak lebih. Mereka takut jika menyerang gubuk reot itu jelas akan kualat. Bukan mereka takut pada masa lalu gubuk reot itu saja, tapi mereka juga takut dan segan pada Mbah Diran.

***

Jingga langit diganti hitam malam. Pertemuan malam Kamis Pahing akhirnya tiba. Warga dengan muka kecut tampak ogah-ogahan mendengar Mbah Diran berbicara. Sebenarnya mereka tidak mau untuk berkumpul di rumah Mbah Diran, tapi untuk tidak datang rasanya mustahil. Mereka—warga Kaliharjo jelas takut dan segan pada Mbah Diran.

Ngamben-ngamben, lemari-lemari. Mualne aku ngawe kabeh rene, awake dewe ning kene kabeh kadang,” ucap Mbah Diran, menyampaikan maksudnya perihal mengumpulkan warga di rumahnya. Saat itu tepat air teh disuguhkan tuan rumah. Saat mengatakan itu Mbah Diran mengedarkan pandang ke semua, tapi ada dua orang yang tak hadir di rumah itu: Marwanto dan Sarju.

***

Di tengah semak, selatan Kaliharjo ada jerit yang memecah malam, ada merah yang membasahi tanah, gelap mencium bau amis darah. Dan keesokan harinya seorang warga dari luar desa Kaliharjo mengabarkan kalau ada penemuan mayat yang dia sendiri tidak tahu tentang identitas mayat itu. Bisik ada di tengah warga Kaliharjo, mereka tahu yang tidak datang di malam Kamis Pahing sudah benar-benar pergi dan tidak mungkin kembali.

 

 

 

 

 

Related posts

Leave a Comment

5 − three =