Patung
Tjahjono Widarmanto, lahir di Ngawi, 18 April 1969. Meraih gelar sarjananya di IKIP Surabaya (sekarang UNESA) Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, sedangkan studi Pascasarjananya di bidang Linguistik dan Kesusastraan diselesaikan pada tahun 2006, saat ini melanjutkan studi di program doktoral Unesa. Buku puisi terbarunya PERCAKAPAN TAN dan RIWAYAT KULDI PARA PEMUJA SAJAK (2016) menerima anugerah buku Hari Puisi Indonesia tahun 2016.
Lelaki yang duduk di kursi malas di tengah ruangan itu berusia sekitar enam puluh lima tahun ke atas. Tubuhnya yang tambun dengan lemak bergelambir di perut dan lehernya semakin menunjukkan kesenjaannya. Udara malam selarut ini cukup dingin, tetapi wajah dan dahi lelaki itu berkeringat. Mulutnya berulang-ulang mengembuskan asap dari pipa rokoknya, sesekali terdengar gumam yang tak jelas keluar dari mulutnya.
“Bu…Bu, .Bune!” tiba-tiba lelaki itu berteriak keras.
“Ada apa to Pak”, terdengar suara lembut dari seorang perempuan yang usianya sudah melewati separo baya mengenakan daster warna hijau, datang dengan tergopoh.
“Sudahlah Pakne, ndak usah terlalu digalih. Bapak kan harus istirahat. Sare, pak. Apalagi sejak tadi, Bapak ngeses terus. Bukankah, kata dokter, Panjenengan harus ngurangi ngeses”, kata perempuan itu sambil memijit-mijit pundak lelaki tua itu.
“Tidur, Bune?! Bagaimana aku bisa tidur! Anak-anak muda itu memang ndak tahu diri. Ndak mau matur suwun. Bukankah selama ini, selama aku menjadi gubernur di provinsi ini, aku selalu mendanai semua organisasi mereka. Aku beri semua fasilitas yang mereka inginkan. Tapi, kenapa mereka tiba-tiba membuat gerakan menolak kembali pencalonanku? Sungguh ndak tahu berterima kasih,” cerocos mulut lelaki itu sampai berbusa-busa. “Dan celakanya Bune, Titis, ragilmu itu lho, kok ya ikut-ikutan,” keluh lelaki itu dengan kesal.
Istrinya berkata lirih, nyaris tak terdengar, “Apakah tidak sebaiknya, Bapak tak usah mencalonkan diri lagi. Satu periode bukankah sudah cukup, to, Pakne. Biar ganti yang muda-muda itu.”
“Apa, Bune? Mundur! Usulmu itu edan! Ngawur! Apa Bune nanti gak malu kalau tiap-tiap orang di pasar, di warung-warung, di kantor-kantor akan ngrasani kalau aku, aku, Bune, Mayor Jenderal Sadiroen Yudha Kuntjoro, tinggal glanggang colong playu. Tidak, Bune! Tidak!” jawab lelaki itu meradang.
Melihat reaksi suaminya, wanita itu merangkul dari belakang, sambil menjawab lirih,” Kalau itu kehendak Bapak, aku manut saja. Yang penting, sekarang Bapak sare dulu. Bukankah Bapak harus fit dan sehat untuk menghadapi semua ini.”
“Baik, baik aku akan tidur Bune, tapi tolong panggil Susetyo sekarang juga!” jawabnya masih sarat nada kesal.
“Tapi, ini sudah malam …,” jawab istrinya.
“Sekarang! Sekarang, Bune!” potong lelaki itu makin kalap.
Dengan sedih dan menggeleng-geleng kepalanya, wanita itu berlalu ke belakang.
Tak lama kemudian, isterinya kembali ke ruangan besar itu bersama dengan seorang lelaki muda yang mengenakan baju batik warna coklat tua, ajudan sang mayor jenderal.
“Yo, besok pagi aku inginkan seluruh tim sukses berkumpul. Ingat Yo, pagi-pagi benar. Dan aku ingin semuanya hadir lengkap!” perintah sang mayor jenderal tanpa memberi kesempatan ajudannya untuk mengucapkan selamat malam.
“Siap, Pak. Saya jamin semuanya akan datang pagi-pagi benar,” jawab Susetyo sang ajudan dengan melipat tangannya di depan perutnya.
**
Pagi itu, rumah Mayor Jenderal Purnawirawan Sadiroen Yudho Kuntjoro tampak sibuk. Hari ini sang mayor jenderal mengumpulkan anak, menantu, pengikut-pengikutnya dan siapa saja yang merasa pernah dibesarkan dan dimuliakan oleh Sang Mayor Jenderal. Mayor Jenderal Purnawirawan Sadiroen Yudho Kuntjoro memiliki empat anak. Yang sulung, Triadji Sunarwibowo, adalah seorang jaksa di Kejaksaan Tinggi Pusat. Memiliki sifat dan watak persis bapaknya; berani, penuh perhitungan, cerdik, licin, pandai memanfaatkan situasi, dan tentu saja culas. Karena sifat-sifat itulah dalam usianya yang baru mendekati empat puluh lima berhasil menduduki posisi penting di Kejaksaan Tinggi Pusat.
Anak keduanya, Prahayu Langen Anggraini, seperti ibunya, menganut keyakinan bahwa perempuan haruslah nurut dan manut pada suami. Suami bagi mereka adalah dewa yang ngejawantah, yang tak boleh dibantah. Bersuamikan seorang tentara, yang dulu ajudan bapaknya, Usman Winoto, berpangkat kolonel di mabes.
Bagas Semedhi, adalah anak ketiga pasangan Sadiroen Yudho Kuntjoro dan Rara Sutinah. Profesinya pengusaha dan direktur Minyak Negara, yang benar-benar memiliki jiwa pedagang sejati. Di dalam pikirannya yang utama adalah laba dan uang. Keberanian berspekulasi dan kemampuannya melakukan lobi-lobi merupakan senjata ampuh untuk meraih karir secara gemilang.
Dan, yang ragil, Titis Kinanti Pembayun, merupakan perempuan cerdas, kreatif, kritis, aktivis, dan keras kepala seperti bapaknya, mahasiswi sospol di universitas paling ternama. Sejak kecilnya memberontak terhadap segala aturan di rumahnya. Merupakan penentang utama bapaknya.
Dengan jas warna coklat tua berdasi, merah bata, dan sepatu yang bersemir, Sang Mayor Jenderal tampak gagah, berwibawa dan angker. Semua yang hadir di ruangan itu tak satu pun berani mengeluarkan suara.
“Anak-anak dan cucu-cucuku, hari ini, sengaja kalian, Bapak undang ke sini untuk membicarakan persoalan maha penting. Persoalan menyangkut nama besar Bapakmu, nama besar trah Sadiroen Yudha Koentjoro nama besar keluarga kita,” kata sang mayjen. Setelah berhenti sejenak, mengelus-elus tongkatnya dilanjutkannya kembali pidatonya,” Kalian sudah tahu bahwa jabatan Bapak sebagai gubernur untuk periode ini akan berakhir. Untuk itu Bapak telah bertekad bulat untuk kembali mencalonkan diri menjadi gubernur. Keputusan ini Bapak ambil, karena Bapak sadar bahwa yang namanya pembangunan merupakan sebuah proses yang berkelanjutan. Oleh karena itu pembangunan yang telah Bapak lakukan harus dilanjutkan. Dan yang paling tahu tahapan-tahapannya, adalah Bapak sendiri. Bisa kalian bayangkan, kalau gubernurnya nanti bukan Bapak, tapi orang baru, apalagi yang muda-muda itu, bocah kemarin sore yang belum becus itu, yang ndak pernah makan asam garamnya perjuangan, ndak pernah perang untuk negeri ini. Pastilah tujuan dari pembangunan ini tak akan tercapai. Akan putus mata rantainya!”
Semuanya diam.Mengangguk-angguk penuh khidmat dan takzim. Memperhatikan dengan seksama seperti murid memperhatikan gurunya.
“Kalian tentu sependapat dengan tekad Bapak ini. Apalagi, kalian telah merasakan segala kemudahan yang kalian peroleh sebagai anak gubernur. Untuk itu, sudah sewajarnya, bahkan sudah seharusnya, kalian mendukung Bapak. Sudah seharusnya kalian sebagai anak, menantu, atau yang pernah kuberi kedudukan pantas, tentulah mendukung dan menyukseskan Bapak. Ya to, wajar kan itu? Masak kalian mau yang enak saja, nggak mau yang rekasa? Nggak keberatan kan?”
“Inggih, Pak!” Jawab mereka hampir serentak.
“Itu sudah kewajiban kami, Pak. Sebagai putra Bapak tentu saja kami akan membantu Bapak. Akan kugunakan jabatan dan wibawa saya untuk menyukseskan Bapak. Apalagi saya dengar para penantang Bapak telah melontarkan isu tentang manipulasi penggunaan dana pendidikan. Saya akan menutup semua permasalahan. Dan, saya juga percaya dan yakin Bapak tidak melakukan itu. Saya tahu Bapak hanya mengalihkan dana itu untuk program yang lebih mendesak,” Triadji Sunarwibowo, sang putra sulung angkat suara.
Usman Winoto, si menantu yang kolonel itu, mengangkat tangannya, berpendapat,” Saya sependapat dengan Mas Adji. Saya tangkap para demonstran yang menolak pencalonan Bapak. Saya juga akan mengkoordinasi demo-demo tandingan untuk mendukung pecalonan Bapak. Banyak organisasi-organisasi pemuda dan massa yang bisa saya gerakkan!”
Tak kalah semangatnya, Bagas Semedhi, putra ketiga, melontarkan dukungannya, ”Bapak tidak usah cemas. Saya siapkan kucuran dana, berapa pun Bapak membutuhkan. Kita beli suara pesaing-pesaing Bapak. Kita turun ke desa-desa untuk memberikan bingkisan, uang, atau fasilitas agar mereka memilih Bapak. Juga para anggota Dewan Masyarakat kita sogok dengan mobil baru, agar mereka menghambat jalannya pesaing-pesaing Bapak di parlemen”.
Mayor Jenderal Sadiroen Yudha Kuntjoro mengangguk-anggukan kepala,”Terima kasih. Sejak semula Bapak sudah menduga kalian berpihak pada Bapak. Walau Bapak tahu ada di antara putra-putri Bapak yang berbeda pendapat dengan Bapak,” kata Sang Mayor Jenderal, sambil bola matanya melirik ke kiri dan ke kanan dengan wajah agak berang, mencari anak yang paling ragil, yang rupa-rupanya tak hadir dalam pertemuan penting itu.
“Ah, tentang Dik Titis, Janganlah Bapak menganggapnya kendala yang serius. Sikapnya hanya karena dia masih muda saja. Masih mahasiswi. Sehingga sok idealis. Saya yakin, setelah Bapak terpilih kembali, si Titis mau tak mau akan kembali pada kita”, anak sulungnya menetralisir situasi.
“Benar, Pak. Masih ada yang lebih penting dan mendesak untuk dibicarakan”, tiba Susetyo yang sejak tadi manggut-manggut angkat bicara.
“Apa itu?” spontan semuanya bertanya.
“Begini, Pak”, Susetyo berhenti sejenak, sambil menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya. Kemudian, dia melanjutkan,“Yang harus kita lakukan adalah bagaimana menyakinkan pada seluruh masyarakat bahwa Bapaklah satu-satunya sosok yang paling tepat untuk menjadi gubernur. Kita harus yakinkan bahwa Bapaklah seorang pimpinan yang paling sempurna untuk memimpin mereka”.
“Lho, apa selama ini mereka tidak mengenal aku. Tidak mengenal Sadiroen Yudha Kuntjoro! Apa mereka belum tahu bahwa aku pernah mimpin pasukan, pernah perang, keyang makan asam garamnya seorang pemimpin. Di belakang namaku, tertulis Yudha Kuntjoro. Yudha bermakna perang, kuntjara berarti bersinar. Itu maknanya, Sadiroen ini selalu bersinar, selalu menang dalam setiap pertempuran!” teriak mayor jenderal itu sambil melompat dari kursi dan mengacung-acungkan tongkatnya.
“Bu…bu..bukan..mak…maksud saya merendahkan Bapak”, kata Susetyo ketakutan.
“Lalu, apa maksudmu?” jawab Sadiroen Yudha Kuntjoro dengan menahan marah.
“Mak…maksud saya, Bapak harus menciptakan mitos. Mitos bahwa Bapak adalah pemimpin yang hebat. Ksatria yang tangguh. Adil dan bijaksana”, lanjut Susetyo dengan penuh hati-hati.
“Lalu bagaimana caranya?” suara Triadji Sunarwibowo dan Usman Winoto nyaris bersamaan.
Semuanya terdiam. Tak ada yang berani mengeluarkan suara.
“Aku tahu,” teriak Bagas Semedhi memecah keheningan. Kemudian lanjutnya dengan bersemangat, ”Kita harus buat monumen untuk Bapak. Ya, kita buat patung Bapak dengan gagah di pusat kota. Dan semua orang akan berdecak kagum. Lalu di setiap kepala orang akan muncul citra Bapak, pemimpin dan prajurit tulen, adil dan bijaksana. Tidak hanya saat ini, tetapi untuk seterusnya semua orang akan selalu terbayang citra Bapak”.
Semua orang bertepuk tangan. Memberi applaus yang meriah untuk usul yang cemerlang dari Bagas Semedhi itu. Kemudian semuanya sibuk melontarkan usul bagaimana wujud patung itu nanti. Setelah terjadi perdebatan panjang. Setelah membongkar setumpuk album-album foto lama. Maka, terpilihlah sebuah foto untuk nanti diwujudkan sebagai bentuk patung : Sadiroen Yudha Kuntjoro mengenakan baju seragam mayor jenderalnya, lengkap dengan segala tanda jasa di bahu dan dadanya, pedang dan tongkat komando.
***
Minggu yang cerah. Seluruh warga kota, bahkan dari desa-desa, dusun, dan kampung berduyun-duyun menuju alun-alun untuk menyaksikan sebuah peristiwa bersejarah. Sudah hadir seluruh Anggota Dewan Masyarakat, Muspida, Walikota, para Bupati, para pengusaha, alim ulama, dan seluruh tokoh masyarakat. Pada hari itu gubernur Mayor Jenderal Purnawirawan Sadiroen Yudha Kuntjoro mengakhiri masa jabatannya namun Beliau masih akan mencalonkan diri kembali untuk jabatan gubernur periode empat tahun ke depan. Sebagai ucapan terima kasih kepada seluruh masyarakat atas segala dukungannya selama ini maka Mayor Jenderal Purnawirawan Sadiroen Yudha Kuntjoro akan memberikan sebuah kenang-kenangan.
“Bapak-bapak Dewan Masyarakat yang terhormat. Para Bupati, undangan, dan seluruh anggota masyarakat yang saya cintai. Pada hari ini, dari dasar hati yang paling dalam. Dari ketulusan dan cinta yang paling dasar, saya persembahkan buat kota ini, sesuatu yang mengingatkan kita tentang hakekat kepemimpinan. Dalam kitab Ramayana ada sebuah adegan bagaimana Rama menasehati adiknya Barata tentang laku kepemimpinan, bagaimana menjadi pemimpin yang baik, yang disebut Hasta Brata atau delapan citra kepemimpinan,” Mayor Jenderal Sadiroen Yudha Kuntjoro berhenti sejenak, mengusap keringat di pipinya, memandang sekelilinya. Setelah mengambil nafas dilanjutkannya pidatonya,” Hadirin, para undangan yang berbahagia, kedelapan citra kepemimpinan itu, Hasta Brata itu, akan saya persembahkan dalam satu wujud. Wujud nyata, yang menggambarkan citra pemimpin yang kita rindukan!”
Tepuk tangan berderai dari seluruh yang hadir. Mereka menanti dengan berdebar-debar bagaimanakah wujud pemimpin yang ber-hasta brata tersebut.
Dengan langkah pasti, Sang Mayor Jenderal Purnawirawan Sadiroen Yudha Kuntjoro berjalan ke depan sebuah benda yang ditutup dengan kelambu warna keemasan. Dipegangnya ujung kelambu sambil berkata gagah, ”Saudara-saudaraku inilah wujud nyata dari kepemimpinan yang ber-hasta brata. Pemimpin inilah yang kita rindukan, yang kita tunggu-tunggu. Ratu adil yang kita nantikan, yang akan membawa kita pada peradaban yang lebih baik…!”
Diiringi dengan bunyi sirine dan genderang yang dibunyikan oleh korps musik, dan disambut dengan tepuk-tangan yang makin meriah, Mayor Jenderal Purnawirawan Sadiroen Yudha Koentjoro dengan cepat menarik kelambu warna emas itu.
Kelambu terbuka. Tiba-tiba sorak-sorai berhenti. Semua orang ternganga. Tampak sebuah patung, sosok gagah mengenakan seragam militer lengkap dengan tanda jasa di bahu dan dada, dengan pedang dan tongkat komando, namun tak bermuka. Ya, patung itu bermuka datar tak memiliki mata, hidung, mulut, bahkan tak bertelinga!
Bruukkk! Tubuh tambun Sadiroen Yuda Kuntjoro ambruk menimpa patung itu.*****