puisi 

Puisi-puisi Setia Naka Andrian

Setia Naka Andrian, Lahir dan tinggal di Kendal sejak 4 Februari 1989. Pengajar di Universitas PGRI Semarang. Menerbitkan buku puisi, Perayaan Laut (April, 2016), Manusia Alarm (Agustus, 2017), Orang-Orang Kalang (Agustus, 2017). Meraih Penghargaan Acarya Sastra 2017 dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Meraih Anugerah Sastra Litera 2018 sebagai Penulis Puisi Unggulan.

 

Kami Diajak Bertapa

 

Kami yang telah diajak bertapa

Bersama mereka, anak-anak

yang kerap girang sebelum petang

dititipkan kepada siapa-siapa

 

Kami yang telah diajak bertapa

Bersama mereka, ibu-ibu

pencuci piring di bawah pohon-pohon

yang gagal kekal

Sebelum segalanya tak tahu

akan ditumpahkan ke mana

 

Kami yang telah diajak bertapa

Bersamamu, Tuan

Kami rela menjadi rupa atau ketiadaan

Bahkan, kami telah mengirim kepadamu

Satu meter tanda tanya

di bawah kening-kening

yang tak sempat pecah itu

Meski kerap dibanting habis-habisan

di bawah hujan dan terik dadamu

yang kian tak lapang

 

Kau tahu, Tuan,

Bahwa dalam segenap kegagalan

dan segala degub yang kerap memilih hilang

Kami berupaya mengirim ke hadiratmu

Bersama para pemanjat pilu

Yang kian bersetia

dengan paras wajahmu

dan sisa hujan yang tanggal

dengan malu-malu

 

Demi keangkuhanmu, Tuan

Telah kami hancurkan

diri kami sendiri

Atas nama keriuhan dan kepenatan

Kami rela menggagalkan waktu

Yang kian bergerak mengelabui

cara buruk bunuh diri sendiri

 

Demi keangkuhanmu, Tuan

Yang tak pernah rela disiplin

Mengukur jejak-jejak kehilangan

Saat kami diburu benda-benda gagal

Yang kerap malih wujud

di balik kegagapan

 

Hingga di tengadah jalan

yang tak lagi lengang

Kami bersamamu, Tuan

Menghitung mundur jejak-jejak

yang berlalu

Selepas itu, betapa hari-hari kami

Seakan kian disembunyikan

dalam diri lain

yang tak sempat kita temukan

sebelum atau sesudahnya

 

Kami seakan tak pernah

mencari mata-matamu

yang urung bertekuk-tubuh itu

Bahkan guyur hujan ini, Tuan

Kali pertama segalamu tanggal

dari diri kami sendiri

 

Namun kami yakin, Tuan

Tuhan telah melepas kami di sini

Diminta mengembara dalam bara

Merencanakan dalam titik-titik tak berupa

yang mengumpamakan jejak dan doa-doa

 

Dan di ruang ini, Tuan

Kami seakan diciptakan kembali

Di antara kerangka masa depan

yang terbelah-belah

 

Kami diajak menumbuhkan kembali

Apa yang bermula dan apa yang bermuara

Bahkan, kami hendak diajak menyuarakan lagi

Bagaimana kepulangan

yang tumbuh di luar alam pikiran

 

Lalu selepas ini, akan kau kirim

ke mana lagi kami, Tuan

Jutaan jam yang lalu,

kami telah kau ajak

untuk menyeberangi sungai-sungai tanpa perahu

Kami juga kerap kali kau paksa

untuk mengarungi laut-laut

yang tak lagi biru

 

Dan kami semakin gagal, Tuan

Bahwa kamilah kabar

yang kau kirimkan kala itu

Saat segalanya tak sempat menanami dirinya

dengan segenap rindu

Kamilah misteri yang kau ajarkan

turun-temurun ke hadirat anak-cucu

Mitos dan mimpi buruk

yang telah kau ramu tanpa pintu

 

Kamilah kerja yang kau ciptakan

dari tubuh-tubuh renta

Riwayat kehilangan

yang terus menggerakkan

segala yang kerap bermula

dan tak pernah berakhir di mana-mana

 

Dan suatu saat nanti, Tuan

Ketika malam telah begitu berbinar

Memikirkanmu lagi adalah cara lain

Untuk berpandai memilih kekalahan

Segalanya melimpah ruah

Di balik nada dari mulut-mulutmu yang pecah

 

Kendal, Februari 2018

 

 

Maka Hijrahlah Kami

 

Jika benar, kau tak dikirim

Dari banyak warna dalam kitab suci

Maka hijrahlah kami

Menyusuri pagi-pagi

Yang tak sempat ditiduri

tubuhmu sendiri

 

Jika benar, kau tak dikirim

Dari banyak warna dalam kitab suci

Maka hijrahlah kami

Dari segala yang tak menemukan

suara yang kau janjikan

Hingga kami menemukan

Patahan-patahan luka

Yang dalam-dalam

 

Jika benar, kau tak dikirim

Dari banyak warna dalam kitab suci

Maka hijrahlah kami

Meninggalkan rupa wangi

Meninggikan arah telunjuk jari

 

Jika benar, kau tak dikirim

Dari banyak warna dalam kitab suci

Maka hijrahlah kami

Menyusupi liang-liang kecil

Yang tiada pernah kami temukan lagi

 

Jika benar, kau tak dikirim

Dari banyak warna dalam kitab suci

Maka bolehlah kami sebut diri

yang gagal ini

Diri yang angkuh,

Yang kerap mandi selepas

Hangus dalam bara apimu

 

Jika benar, kau tak dikirim

Dari banyak warna dalam kitab suci

Bolehkah kami bersimpuh

Di antara hutan-hutan

Yang tak lagi dikepung nama-namamu?

 

Kendal, Februari 2018

 

 

Lahir dari Rindu

 

lahirlah kami dari rindu

dan batu-batu

ketika segala hal

telah menjadi

selain dirimu

 

lahirlah kami dari rindu

dari segala napas

dan segenap kata

yang diucapkan

selain dari mulutmu

 

lahirlah kami dari rindu

dari duka, yang lupa

dikirimkan penyair,

para pemahat debu itu

yang kerap ragu

menciptakan dirinya

dari segenggam mimpi

yang lucu-lucu

 

lahirlah kami dari rindu

dari peperangan yang maha benar

yang memilih pergi,

mencari tahu

di mana kadar iman

di mana kepulangan panjang

 

Kendal, November 2017

 

 

 

 

Related posts

Leave a Comment

20 − seven =