Senyum Arkadewi
Astrid Ayu Septaviani, penulis lepas asal Surabaya. Rajin menulis artikel dan cerpen bertemakan perempuan. Berbagai karyanya pernah dimuat di beberapa media cetak dan online. Salah satu cerpennya masuk nominasi untuk anugerah sastra Litera 2018 dan dibukukan dalam suatu antologi berjudul Monolog di Penjara.
Cahaya matahari masih terasa menyilaukan, padahal hari telah beranjak sore. Seperti matahari, dia, perempuan yang duduk di depanku ini pun memiliki semangat yang sama. Senyumnya masih mengembang, setelah berbagai peristiwa kurang menyenangkan menyerangnya bertubi-tubi.
“Kamu belum makan dari pagi,” kataku mencoba mengalihkan perhatiannya dari gadget yang digenggamnya sedari tadi. Aku tahu benar, hidupnya hari ini sangat bergantung pada benda pintar itu, tapi aku juga tahu benar dia belum menyentuh makanan apapun.
“Sebentar lagi,” katanya. Seiris senyum mengembang sekilas.
“Bagaimana bisa kamu mengadiahkanku senyum semanis itu, setelah berbagai kejadian hari ini?”
“Kamu mau aku bagaimana, Asta?” dia buru-buru memasukkan ponselnya ke dalam tas. “Aku harus ke rumah sakit, tolong jemput Bima satu jam lagi,” katanya kemudian pergi begitu saja. Aku menarik napas dalam-dalam. Hatiku pilu, tapi aku yakin, hatinya berpuluh kali lipat lebih pilu.
***
“Tante, ibu tidur,” katanya dengan suara lirih. Jari telunjuk dan bibir mungilnya saling berciuman.
“Bima jangan ganggu adik dan ibu ya? Tante mau beli minum untuk Bima, oke?” pesanku dengan suara yang tak kalah lirih. Bima mengangguk dengan senyum yang hangat, sehangat senyum Arka, ibunya.
Kutuntun Bima untuk duduk di Sofa. Sekilas kulihat, beberapa luka menggores lengan dan dagu Srikandi. Gadis kecil itu pasti kesakitan. Arka yang terlelap, terlihat sangat lelah.
Aku dan dokter nyaris bertabrakan saat sama-sama membuka pintu, “Maaf bu Arka, saya tidak melihat,” ucapnya sopan. Buru-buru kudorong tubuhnya ke luar.
“Saya Astadewi, saudara kembar Arkadewi,” aku memperkenalkan diri tanpa menyodorkan tangan.
“Oh, maaf, Anda berdua sangat mirip.”
“Bagaimana keadaan keponakan saya, dok?”
Dokter muda yang lumayan tampan ini, kemudian mempersilakanku duduk di sofa depan kamar inap Srikandi.
“Operasinya berjalan lancar. Ha…”
“Operasi?” potongku.
“Anda tidak tahu?” wajah dokter tampak heran. Aku menggeleng cepat.
“Tulang jari telunjuk kaki Srikandi patah, jadi kami melakukan operasi untuk memasang pen. Kami juga menjahit lengan kiri Srikandi yang sobek dengan delapan jahitan,” aku lemas mendengar penjelasan dokter muda ini, “Anda tak perlu khawatir. Srikandi butuh waktu sekitar tiga minggu untuk pemulihan. Seharusnya sekarang dia sudah sadar,” lanjutnya.
Tak terasa air mataku menetes, sesaat setelah dokter yang kuintip nametag-nya itu bernama Handoko, masuk ke ruang inap Srikandi.
Krrrriiinnnnggg….
“Halo bu…”
“Asta, bagaimana keadaan Srikandi?” Seharian ibu telepon Arka, nggak diangkat. Kamu sudah di rumah sakit?” suara ibu bergetar, pastilah perempuan yang melahirkan kami ini menangis seharian.
“Srikandi masih tidur bu, semuanya baik-baik saja. Ponsel Arka mungkin lowbatt. Dia juga tidur. Aku sudah di rumah sakit bersama Bima,” jawabku mencoba menenangkan ibu.
“Apa lukanya parah? Kakak iparmu di mana?” kali ini nada bicara ibu terdengar khawatir bercampur geregetan.
“Ndak parah bu, cuma lecet-lecet,” sekali lagi, aku tak ingin membuat ibu khawatir, “Aku seharian belum melihat mas Bagas. Sepertinya Arka belum memberitahu kecelakaan Srikandi.”
“Kakakmu itu…” tangis ibu pun pecah.
“Sudahlah bu, Arka juga baik-baik aja kok. Seharian ini, dia masih bisa tersenyum.”
Tak ada lagi kata-kata yang keluar dari bibir ibu, selain suara tangis yang tersedu-sedu. Hancur hati ini mendengarnya. Pasti ibu ingin sekali berada di sini, menemani anak dan cucunya. Sayang, jarak ribuan kilometer memisahkan kami.
“Bu Asta, keponakan Anda sudah sadar,” kata dokter saat menutup pintu kamar. Aku mengangguk dan menutup teleponku. Dokter tampan itu berlalu secepat kilat, menembus pintu di kamar sebelah.
Kubuka perlahan pintu kamar. Terdengar suara Bima yang ceria. Keceriaan anak kecil memang kadang tak bisa digoyahkan dengan ujian demi ujian kehidupan. Atau, karena ibunya lah yang mengajarkannya untuk selalu ceria, apapun keadaannya.
“Tantee!! Tante!!” seru Bima.
“Sssstttt… adik kan baru bangun.”
“Nggak apa-apa, Asta. Biar adiknya semangat kayak kakaknya” ujar Arka.
“Ibu beberapa kali meneleponmu, mbak.”
Arka kembali tercenung. Matanya menerawang.
“Tenang, aku tadi bilang ke ibu kalau Srikandi cuma lecet-lecet,” kataku mengusap-usap bahunya.
“Ibu pasti marah kalau sudah sampai sini,” katanya kemudian mencubit pinggangku.
“Ya kalau ibu datang, aku sembunyi,” Srikandi tertawa mendengarnya.
“Mbak sudah menelepon mas Bagas?” Tanyaku berbisik. Arka menggeleng. Dia menarik lenganku ke luar kamar.
“Kamu tahu sendiri, dia nggak datang ke sidang hari ini.”
“Tapi bukan berarti dia nggak akan datang ke rumah sakit kalau anaknya kecelakaan, kan?” ucapku emosi.
“Sudah kutelepon, yang angkat perempuan itu. Aku malas menelepon lagi. Mungkin kamu mau mengabarinya untukku, Asta,” Arka melangkah ke kamar. Kini, giliranku menarik lengannya, “lalu bagaimana dengan SP-mu?” tanyaku tiba-tiba. Aku tahu ini bukan saat yang tepat untuk menanyakannya.
“Mau bagaimana lagi? Akan kuurus besok. Toh, baru SP pertama,” Arka duduk lemas, matanya kembali menerawang, menyaksikan jiwanya yang berkelana ke berbagai tempat. Ke rumah, ke kantor, dan mungkin ke tempat di mana calon mantan suaminya berada.
Aku mengusap-usap lengannya. Bibirku terkunci rapat. Otakku buntu, tak bisa menciptakan satu dua kalimat untuk menenangkan kekalutan hati saudara kembarku.
“Aku lelah dengan persidangan ini, dik,” air matanya tiba-tiba meluncur cepat menyusuri pipinya yang cekung. Aku memeluknya erat. “Persidangan ini hanya menimbulkan masalah. Uang yang menipis untuk Pengacara, HRD yang mulai kehabisan empati dan memberikan surat peringatan, Bagas yang sulit ditebak akan datang atau tidak di persidangan, teror dari perempuan itu, sampai Srikandi yang kecelakaan gara-gara antar jemputnya libur dan terpaksa naik ojek,” tangisnya pecah. Arka mengerang kesal. Air matanya membasahi tanganku, begitu deras seperti badai hujan.
“Kita saudara kembar, mbak. Apa yang kamu rasakan juga aku rasakan. Maafkan adikmu yang tak bisa berbuat banyak,” kataku terbata-bata.
“It’s okay,” Arka segera melepaskan pelukanku dan menghapus air matanya. Begitulah Arka. Perempuan ini tak pernah membiarkan dirinya larut dalam kesedihan, sebesar apapun luka yang menyertainya.
“Maaf ya, kamu jadi nggak ngantor hari ini,” katanya kemudian.
“Nggak apa-apa, mbak… Boleh aku tanya?” Arka mengangguk.
“Bagaimana caranya tetap tersenyum seperti ini, padahal hatimu jauh lebih hancur dari kertas yang terendam air?”
“Kalau kamu sudah punya anak, kamu akan mengerti betapa berartinya senyum mereka, dik. Aku nggak bisa egois dengan masalahku sendiri. Tuhan menitipkan dua anak periang dalam hidupku. Aku nggak mau menciderai ciptaan Tuhan dengan keegoisanku. Aku juga ingin menjadi contoh untuk anak-anakku, agar mereka menjadi manusia yang kuat dan tegar seperti nama yang kuberikan pada mereka.”
Senyumnya kembali melengkung. Wajah mungil yang sayu terlihat begitu ayu. Ia beranjak dari kursinya dan masuk ke dalam kamar. Ia tak sabar untuk berbagi hidup dalam setiap detik yang berlalu, bersama dua buah hatinya. Mereka bertiga bagaikan sebuah paket makanan cepat saji yang tak bisa kau pilih atau kau pisahkan. Mereka bertiga hadir sebagai sebuah paket yang utuh, ditambah bonus seiris senyum yang manis.