Agenda 

Dua Kisah Penghuni Sebuah Rumah

Luhur Satya Pambudi lahir di Jakarta dan tinggal di Yogyakarta. Sejumlah cerpennya pernah dimuat di sejumlah media massa, baik cetak maupun daring. Kumpulan cerpen perdananya berjudul Perempuan yang Wajahnya Mirip Aku (Pustaka Puitika).

 

KISAH PERTAMA

Rumah tersebut semula dihuni oleh sepasang suami istri dengan satu bocah yang merupakan anak angkat mereka. Sesudah menjalani mahligai rumah tangga selama tujuh belas tahun tanpa dikaruniai keturunan, Mada dan Susan -yang berusia empat puluhan- memutuskan mengangkat seorang bayi sebagai anak mereka dari sebuah panti asuhan. Lantaran mereka berdua sibuk di kantor menjalani lima hari kerja, maka disewalah pembantu rumah tangga sekaligus pengasuh bagi sang anak yang diberi nama Devo.

“Ma, ingatlah bahwa sekarang kita punya Devo. Jangan lupa menemaninya setiap di rumah, ” ujar Mada.

”Iya, Mama janji sebelum dan sesudah kerja pasti ada di dekat Devo. Papa juga mesti kasih perhatian padanya,” sahut Susan.

”Tenang saja, Papa pasti selalu bersamanya di luar jam kerja.”

Sebentuk sukacita baru tercipta dalam keluarga tersebut. Mereka jadi lebih kerap bepergian demi menyenangkan hati si anak semata wayang. Namun, rupanya Mada sebagai ayah lebih betah mengisi waktunya dengan si bocah. Susan hanya sesekali menikmati kebersamaannya dengan Devo. Ia seperti sengaja menjaga jarak. Memang sesungguhnya sejak dahulu ia tak terlampau suka dengan anak kecil. Biarpun demikian, ia tetap berharap suatu ketika bisa memiliki momongan sendiri. Susan akhirnya tahu diri dan memilih pasrah mengingat usianya mendekati kepala lima. Toh, sudah ada Devo yang kini menjadi permata hatinya.

 

***

Devo tumbuh menjadi anak yang manis dan lucu. Namun, sebagaimana layaknya bocah kecil yang banyak maunya, demikian pula dengan anak tersebut. Sementara sang ayah senantiasa senang hati menanggapi sejuta hasrat anaknya, sang ibu justru kerap lepas kendali menghadapi polahnya. Susan kerap berteriak-teriak memarahi bocah yang masih balita itu. Mada selalu mengingatkan istrinya agar lebih sabar, tapi justru dia yang dicaci maki Susan pula.

“Ma, mestinya kita tambah sayang pada Devo. Tolonglah, jaga ucapan dan tindakanmu,” kata Mada.

“Huh, Papa ini kok sabar sekali, sih? Kalau memang anak kita yang nakal, masa mama tidak boleh marah?” jawab Susan dengan nada tinggi. Mada hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat sikap istrinya. Ia mesti menjadi lelaki yang sangat lapang dada demi menjaga keutuhan keluarga.

Sebuah gempa tektonik dengan magnitudo yang cukup besar melanda kota pada sebuah Sabtu. Rumah yang dihuni Mada dan keluarganya mengalami kerusakan cukup parah. Beruntunglah mereka semua karena sempat berlarian menyelamatkan diri ketika beberapa bagian dari rumah tersebut runtuh. Mada memutuskan mengungsikan istri dan anaknya ke rumah mertuanya yang kebetulan terhindar dari bencana, kendati masih berada di kota yang sama. Gempa susulan masih terjadi dalam ukuran yang lebih kecil hingga sekian pekan kemudian. Sebulan berselang, barulah Mada bisa memulai perbaikan tempat tinggalnya. Perlu waktu sekitar tiga bulan untuk melakukan renovasi menyeluruh. Sesudah itu, barulah keluarga Mada dapat kembali mendiami rumah tersebut.

Empat tahun sudah usia Devo. Sikap Susan terhadap anaknya ternyata masih belum jua berubah. Anak kecil itu tampak tertekan saban kali dimarahi ibunya, yang terkadang bahkan disertai pukulan. Lambat laun Devo mengalami kengerian tersendiri jika berdekatan dengan Susan. Beruntunglah, masih ada ayahnya yang bersikap lembut melindunginya. Selain itu, pengasuh Devo telah berulang kali berganti. Mereka yang dipercaya menjaga si bocah biasanya tidak tahan menghadapi Susan yang kurang ramah dan lebih kerap marah.

Suatu ketika Susan mengeluhkan dadanya yang sakit pada suaminya. Mada pun membawa istrinya ke dokter. Ternyata hasil diagnosis dokter menunjukkan bahwa Susan mengalami gangguan jantung. Dengan pengobatan yang intensif, sakit yang dideritanya diharapkan berangsur sembuh. Namun, takdir Ilahi tidak berkata demikian. Kondisi tubuh Susan malah cenderung melemah, sehingga Mada pun berencana memboyongnya ke rumah sakit. Devo tertegun melihat apa yang terjadi. Ia mendekati ayahnya yang sudah bersiap pergi membawa ibunya.

“Papa, kenapa Mama mesti dibawa pergi?” tanya Devo.

“Mamamu sakit keras, Nak. Ia mesti dirawat di rumah sakit supaya lekas sembuh. Kau mau kan, doakan mamamu?” sahut Mada sembari mengelus-elus kepala anaknya. Devo mengangguk pelan. Entah apa yang berkecamuk di benak dan sanubari sang bocah.

Sesudah dirawat selama dua pekan, penyakit yang diderita Susan justru kian parah dan akhirnya ia padam nyawa pada usia empat puluh sembilan. Mada berusaha mengikhlaskan kepergian istrinya. Kendati ia sesekali terbebani menghadapi kekerasan hati pasangan hidupnya, bagaimanapun Susan adalah perempuan kecintaan Mada sepanjang hayatnya. Tetaplah sedih ditinggal pergi selamanya sang kekasih. Namun, rada terhibur hati Mada lantaran masih ada Devo yang akan menemani hari-hari berikutnya.

Sehabis istrinya tiada, Mada bergegas menjual rumah yang telah belasan tahun ditinggalinya. Terlalu banyak kenangan bersemayam di rumah tersebut dan tak ingin ia terjebak bersamanya. Mada pun hijrah dari tempat itu bersama Devo yang berusia hampir lima tahun. Pembeli rumah tersebut adalah seorang warga negara asing, tapi diatasnamakan orang Indonesia yang sangat dipercayainya.

 

KISAH KEDUA

Memiliki rumah baru, layaklah jika segalanya mesti berbeda. Maka rumah yang belum ada setahun diperbaiki sehabis gempa itu pun dirombak lagi habis-habisan sesuai selera sang pemilik anyar. Perubahan pun kemudian terjadi bulan demi bulan berjalan. Namun, ketika setahun lebih sudah berlalu, renovasi barulah selesai. Pemilik anyar pun mulai mendiami rumahnya. Pada saat rumah tersebut belum ditinggali, proses pembangunan yang tidak sebentar sempat mengusik ketenteraman tetangga sekitar. Ketika akhirnya usai, bentuk rumah ternyata jadi tak nikmat dilihat. Bayangkan saja, bagian depan rumah itu didominasi oleh sembilan jendela sebesar pintu dan satu jendela yang bentuknya berbeda di samping pintu yang tingginya tak sejajar pula.

Seorang lelaki tua berkulit putih dan dua lelaki muda berdarah Indonesia -entah siapanya- tinggal di rumah itu. Dua pemuda tersebut biasanya hanya bertelanjang dada dan bercelana pendek kala berada di rumah, termasuk ketika keluar menemui ibu tukang sayur maupun bapak tukang rujak. Berkali sudah mereka mendapat undangan pertemuan warga dan belum pernah sekali pun mau datang. Bahkan ketika tempo hari Ketua RT mengantar undangan sekaligus ingin menyapa warga barunya, malah suara anjingnya belaka yang menyambutnya. Selain itu, barangkali begitu banyak harta berharga yang tersimpan di dalam rumah. Tampaknya mereka begitu takut jika ada yang akan bertamu tanpa diundang. Maka mereka pun memasang pagar kokoh dengan jeruji besi yang tinggi dan rapat. Hal itu membuat rumah tersebut dilihat dari depan bagaikan penjara belaka.

 

 

 

Related posts

Leave a Comment

ten + 14 =