Puisi-puisi Eddy Pranata PNP
Eddy Pranata PNP, lahir di Padang Panjang 31 Agustus 1963, adalah Nomine Penghargaan Sastra Litera 2017 dan 2018. Sejak tahun 2004 lalu mengelola Jaspinka (Jaringan Sastra Pinggir Kali) Cirebah, Banyumas Barat, Indonesia. Buku kumpulan puisi tunggalnya: Improvisasi Sunyi (1997), Sajak-sajak Perih Berhamburan di Udara (2012), Bila Jasadku Kaumasukkan ke Liang Kubur (2015), Ombak Menjilat Runcing Karang (2016), Abadi dalam Puisi (2017).
Kesetiaan Lelaki Laut
Dan ombak mengalun menghempas di tebing-tebing karang
di selat Nusakambangan lelaki laut itu menebarkan rasa kasihnya
pada sampan tua yang mulai keropos, pendayungnya berkilat keringat
: matahari merentangkan tangannya ke seluruh selat
“cinta ini telah retak, tetapi laut selalu menjerat
kerinduan dan kesetiaan pada garis nasib
hidup serupa gelombang yang menghempas karang
memecah alir darah dalam tubuh yang asin kelat
lelaki laut itu menambatkan sampan tuanya
ke bongkah karang yang meruncing
ia menyelam ke dalam geronggang karang
beberapa saat kemudian menyembul dengan lobster hijau di tangan
: hidup adalah pertarungan tiada akhir hingga ajal!
lelaki laut itu kembali menyelam ke dalam geronggang karang
menyembul lagi dengan kakap merah di tangan
: nasib bukan kepedihan yang harus diratapi
mari kita kunyah matahari setiap gelombang memecah
setiap nadi kita berdetak
lelaki laut itu menebarkan rasa kasihnya
pada sampan tua yang mulai keropos
dan hatinya menyala-nyala serupa api, o serupa api!
senja mematangkan rasa cinta pada laut
pada deburnya pada karang dan pasirnya
pada segala ketulusan dan kesetiaan.
Jaspinka 2018
Lelaki yang Selalu Memburu Kunang-kunang
Ia lelaki itu– selalu memburu kunang-kunang
setelah hujan reda tengah malam, berjalan menyusuri
jalan kampung yang masih basah dan sangat senyap
dilupakannya persoalan hidup yang menghimpit dan membelit
ia tenggak embun yang berjatuhan dari pucuk-pucuk daun
di kejauhan sana, di atas hamparan sawah, dilihatnya kerlip
kunang-kunang. satu, dua, tiga, o, puluhan kerlip kunang-kunang
langkahnya dipercepat. ia lewati pematang dengan dada berdebar
puluhan kunang-kunang itu terbang ke atas lembah
ia terus mengejarnya. dari dalam dadanya bergejolak perasaan aneh,
semacam rasa cinta dan rindu. o!
kunang-kunang itu lalu terbang ke bukit
di rimbun edelweis kunang-kunang itu berhenti, berputar-putar
lalu hinggap, tapi terus bergerak-gerak
ia begitu terpukau, kunang-kunang itu menjelma kata-kata
menjelma sebuah puisi surealis!
ia tetes juga air matanya
tangannya gemetaran menyentuh kunang-kunang itu.
Jaspinka, 2018
Segalanya Telah Menjadi Asing
Di stasiun, gemuruh sunyi dan perih
tak ada lagi wajah yang harus dikenang
tangan hatiku hanya memeluk tubuhMu
seraya terus berzikir, ya Quddus!
meja di hadapanku sudah kosong
dingin kafe mengalirkan rindu
pada kehangatan yang abadi
di luar jendela, stasiun masih riuh
tugu Monas tegak kaku
sesaat lagi aku berangkat
meninggalkan perih-sunyi Jakarta
yang tidak lagi bergetar-getar
aku berangkat menemui yang terkasih
yang jauh, di lepas laut
segalanya telah menjadi asing
telah membuat senyap hati dan jiwaku
luruh dalam elusanMu.
Jaspinka, Juli 2018
Lilin yang Menyala
Entah sejak kapan dan entah bermula karena apa
tanpa kita sadari engkau dan aku telah menjelma
lilin yang menyala sepanjang malam-malam
yang perih dan senyap
tak pernah ada yang mempersoalkan lelehmu
ke sekujur tubuhku, lelehku ke sekujur tubuhmu
aku dan engkau lebur di piring kaca yang sama
aku dan engkau menyala di malam-malam yang luka
nyala kita sangat sederhana dalam ruang kecil
hanya temaram yang perih dan senyap
tetapi siangnya kita adalah matahari
yang selalu mengalirkan keringat dari setiap gerak
yang selalu membangun cita-cita
kita serupa tidak peduli pada masing-masing
tubuh yang lebur dan meleleh.
Jaspinka, 2018