Puisi-puisi Yuditeha
Yuditeha, Selain dikenal sebagai cerpenis juga seniman yang senang menggubah puisi dalam nyanyian atau yang kita kenal sebagai musikalisasi puisi. Karyanya telah banyak menghiasi media massa baik cetak atau daring. Buku Puisinya Hujan Menembus Kaca (Kekata, 2017), dan Air Mata Mata Hati (Kekata, 2017). Aktif di Sastra Alit Surakarta, dan Pendiri Kamar Kata Karanganyar.
Surat Undangan Perkawinan yang Telah Kuterima Tujuh Bulan Sebelumnya
: mutsyama
Lama sekali kau akan berada dalam pingitan.
Matamu yang berbinar akan menemui tantangan.
Debu yang nakal akan mencarimu, berpesta-pora menggodamu.
Menguji seberapa kau kukuh pada pilihan yang belum menjadi milikmu.
“Aku memang tak pernah memilikinya. Aku hanya meminjam ia kepada kehidupan,” katamu.
Kau menganut kesempurnaan tak mungkin teraih, tapi kau juga meyakini sedikit kebahagiaan akan kau miliki dan itu cukup.
Kau mengatakan, aku memang bukan siapa-siapa tapi kau merasa perlu berkabar karena ada sandaran yang tampak samar di sepanjang pertalian dan kau merasa hal itu berarti.
Kau pernah kujadikan tokoh ceritaku.
Tokoh mulia tapi mati.
Kau terbahak, mungkin menyetujui.
Menyetujui kematian memang bukan barang langka.
Kau tidak marah.
Karena kematian kau anggap bukan kriteria sebuah kekalahan.
Kematian adalah keabadian.
Kau mengatakan tak mau menerima kado dariku, karena kado adalah virus ganas yang dapat merusak ketulusan.
Aku ingin datang tidak dengan tangan kosong.
Lantas kau memberiku sebuah tantangan dan kau menganggap tantangan itu vitamin.
Kau memintaku untuk membuat puisi yang dapat diterbitkan di media tertinggi: keikhlasan.
Kita Satu
: layla
Satu titik.
Satu pertalian, yakin satu.
Disuarakan dengan nada termanis dan dapat kudengar melewati batas pulau-pulau.
Aku melihat dalam pikiran, kerudung hijaunya menawarkan keleluasaan.
Di pagi hari, sebelum menguji diri, matahari telah memberinya kesempatan.
Di malam hari ia siap menjadi jembatan penyeberangan karena sebentar lagi radio akan menyiarkan lagu-lagu kerabat illahi.
Di luar sana ada banyak kepura-kepuraan, mengumbar puji sembari menamcapkan belati.
Perang kapan saja bisa terjadi, memenggal napas atas nama kesucian.
Ia hadir sebagai contoh bahwa keyakinan yang dirindukanNya adalah pertalian.
Satu itu saja sebagai bentuk penguasaan diri bahwa manusia saling berkaitan.
Kupotret dirinya dari langit-langit saat raganya berteman hijab coklat.
Warna kesukaan.
Warna kedewasaan.
Warna kelenturan.
Selentur penalarannya yang telah sudi menerimaku sejak di serambi hati.
Topi kuturunkan.
Kepala kutundukkan.
“Ini bukan kemenanganku. Ini kemenangan kita. Kita satu,” katamu.
Maria Batak
: jeli
Di Rengat aku melihat Maria. Dia seorangi ibu muda.
Di tengah malam aku mengeja tanya, “Apakah dia sungguh-sungguh Maria?”
Dari balik awan gereja tergambar transparan di hari Minggu. Misa baru saja usai.
Nyanyian penutup membangunkan kelana melintasi dinding pulau.
Dua anak kecil mengikuti langkahnya, meniti petunjuk batak, jangan pernah coba-coba menjambak rambutnya, sehelai pun.
Ini bukan prasangka buruk, sekedar penanda kalian berada pada area blak-blakan.
Ternyata Maria bisa di mana-mana.
Gereja masih terbuka dan Maria masih berada di sana, di balik pintunya, menanti anaknya kembali dari toilet..
Seorang biarawati melintas di depannya, bertegur sapa. Senyum Maria manis sekali.
Maria menghormatinya meski dia tahu perempuan itu tak pernah mengandung.