Kemarau

Arian Pangestu, aktif di sekolah feminisme. Artikelnya berupa cerpen, esai, dan puisi dimuat di koran Minggu Pagi, Pikiran Rakyat, Padang Ekspres, Bangka Pos, Radar Surabaya, Harian Analisa. Saat ini aktif sebagai mahasiswa Fakultas Sastra di suatu universitas di Tangerang Selatan. Tinggal di Jakarta.

Sepasang elang berputar-putar di langit, seakan-akan sedang mengawasi perbincangan dua lelaki paruh baya yang sedang berteduh di gubuknya. Bermandi cahaya matahari yang panas seperti sedang berendam dengan air mendidih, sesekali kedua lelaki paruh baya itu bergantian menenggak air minum dari tekonya, kemudian memenuhi mulutnya dengan asap rokok.

“Tahun ini sepertinya tidak akan ada penyembelihan kerbau untuk Mbah Manggar.”

“Semua ini karena ulah mahasiswa dari Jakarta itu.”

“Anak-anak muda itu tidak tahu adab. Seharusnya Pak Lurah tidak usah mengizinkan mereka tinggal di sini. Ritual penyembelihan kerbau untuk Mbah Manggar sudah berlangsung sejak zaman Belanda hingga sekarang. Bisa celaka kampung kita kalau tahun ini tidak menyembelih kerbau untuk Mbah Manggar.”

“Benar. Kampung kita bisa celaka. Mbah Manggar akan murka dengan menahan hujan di langit. Sudah berbulan-bulan kampung ini kekeringan. Kalau begini caranya, nanti sore sebelum srengenge padam, kita kumpulkan warga, kita datangi rumah Pak Lurah. Kita paksa Pak Lurah mengusir mahasiswa itu.”

“Setuju. Kalau begitu, sekarang juga kita bergegas.”

***

Kurang lebih satu kilometer dari gubuk, di mana dua lelaki paruh baya itu sedang menyusun rencananya dengan jarak sekolah MI Islamiyah, di mana seorang pemuda sedang mengajar. “Baik anak-anak sebelum pulang seperti biasa teriakkan mantra untuk mengubah dunia,” kata pengajar muda itu. “Aku berpikir maka aku ada,” jawab para siswa serentak seperti mengucapkan kata “Amin”. Setelah itu ia masuk ke ruang guru bergabung dengan yang lainnya sebelum pulang.

“Mas Irfan, sepertinya Anda terlalu dini untuk mengajarkan anak-anak ilmu berpikir,” kata Bu Ani tiba-tiba.

“Filsafat, Bu,” kata Bu Wulan menambahi.

“Saya hanya mengajarkan anak-anak berpikir rasional, Bu. Saya rasa penting mengajarkan kemampuan berpikir logis, koheren, dalam tataran konsep berlogika pada anak-anak. Mereka juga sudah kelas enam. Artinya sudah remaja, artinya sudah bisa berpikir kritis,” balas Irfan.

“Ya, tapi apakah tidak berbahaya?”

“Berbahaya?”

“Karena saya mendengar ada kegaduhan di masyarakat.”

“Maksud Bu Ani?”

“Dari cerita warga yang saya dengar, katanya Mas Irfan juga mengajak warga berdialog, berdiskusi, berpikir dengan metodik filsafat untuk menentang local wisdom ?”

“Saya paham arah pembicaraan Bu Ani.” Jawab Irfan. Guru yang lain hanya menyimak. “Maksud Bu Ani local wisdom perihal penyembelihan kerbau untuk meminta hujan pada Mbah Manggar penunggu Sumur Tangtu di tepi sungai itu? Sebelumnya saya minta maaf. Sebenarnya ada yang lebih fundamen dari logical fallacy, yakni cognitive bias. Suatu keadaan yag memaksa manusia untuk berhenti berpikir karena kuatnya pengaruh teologi, local wisdom, dan mistik. Juga tidak kah Ibu dan Bapak lihat sendiri hutan di kampung ini habis dibabat. Pembalakan liar di mana-mana. Hal itulah yang memperparah keadaan. Maka, baik warga ataupun anak-anak perlu saya terangkan ilmu alam dan filsafat. Tujuannya untuk mencegah kesalahan berpikir, logical fallacy. Sikap kritis harus tumbuh, paling tidak anak-anak berani untuk menginterupsi arogansi. Dan yang saya lakukan tidaklah lebih dari bertanya. Karena filsafat adalah pertanyaan. Dari pertanyaan itulah kita akan mendapatkan jawaban. Dari jawaban itu kita akan memeriksa argumen, logis atau sebaliknya: logical fallacy. Dari pertanyaan itulah kita membuka percakapan: dialektika. Dengan cara seperti itu ilmu pengetahuan tumbuh.” Semua guru di ruangan itu terdiam mendengar penjelasan Irfan.

***

Kurang lebih dua ratus meter jarak dari sekolah tempat Irfan mengajar dengan rumah Pak Lurah, di ruang tamu Virgo sedang asik-masyuk berbincang dengan Pak Lurah dan istrinya. “Nak, Virgo, kalau Bapak perhatikan, sepertinya Irfan berbeda. Cara berpikir Irfan tajam dan kritis. Tentu pikiran itu bagus bagi mahasiswa seperti kalian. Akan tetapi, pikiran itu bisa menjadi berbahaya bagi mereka yang merasa terganggu,” kata Pak Lurah setelah menyeruput kopi hitamnya.

“Benar, Pak Lurah. Cara berpikir Irfan terbentuk karena pergaulannya dengan pemikir sosial dan aktivis. Ia juga seorang feminis laki-laki yang selalu menolak arogansi. Bahkan local wisdom yang tidak sesuai dengan nilai kemajuan, kesetaraan yang nihil keadilan untuk perempuan pun akan diinterupsinya,” jawab Virgo.

“Oh, begitu Nak Virgo, sebab kemarin Irfan membicarakan banyak hal khususnya mengenai ritual penyembelihan kerbau panjang lebar sampai Bapak pusing. Namun, Bapak merasa tercerahkan. Baik Bapak maupun warga sudah buta mata pikirannya, terlalu percaya takhayul.”

“Lebih dari itu, ini bukan hanya tentang metafisika, juga sudah menyangkut doktrin antroposentrisme, Pak Lurah,” sahut Irfan yang tiba-tiba muncul dan langsung bergabung bersama mereka. “Aduh, Nak Irfan mengagetkan saja. Tanpa salam langsung ikut nimbrung,” seloroh istri Pak Lurah.

Tiba-tiba terdengar seruan dari luar. “Pak Lurah, kami warga kampung… meminta ketegasan Pak Lurah untuk mengusir mahasiswa yang menumpang di rumah Pak Lurah.”

“Ada apa itu apa Pak Lurah?” tanya Irfan. Semuanya saling pandang sebelum Pak Lurah ke luar untuk melihat apa yang terjadi di depan rumahnya. “Ada apa ini ramai-ramai kumpul di sini.”

“Kami kumpul di sini meminta supaya Pak Lurah mengusir dua anak muda dari kota itu,” kata seseorang di antara mereka. “Apa salah mereka?” tanya Pak Lurah.

“Mereka sudah meracuni pikiran warga supaya tidak lagi melakukan ritual penyembelihan kerbau untuk Mbah Manggar penjaga kampung kita,” jawab lelaki paruh baya dengan lantang.

“Ingat Pak Lurah, dia bukan nabi yang dikirim dari langit untuk menceramahi kita,” ujar yang lainnya.

“Benar, saya bukan nabi juga bukan iblis yang diutus untuk mengutuk kampung ini,” sahut Irfan yang muncul dari belakang Pak Lurah. “Bila Bapak sekalian tidak menghendaki kedatangan kami, sebelum azan maghrib berkumandang kami bertiga akan pergi.” lanjutnya.

“Tapi Nak Irfan….” kata Pak Lurah sebelum dipotong oleh Irfan. “Tidak apa-apa Pak Lurah. Hal seperti ini sudah sering saya alami. Dan saya memaklumi kehidupan yang suci di kampung ini.”

“Baiklah Bapak sekalian. Tapi sebelum kami bertiga pergi dari sini, izinkan kami memberikan sesuatu untuk warga kampung ini,” kata Irfan dengan tegas.

“Apa itu?”

“Saya ada sedikit rezeki untuk membantu Pak Lurah membeli mesin diesel. Jadi, biaya untuk membeli kerbau kita gunakan untuk membeli mesin diesel. Saya minta pada Bapak sekalian galilah sumur di hutan dan cari sumber air yang masih tersisa. Gunakan mesin diesel itu untuk mengairi sawah-sawah. Karena kekeringan ini bisa jadi efek dari lingkungan alam yang rusak atau bisa juga efek El Nino. Nanti Pak Lurah yang akan menjelaskan semuanya.” Semua terdiam saling lempar pandangan dengan tatapan kosong.

***

“Begitulah Irfan, ia mempunyai pikiran tajam dan ide tak terduga. Dan cerita ini adalah bagian dari idenya yang radikal. Menyamar sebagai mahasiswa yang sedang PKL. Padahal, kami berdua khususnya Irfan sedang menghindari hura-hara politik: rezim orde baru yang totaliter di Jakarta. Irfan adalah mahasiswa yang diawasi oleh aparat. Ia bukan takut dengan lari dan bersembunyi, melainkan sedang mengumpulkan energinya untuk kembali mengkritik rezim orde baru,” kata Virgo dalam hatinya yang diam-diam mengagumi pemikiran Irfan.

“Setelah ini mau ke mana lagi, Fan,” tanya Virgo dalam suatu perjalanan.

“Ke sana,” jawab Irfan sambil menunjuk puncak Gunung Slamet. Virgo hanya tersenyum mendengarnya.

 

 

Related posts

Leave a Comment

five × two =