ARTIKEL 

Baca Puisi Tanpa Memarahi Puisi

MUSTAFA ISMAIL | @MUSISMAIL | Penulis dan pegiat sastra |

Secara guyonan, saya kadang suka iseng nyelutuk saat melihat orang membaca puisi dengan teriakan-teriakan membahana: “Tolong jangan memarahi puisi.” Tentu ucapan spontan itu tak akan terdengar oleh orang yang sedang membaca puisi. Tapi orang-orang di sekeliling saya boleh jadi mendengarnya.

Sebagian pembaca puisi — sebenarnya jumlahya banyak — dengan teriakan-teriakan seperti sedang memaharahi puisi. Apa salah puisi coba? Kasihan puisi dimarah-marahi. Sering teriakan-teriakan itu tidak tepat. Misalnya, puisi yang isinya kontemplatif, tentu tak cocok dibaca seperti sedang meneriakkan yel-yel demontrasi. Puisi romantis pun aneh jika dibacakan dengan melompat-lompat. Apalagi sambil guling-guling.

Soal guling-guling baca puisi, saya punya story sendiri. Dulu saya pernah melakukannya. Kalau diingat-ingat, saya “menyesal” dan malu sendiri. Saya insaf dan menyatakan tobat. Tapi soal ini nanti saja saya ceritakan. Kita fokus dulu ke soal baca puisi teriak-teriak yang seperti menganggap para pendengarnya budeg semua.

Membaca puisi dengan nada tinggi seolah menjadi trend. Tentu saja ini perlu diluruskan. Ada saatnya sebuah puisi dibaca dengan nada lembut, meninggi, dan ada waktunya meninggi sekali. Semua tergantung pada isi puisi jtu sendiri. Tidak bisa disamaratakan.

Puisi-puisi pamtlet Rendra atau Wiji Thukul barangkali cocok jika dibaca dengan menggelegar. Namun puisi-puisi Goenawan Mohammad, Abdul Hadi WM, Sapardi Djoko Damono, dan sebagian puisi Chairil Anwar tak cocok dibaca seperti orang marah-marah. Begitu pula puisi Joko Pinurbo, akan aneh sekali jika dibaca dengan suara seperti meriam.

Sebenarnya — dalam tradisi poetry reading — membaca puisi adalah sebuah upaya mengekspresikan isi puisi itu kepada pendengar atau audien. Ia dibaca, bukan dipertunjukkan. Baca puisi beda dengan pertunjukan puisi. Meskipun di Indonesia kedua hal itu sering dibikin menyatu. Baca puisi ya pertunjukan puisi. Sehingga peformance menjadi faktor nomor dua.

Isi puisi lebih utama untuk disampaikan kepada pembaca. Terpenting bagaimana menghadirkan puisi itu kepada penikmat, pendengar alias audien, dengan penuh penghayatan dan totalitas. Sehingga mereka benar-benar masuk dalam puisi tersebut Untuk itu tidak perlu teriak-teriak, meskipun puisi itu menyampaikan ekspresi kemarahan.

Ekspresi kemarahan penyair terhadap “sesuatu” tak harus diungkapkan dengan suara meninggi, apalagi seperti suara petir yang menyambar-nyambar. Ekspresi marah bisa disampaikan dengan suara yang penuh tekanan dan mendalam. Ini sama halnya dengan dalam keseharian kita: marah tak harus teriak-teriak juga. Ada kemarahan yang disampaikan dengan nada tak tinggi, namun penuh tekanan. Begitu pula dalam pembacaan puisi.

Jadi, sekali lagi, jangan memarahi puisi. [MI]

Related posts

Leave a Comment

twelve − eleven =