Rina
Yulputra Noprizal, lahir di Air Haji, Pesisir Selatan, Sumatera Barat, pada 11 November 1985. Pendidikan dasar hingga lanjutan diselesaikan di Sumbar sebelum melanjutkan perguruan tinggi di Bandung. Penyuka dan penikmat sastra. Cerpennya pernah dimuat di Singgalang, Haluan, Rakyat Sumbar, takanta.id, savanapost.com, nyimpang.com dan apajake.id.
Lewat simpang tiga. Beberapa langkah, aku tiba di pos ronda. Angin sekali-kali kencang. Menimbulkan kesiur di dahan-dahan pohon sawit. Lampu pijar 5 watt saja yang menerangi pos ronda. Setahuku, sejak pos ronda ini didirikan, hanya sekali orang ronda. Pasrah, untuk jadi pondok kosong.
Tak berapa lama aku duduk di pos ronda. Kulihat seorang perempuan bermukena jalan ke arah pos ronda. Kulirik jam di hp. Pukul 20.00. Sudah pulang orang dari musalah, batinku. Semakin dekat. Kupastikan itu Rina. Aku tiarap di lantai pos ronda. Ketika dengar bunyi sandal persis di depan pos ronda, aku segera lompat ke jalan. Segera kupegang kuat pergelangan tangan Rina.
“Lepaskan!”
Aku tertawa.
“Lepaskan, Deka!”
Rina lalu merengek. Bikin aku luluh. Akhirnya, kulepaskan pergelangan tangannya.
“Mengapa malam sendirian di pos ronda. Ada-ada saja kamu Deka.”
Aku menunjukkan jari telunjukku. Dan arahkan tepat di bibirnya.
“Jangan keras-keras. Aku menunggu kamu.”
“Mengapa di sini. Sudah sepi begini. Lewat hp kan bisa.”
“Ini penting. Kabar penting. Menyangkut hubungan kita.”
“Membuat orang terkejut saja,” mata Rina mengerling. “Hubungan kita?”
“Ada apa dengan hubungan kita?” katanya lagi.
Aku kembali ingin pegang pergelangan tangan Rina. Tapi ia mundur beberapa langkah.
“Aku dapat kerja di Padang. Di minimarket. Kita akan menikah,” kataku.
Wajah Rina terlihat kaget.
“Kalau dapat kerjanya aku senang mendengarnya. Tapi kalau kita akan menikah, aku belum siap. Kan kamu tahu sendiri ibuku.”
Ah, ibu lagi. Selalu kata itu yang jadi penghalang. Sekian lama kami pacaran, perempuan yang satu itu memang tak pernah berminat.
“Dengan anak Pakia kau pacaran. Ayahnya saja cuma berladang. Amak-nya berjualan sayur di pasar. Mamak-nya ndak seorang pun ada yang kaya atau di rantau. Apa yang kau harapkan,” pernah kudengar perempuan itu berkata begitu ketika sekali waktu aku datang ke rumah Rina.
Aku dan Rina sama-sama habis kata-kata. Tidak ada orang lewat. Hanya ada kami berdua di tepi jalan. Di depan pos ronda.
***
Rina berwajah oval dengan mata yang kecil. Bibirnya padat berisi. Itulah yang paling kusuka darinya. Umurnya 20 tahun, aku 23.
Sehari sebelum aku berangkat ke Padang, hari yang kumaksud menemuinya, aku dengar kabar dari seorang tetangga. Bahwa Rina sudah berangkat ke Jakarta. Katanya, di sana ia akan kerja di rumah makan padang Tek Ides.
Aku terperanjat dengar kabar itu. Setengah tak percaya.
Keseharian Rina hanya bantu-bantu ibunya bikin lemang. Rina anggap, jika ia terus-menerus bertahan hidup di kampung, nasibnya tak kan berubah. Ia tak mau hanya jadi penjual lemang, sama seperti ibunya nanti.
Ayah Rina lebih sering ongkang-ongkang kaki di rumah daripada pergi ke ladang. Untunglah mamak-nya, kakak laki-laki ibu, ada yang tinggal di Jakarta. Jadi buruh. Mamak itulah yang sering memotivasi Rina.
Aku tak jadi pergi ke kedai, depan musalah, tempat kawan-kawan berkumpul malam itu. Kepergian Rina ke Jakarta bikin aku gelisah. Aku pergi ke rumah Rina. Bertemu ibunya. Ingin kepastian. Kutanyakan. Apakah benar Rina ke Jakarta.
Ibu Rina memperlihatkan muka kurang suka sejak aku masuk rumahnya. Ternyata benar. Perempuan itu bilang, Rina pergi naik travel tadi pagi ke Padang. Berangkat ke Jakarta naik pesawat. Sampai di Jakarta, dijemput mamak-nya ke bandara.
Ibu Rina berwajah sumbringah sembari memperlihatkan sms Rina padaku. Kegembiraan Rina karena sudah menginjakkan sepasang kaki di Ibu Kota untuk pertama kalinya.
***
Di saat jam istirahat kerja di minimarket, Rina selalu datang di pikiranku. Teringat waktu SMA. Sering sebelum pulang, ia sempatkan mampir di toko tempat aku kerja (di pasar). Kami ngobrol sejenak, berbicara polos tentang tetek-bengek dan impian. Saling pandang. Kumasukkan ke dalam kresek sekedar roti atau biskuit untuk cemilan Rina di rumah.
Kepergian Rina ke Jakarta bikin hatiku kosong.
Beberapa kali kuhubungi nomor hp Rina. Tidak aktif. Fesbuk-nya sama saja. Ketika kuminta pada seorang kawannya di kampung, kawannya itu berkata, hanya punya nomor hp Rina yang lama.
Tanpa Rina, aku jadi benar-benar nelangsa. Sering mata tak mau memejam malam hari, dengan bayang Rina terus-menerus di depan mata.
***
Tak terasa sudah enam bulan kepergian Rina ke Jakarta. Selalu kuikuti perkembangan informasi tentangnya.
Dari seorang kawan Rina, aku dapat nomor hp Rina yang baru. Sekaligus nomor WA-nya. Juga, nama fesbuk Rina yang baru, ia kasih tahu.
Segera saja kuhubungi nomor Rina. Kami pun berbicara seperti biasanya, seperti saat kami sering bersama.
Pada ujung pembicaraan, Rina memberi tahuku, ia akan pulang.
***
Rina pulang. Bertepatan dengan waktu liburku kerja.
Aku pun segera pulang ke kampung. Sampai di rumah. Ngobrol sebentar dengan Ibu, aku segera mandi. Kukenakan baju terbagus. Celana terbagus. Telah kubikin janji dengan Rina, kami bertemu di pos ronda.
Sementara dahan-dahan pohon sawit melambai-lambai pelan tertiup angin sore. Berdesir. Nampak buahnya yang menghitam tergantung seperti kumbang hitam yang melekat rapat. Hampir di semua batang. Tanda harus segera dipanen.
Kudapati Rina modis, berbeda dari yang dulu. Tapi ia tak seperti Rina yang di telepon. Tak ramah.
Sudahkah waktu dan merantau mengubah Rina.
Aku pun duduk di pos ronda. Pandangan kami sama-sama menghadap ke jalan.
Aku dengar suka-duka Rina di Jakarta. Hidup di Jakarta, katanya, enak. Orang ramai. Berjualan laku karena orang yang ramai itu. Jelas, batinku, kota megapolitan. Tiap hari orang datang ke sana hampir dari seluruh tanah air. Mengadu nasib.
Ia juga katakan, pulang kampung untuk mengurus surat keterangan pindah ke kantor wali nagari (kepala desa).
Ketika kutanyakan, masihkah hubungan kita seperti dulu. Rina hanya diam. Wajahnya tiba-tiba sendu.
Dua hari di rumah, Rina kembali ke Jakarta.
Setelah pertemuan di pos ronda sore itu. Rina sering tak angkat teleponku. Ketika ia angkat, bicara sekedarnya saja. Tak bersahabat. Terakhir kutelepon, nomornya tak aktif lagi. Kuhubungi lewat messenger, semuanya tak ada jawaban.
***
Sudah seisi kampung tahu kalau Rina menikah. Rina menikah? Aku seperti orang teler terima sms dari seorang kawan. Kulihat fesbuk dan tengok profil Rina, benar sangat. Begitu rela ia hempas aku ke dalam kegelapan tak bertepi. Tidakkah ia ingat waktu yang sering dihabiskan di pos ronda. Menjelang azan Magrib berkumandang. Waktu yang beri untuk bercengkrama. Melepas keluh-kesah. Kupandang bibirnya. Kunikmati senyumnya, dan derai tawanya.
Melankoli.
Hari-hari aku tak konsentrasi kerja. Pikiranku tetap Rina, Rina, dan Rina.
Rina nikah dengan Joni. Empat tahun umurnya di atas Rina. Joni baru enam bulan di Jakarta. Duluan Rina ke Jakarta daripada dia.
Terobsesi dengan mimpi-mimpi sendiri, pergi ke Jakarta untuk membuka usaha konveksi (baju anak-anak) dan pulang Lebaran dengan mobil pribadi; Joni menjual tanah ayahnya seluas 15 m x 40m–satu-satunya pusaka peninggalan ayahnya–untuk modal buka usaha.
Tempat kerja Rina berjualan nasi di Jakarta tak jauh dari rumah kontrakan Joni. Joni pun sering makan di rumah makan tempat Rina kerja. Di sanalah mula tumbuh bunga-bunga cinta. Bunga-bunga cinta itu dipadu pula oleh rasa senasib-sepenanggungan. Karena sama-sama di rantau orang. Lalu, mereka berpacaran.
Bunga-bunga cinta itu pun bermekaran. Entah siapa yang ajak duluan. Mereka sepakat nikah. Kata kawanku, lewat sms, mereka pacaran cuma tiga bulan.
Berhentilah Rina akhirnya kerja di rumah makan. Ia dampingi Joni buka usaha konveksi.
***
Tiga setengah tahun bekerja di minimarket. Aku akhirnya kredit sepeda motor. Hari itu libur kerja tiga hari. Aku putuskan pulang ke Air Haji dengan sepeda motor.
Masuk Air Haji. Senja sudah mulai lindap. Dan udara mulai terasa sejuk. Terlihat lalu-lalang kendaraan di jalan raya. Kulalui dengan memelankan sepeda motorku ketika sempai di batas dusun. Tempuh belok dari jalan raya, kutempuh jalan yang tak biasa. Maksudku, biar aku bisa lewat rumah Rina.
Aku singgah sebentar di pos ronda sekedar mengenang kisah lampau. Kusaksikan lantai pos ronda sudah bolong-bolong. Mungkin sudah lapuk atau diambil orang. Atap sengnya berderit-derit diterpa angin senja.
Kembali kunyalakan sepeda motorku. Pelan saja. Lebih pelan lagi sepeda motorku ketika hampir tiba di depan rumah Rina. Nampak olehku. Sebuah tenda usang yang disanggah ala kadarnya dengan empat tiang kayu. Sebuah bangku di belakang meja. Blender tua di atas meja. Dan bungkus-bungkus pop ice tergantung pada kayu di atas blender.
Kuhentikan sepeda motor. Sudah beralih profesi, berjualan pop ice, rupanya ibu Rina, batinku. Haus juga rasanya tenggorokan. Belum lagi minum apa-apa sejak makan di rumah makan tadi. Biarlah kunikmati waktu menjelang Magrib ini dengan sebungkus pop ice.
Aku hampiri meja pop ice. Tidak ada orang mendatangiku yang berdiri di depan meja. Kupanggil Etek, ibu Rina. Beberapa kali aku panggil dengan suara yang bertambah keras. Tidak ada tanda-tanda ada orang.
Lelah memanggil. Akhirnya kunaiki kembali sepeda motorku. Dengan laju pelan, karena 300 m lagi rumahku.
Aku menengok kaca spion. Seorang laki-laki berbaju kaus melar dan celana pendek yang dipotong selutut lebih dulu datang ke meja blender. Penampilannya lusuh sekali. Diikuti oleh si perempuan, yang tak kalah lusuhnya. Dua-duanya begitu aku hapal sosoknya. Apalagi yang perempuan, parasnya sangat lekat di ingatanku.
Bukannya sekarang bulan-bulannya orang mulai konveksi. Sebab tiga bulan lagi puasa. Mungkinkah mereka sudah di tinggal di kampung lagi?
Sampai di rumah, setelah memarkir sepeda motor, langsung kupanggil Ibu. Kutanyakan perihal Rina pada Ibu.
“Sudah bangkrut. Joni itu banyak hutangnya di Jakarta. Dengan apa ia membayar. Indak ada tanah yang akan ia jual lagi. Itu kerja Rina, menjual pop ice. Joni, kadang ke ladang, kadang indak. Tapi rokoknya berapi-api terus,” kata Ibu.