CERPEN 

Memancing di Tubuh Ibu

Surya Gemilang, lahir di Denpasar, 21 Maret 1998. Buku pertamanya adalah antologi cerpen tunggal berjudul Mengejar Bintang Jatuh (2015). Kumpulan puisi Cara Mencintai Monster (2017) adalah buku keduanya. Buku ketiganya, berupa kumpulan puisi juga, berjudul Mencicipi Kematian (2018). Karya-karya tulisnya yang lain dapat dijumpai di lebih dari sepuluh antologi bersama dan sejumlah media massa, seperti: Kompas, Suara NTB, Bali Post, Riau Pos, Rakyat Sumbar, Medan Bisnis, Basabasi.co, Litera, Tatkala.co, dan lain-lain.

 

Minggu Pucat. Dan seperti biasa, doa-doa serta tenaga pun melintas di sebuah sungai yang ada di tubuh Ibu; itulah doa-doa dan tenaga yang Ibu hasilkan berkat kerja kerasnya dari hari Senin Tertawa, Selasa Gembira, hingga Sabtu Khawatir. Seperti biasa pula, aku dan Ayah berangkat memancing ke tubuh Ibu, tanpa persediaan umpan sama sekali—kail mahatajam sudahlah cukup untuk mendapatkan doa-doa dan tenaga itu.

“Bagaimana cara kalian pergi ke tubuh Ibu?” kau bertanya.

Caranya gampang saja: mintalah ia telanjang terlebih dahulu—ia pasti mau!—lantas melompatlah ke permukaan tubuhnya.

“Bukankah biasanya tubuh wanita lebih kompleks ketimbang tubuh lelaki? Apakah kalian tidak takut tersesat di sana?” kau bertanya lagi.

Di tubuh Ibu, tak mungkin ada yang tersesat, karena di sekujur permukaan kulitnya terdapat peta yang akan mengarahkan kau ke mana pun kau hendak menuju, selama itu masih berada di area tubuhnya. Kecuali, kau memang tak bisa membaca peta.

“Hmm … sungguh penjelasan yang menarik. Oh ya, kenapa Ibu sudi doa-doa dan tenaganya kalian pancing tanpa umpan sama sekali?”

Cinta dan patriarki. Sesederhana itu, Kawan.

 

***

 

Kail mahatajam kami merobek muka aliran air. Tongkat pancing kami masing-masing disandarkan pada sebongkah batu yang berdiri di tepi sungai. Di tepi sungai yang sama, di samping batu itu tepatnya, aku dan Ayah tinggal duduk menunggu. Tidak perlu takut tongkat-tongkat pancing tersebut terseret ke sungai, sebab doa-doa dan tenaga yang tersangkut di kailnya tak mungkin senakal itu; sekali tertancap, doa-doa dan tenaga itu pasti akan pasrah, bahkan saking pasrahnya mereka akan menancapkan diri di kail mahatajam kami.

“Tolong pijati pundakku,” pinta Ayah, seperti biasa. Seperti biasa pula, kemudian ia menambahkan, “Gunakanlah tenaga laki-lakimu.”

Aku, sebagai anak lelakinya yang patuh, pun mulai memijati pundaknya, sampai ia meminta berhenti. Tepatnya, sampai tak ada bagian tubuh kail yang tersisa untuk ditancapi doa-doa dan tenaga Ibu, sehingga kami mesti mengeluarkannya dari aliran air sungai, dan menelan doa-doa serta tenaga yang menancapkan diri itu—sebut saja momen ini “waktu jeda”—sebelum mengembalikan kail kami ke aliran air sungai. Dan biasanya, sambil menunggu untuk kedua kalinya, Ayah akan memintaku memijati pundaknya lagi. Pola serupa akan terus berulang, hingga kami merasa puas memancing doa-doa dan tenaga Ibu hari ini.

“Apa kau tidak kelelahan saat memijati pundak ayahmu di kali kedua, atau setelahnya?” kau bertanya.

Tentu tidak. Karena, seperti yang barusan kujelaskan, ada “waktu jeda”.

 

***

 

Tapi aku sudah sangat kelelahan saat memijati pundak Ayah untuk ketiga kalinya hari ini. Pasalnya, selama dua kali “waktu jeda”, tak ada sedikit pun tenaga Ibu yang kumakan. Pasalnya, selama dua kali “waktu jeda”, di kailku maupun kail Ayah tak ada tenaga Ibu yang menyangkutkan diri sama sekali. Hanya doa-doa yang ada. Sampai-sampai Ayah yang kupijati pundaknya pun kelelahan duduk menunggu.

“Apa tenaga Ibu tak mau lagi menyangkutkan diri lagi ke kail kita?” ucapku pada Ayah. “Apa kita tak bisa tinggal duduk menunggu lagi untuk mendapatkan tenaga Ibu?”

“Atau, Ibu tak punya tenaga untuk dialirkan di sungainya hari ini?” sahut Ayah.

Dugaan siapa pun yang benar, tetap saja ini adalah situasi paling ganjil yang pernah kami alami di tubuh Ibu.

“Apa boleh aku berhenti memijati Ayah?” tanyaku. “Aku jadi lelah.”

“Apa di sekitar sini kau ada melihat papan bertuliskan, ‘Silakan berhenti memijati ayahmu jika kau lelah’?”

Beberapa jenak kemudian, kail kami sudah penuh. Kami pun mengangkatnya, dan mendapati lagi-lagi kail kami hanya dipenuhi oleh doa-doa.

“Sungguh aneh,” komentar Ayah. “Kupikir sebaiknya kita berhenti memancing sekarang. Aku sudah lelah.”

Kami pun berkemas-kemas. Mendadak kudengar semak-semak di tepi seberang sungai bergemerisik. Aku reflek menoleh ke sumber suara, dan kulihatlah dari balik semak-semak itu muncul sesuatu yang panjang, berwarna keperakan, berbentuk mirip pipa. Lubang dari sesuatu yang mirip pipa itu mengarah tepat ke Ayah.

“Apa di sekitar sini kau adalah melihat papan bertuliskan, ‘Silakan berhenti berkemas-kemas jika kau ingin bengong’?” tahu-tahu Ayah menegurku. Jelas ia tak menyadari gemerisik semak-semak tadi serta sesuatu yang muncul dari balik sana.

Tiba-tiba lubang dari sesuatu yang muncul dari balik semak-semak itu memuntahkan sebutir peluru, diiringi suara ledakan yang mengiris gendang telinga. Rasanya belum sempat Ayah menunjukkan ekspresi terkejut, tubuhnya yang tersambar peluru itu sudah terlebih dahulu terpental. Cipratan darahnya mengenai air sungai, tanah, tongkat pancing dan kail kami, tak ketinggalan tubuhku!

Aku menjerit ketakutan. Ayah pula menjerit, namun bukan hanya karena ketakutan, tentu juga karena kesakitan.

Sehabis memandang luka tembak Ayah—di perutnya—yang mengerikan, aku langsung mengalihkan pandangan ke seberang sungai, dan tampaklah seorang wanita berdiri perlahan-lahan dari balik semak-semak itu, dengan sepucuk senapan di tangannya, dengan senyum jahat di bibirnya, sebuah senyum paling jahat yang pernah aku lihat.

Hei! Wanita itu adalah Ibu!

Tidak mungkin!

Bagaimana bisa ada Ibu di tubuh Ibu?!

“Hati-hati!” teriak Ayah. “Itu adalah alter ego Ibu!”

“Apa di sekitar sini kau adalah melihat papan bertuliskan, ‘Silakan memancing di sungai sesuka hati’?” tanya Ibu-yang-di-seberang-sana.

Ayah lalu perlahan bangkit dari tanah. “Tidak perlu ada papan bertuliskan apa pun agar para lelaki dapat menerima haknya!”

“Apa kau tahu, kau terlihat seperti apa sekarang?”

Hening sejenak. Ayah pasti tak tahu mesti menjawab apa.

“Kau terlihat seperti antifeminis yang sebentar lagi akan pecah kepalanya.” Dan Ibu-yang-di-seberang-sana pun menembak lagi, kali ini pelurunya mengenai kepala Ayah.

 

***

 

Aku cepat-cepat melompat pergi dari tubuh Ibu, meninggalkan mayat Ayah bersama Ibu-yang-lagi-satu di sana. “Bu!” pekikku, kepada Ibu yang berbaring telanjang di kasur. “Kenapa Ibu tega membunuh Ayah?!”

Ibu tampak terkejut mendengar pertanyaanku. “Jadi, benar bahwa ada aku-yang-lagi-satu di tubuhku?”

Giliran aku yang terkejut mendengar pertanyaan Ibu, lalu aku mengangguk pelan sebagai jawaban untuk pertanyaan itu.

Ibu pun cepat-cepat bangkit dari kasur dan menggandengku keluar dari rumah. Ya, kau benar, Ibu keluar dari rumah tanpa mengenakan pakaian sama sekali. “Kita akan pergi ke mana, Bu?” tanyaku, tapi Ibu tak menjawab; ia menggandengku memasuki sebuah hutan berkabut yang terletak tak jauh dari rumah.

Kami memasuki hutan berkabut itu semakin dalam, semakin dalam, dan semakin dalam. Tak terasa, kami sudah berjalan selama satu hari penuh, tanpa istirahat sedikit pun, hingga sampailah kami di tepi sebuah sungai yang terletak di dalam hutan itu. Aku dan Ibu tak sendirian; ada banyak wanita telanjang yang memancing di tepi sungai itu, bersama—sepertinya—anak-anak mereka, laki-laki maupun perempuan.

“Jika kalian berdua mau memancing di sini,” tiba-tiba terdengar ada yang berkata dari arah samping kami, “aku akan memberikan alat-alat pancingku secara gratis kepada kalian.”

Kami menoleh ke sumber suara: seorang lelaki tampan—telanjang—yang berdiri di samping sebuah keranjang berisi pelbagai perlengkapan memancing. Di samping laki-laki itu berdirilah sebuah papan bertuliskan, “Silakan memancing hak-hak kalian.”

Related posts

Leave a Comment

16 − fifteen =