CERPEN 

Balet di Cikini

Harrits Rizqi lahir di Banyumas pada 18 Februari 1997. Sedang menempuh pendidikan di Sastra Indonesia UI. Buku-buku yang telah dihasilkan antara lain: Inkonfeso (kumpulan puisi, 2015); Valensi (novel, 2016); dan Reminisensi (kumpulan puisi, 2017). Selain itu, Harrits pernah urun karya dalam Puisi Menolak Korupsi 3 (2014) dan Surga di Telapak Kaki Serigala: Kumpulan Cerpen Terpilih Balairung (2015).

 

Ada seribu penari balet di Cikini. Mereka menari-nari di sepanjang jalan. Pada tengah malam, biasanya ada yang terjun dari atas gedung kemudian melompat indah lalu masuk ke kepalaku. Keluar kembali setelah meninggalkan gema hasil entak sepatu. Gema itu mendorong bagian sempit dalam kepalaku. Melebarkannya, sampai sempit menjadi luas. Luas yang diisi kekosongan. Aku menjadi tumpul seketika. Tetapi, kusaksikan para penari balet bergerak menawan. Bayangannya masuk melalui mataku dan diteruskan saraf-sarafnya. Kepalaku terisi imaji.

 

Aku manusia yang dilahirkan dari titah Ibu. Menggelandang di Cikini. Mendaras jalan panjang. Merapikan daun kemuning yang dijatuhkan burung gereja setiap pagi. Suatu pagi, mereka sebagian pergi ke selatan. Menyisakan sejarah dari masa depan. Aku menyusunnya menjadi harapan. Ketika Ibu datang nanti, suatu malam, aku tinggal bilang: ada yang gugur perlahan-lahan diterpa angin malam dalam diriku.

 

Namun, aku tahu Ibu tidak akan pernah datang di jalan panjang ini. Ibu sedang mengecat rumah kami yang busuk di kejauhan sana. Separuh warnanya berasal dari masa kanak-kanakku yang serpih ketika aku masih berani, meskipun sesekali teriakan ayahku turun deras dan Ibu harus mengulangi tugasnya.

 

Ibu tidak akan sempat melihat penari balet di Cikini. Aku sebenarnya ingin mengundang dan memperkenalkan salah satu dari mereka. Dia adalah Maria, penari balet paling anggun di sini. Maria adalah sesuatu yang diciptakan dengan dasar kebahagiaan, tanpa prasangka, mengerti sebelum tahu, dan ketiba-tibaan yang manis. Aku menemukannya di tepi kehidupan dekat rumah sakit.

 

Maria pernah aku ajak ke sebuah kafe kecil yang jaraknya tiga peradaban dari kantor pos di ujung. Kafe dengan lampu besar yang menggantung di tengah ruangan. Terpajang lukisan-lukisan khas abad delapan belas. Aku dan Maria menjadi kuning kecokelatan disebabkan cahaya musik jaz klasik berpadu dengan kemuraman masa kontemporer.

 

“Lihatlah, Maria. Ada banyak jiwa kini lebih memilih bunuh diri. Rupanya kita sedemikian terasing, tidak bisa menyentuh apa yang ada di dalam batas orang lain. Bahkan, ada tubuh kecil dalam diri kita yang tidak dapat disentuh oleh kita sendiri. Oleh karena itu, Cikini dibuat sebagai etalase mini kesepian. Aku berkunjung setiap hari agar masih ada alasan untuk menunda bunuh diri.”

 

Maria diam pada awalnya. Lalu ia membaca air mataku. Lantas mencatatnya di buku harian bersampul hitam.

 

“Maria, penari baletku. Ada banyak pembunuhan di dunia ini, tetapi yang paling tragis adalah dibunuh pikiran sendiri. Hal itu membuatku teringat akan kasih Ibu. Sewaktu ulang tahunku yang kelima, Ibu menghadiahkanku sekotak penjara untuk keberanian dan kepolosanku. Ia bilang, Ayah telah berjasa sebagai penyumbang utama kado itu. Bagaimana bisa aku menolak pemberian paling tulus dalam riwayat hidupku? Bahkan, aku tidak membuang bungkus kadonya. Aku menggantungnya di dahan pohon bersama luka-luka yang akarnya masuk ke dalam batinku.”

 

Sepenggal senyum menampak di wajahnya. Ia pandangi aku begitu lama. Matanya mencari-cari lorong di dalam mataku. Di sana, ia meninggalkan sesuatu. Aku hanya ingin bertanya: apa tak ada yang ingin kautinggalkan kepadaku selain tanda tanya?

 

Waktu sudah meluncur ke Bulan. Itulah yang biasa dilakukan sesuatu ketika sudah tua. Pilihannya dua: berpindah atau mati. Sekarang aku dan Maria ditinggalkan waktu untuk alasan yang tidak pernah kutahu.

 

Maria kemudian berdiri. Melangkah ke arah pintu. Aku mengikutinya. Ia keluar ke jalan besar, bergabung bersama penari lain. Menari dari satu titik ke titik yang lain secara serempak dengan gerakan yang terpatah-patah.

 

Gerakan itu pernah kulihat suatu kali tepat sebelum pukul sebelas tiga puluh malam. Di bawah lampu jalan depan stasiun, aku berdiri. Mematung saja seperti seorang bodoh yang baru lulus sekolah. Tidak aku perhatikan sekitar secara benar-benar sampai sedikit demi sedikit apa yang ditangkap mataku terbagi menjadi tiga bagian. Di setiap bagiannya, jika ada orang lewat, orang itu bergerak terpatah-patah. Ini salah mataku atau salah Tuhan yang memberiku mata? Segera aku insyaf. Manusia bebas sepertiku tidak patut menyalah-nyalahkan. Sejak itu aku punya pertanyaan yang kujadwalkan sebelum menyalahkan: benarkah aku benar?

 

Oh, bagaimana bisa pikiranku lari seperti ini? Ketika aku sadar kembali, penari-penari balet telah lentur dan gemulai. Kuperhatikan mereka dari bagian paling bawah sampai paling atas. Sepatu putihnya bersentuhan dengan aspal hitam. Sepatu dan aspal tidak mengenal politik ras. Mereka bercumbu saja begitu lama, begitu mesra, sampai aku merasa suatu kecemburuan telah hadir.

 

Tetapi, di mana Maria? Aku melangkah setengah, mundur seperempat, dan maju sejauh dua atau tiga langkah. Bergerak seperti penari balet. Berulang seperti itu. Aku mencari Maria dengan iringan musik Tchaikovsky dengan penghayatan kesan-kesan Dostoyevsky. Tambahannya adalah musik-musik Morricone, seperti Once upon a Time in the West atau Romanza Quartiere. Akan tetapi, ini Cikini, bukan? Dan, Cikini bukan Rusia atau Italia. Cikini adalah Jakarta yang murung nuraninya, tetapi berkulit khas perawatan medis.

 

Musik-musik itu juga yang mengantarku ke Cikini bertahun-tahun lalu. Begini: aku pergi dengan membawa pesan Ibu. Ia bilang waktu itu: rumah hanya menjadi tempat penebusan dosa-dosa, semacam ruang penyiksaan. Rumah sudah berubah fungsi sejak Ayah memilih tempat itu untuk melampiaskan kesepian dunia. Rupanya Ayah akan merasa malu jika orang lain tahu bahwa dirinya adalah seekor buas. Ibu memintaku pergi ke mana saja.

 

Tak semudah itu aku melaksanakan permintaannya. Bagaimanapun, yang tertanam dalam otakku, rumah adalah tempat untuk pulang. Hal itu menjadi keyakinanku pada awalnya. Akan tetapi, lama-lama terkikis oleh kenyataan: rumah adalah tempat untuk pulang… untuk kemudian pergi lagi.

 

Aku semakin dikuatkan oleh dugaan-dugaan. Kali ini bukan tentang Ibu atau Ayah. Dugaan ini serupa endapan yang lama-lama menumpuk di muara. Asalnya dari orang-orang yang pernah dekat dan kemudian hilang jauh. Ditimpakan di atasku suatu perenungan: mengapa? Aku mencari jawabannya di setumpuk kebimbangan. Orang-orang boleh dan pasti akan pergi, tetapi tidak secepat ini. Lantas, muncul bisikan berupa kesimpulan bahwa memang tak ada yang mutlak harus dijelaskan. Tak ada yang mutlak harus bertahan. Hanya pengetahuan bagiku: aku dikutuk untuk merawat rasa kehilangan.

 

Jadilah aku mengembara. Kudengar ada tempat yang boleh meluapkan apa saja. Nama tempat itu adalah Cikini. Ketika aku datang, Cikini memang demikian. Bukan karena seharusnya begitu, tetapi disebabkan Cikini memang kosong. Bagaimana agar kekosongan itu tidak menjadi-jadi? Maka, jatuhlah aku ke dalam dekapan Cikini. Lebih tepatnya, aku sengaja menjatuhkan diri seperti daun kering yang mengikhlaskan dirinya kepada tanah.

 

Musikku masih terngiang. Ia menghadirkan fantasi-fantasi. Sesosok tiba-tiba lewat dalam fantasiku. Ialah Maria, penari balet. Lama-lama tak hanya Maria. Sembilan ratus sembilan puluh sembilan penari balet menyusulnya. Mereka datang dari ruang kecil dalam pikiranku. Mungkin hasil dari apa yang tertahan selama ini.

 

Kini Cikini jadi serupa kamar fantasi. Tempatku tidur dan berpikir. Membaca-baca baris warna-warni yang disajikan kehidupan seharga cuma-cuma. Menempuh tanggung jawab sebagai seorang manusia yang entah tujuannya untuk dan agar apa. Seluruhnya ini aku jalani bersama penari-penari baletku.

 

Namun, di mana Maria? Aku sudah terlalu lama berdiri memaku ternyata. Mungkinkah Maria-ku sengaja menghilang?

 

Maria-ku hilang. Aku ditinggalkannya seperti seorang nabi yang ditinggalkan ilham. Aku perahu yang ditinggalkan pemiliknya di tengah laut. Yang tersisa di Cikini hanya penari-penari kecil yang bergerak-gerak saja. Serampangan. Mulailah satu per satu bersinggungan, menimbulkan dendam dalam hati masing-masing. Mereka kini bukan penari lagi. Mereka berkacauan, kehilangan arah.

 

Oh, kepalaku. Orang dan kebahagiaan datang dan pergi secepat ini. Kehilangan dan ketakutanlah yang abadi. Pertengkaran senantiasa mendampingi. Tak bisa berdamai antara jiwa dan akalku, antara jiwa dalam jiwaku, antara akal dan kemunafikanku. Sementara, Maria masih tak juga datang. Aku tak membenci penantian; aku hanya tak mampu mencintai kekosongan. Dan, aku paham benar bahwa Maria tak memiliki kesalahan. Maka, mengapa aku terus mencarinya, sedang aku belum tuntas benar menemukan diriku? Demikianlah kuhabiskan malam di tengah gang di antara gedung-gedung modern Cikini. Di tengah dengung-dengung modern yang sepi.

 

Related posts

Leave a Comment

16 + twenty =