Puisi-puisi Surya Gemilang
Surya Gemilang, lahir di Denpasar, 21 Maret 1998. Buku pertamanya adalah antologi cerpen tunggal berjudul Mengejar Bintang Jatuh (2015). Kumpulan puisi Cara Mencintai Monster (2017) adalah buku keduanya. Buku ketiganya, berupa kumpulan puisi juga, berjudul Mencicipi Kematian (2018). Karya-karya tulisnya yang lain dapat dijumpai di lebih dari sepuluh antologi bersama dan sejumlah media massa, seperti: Kompas, Suara NTB, Bali Post, Riau Pos, Rakyat Sumbar, Medan Bisnis, Basabasi.co, Litera, Tatkala.co, dan lain-lain.
Melankolia Yasur
gedung itu abu dan semakin kelabu.
retak di tubuhnya adalah kesengajaan
yang tak disadari(?) sejak dalam blueprint
yang hendak dibakarnya.
gedung itu lebih abu ketimbang mendung
yang berujung pada basah di pipi yasur;
kantor di dalamnya penuh berisi para pekerja
yang gagal memproduksi bahagia.
gedung itu lebih abu
ketimbang beda antara baik-dan-jahat,
sehat-dan-sakit, sedih-dan-bahagia,
lucu-dan-tragis, atau abu-dan-kepasrahan.
gedung itu tak kunjung mengabu
meski orang-orang di dalamnya
sibuk membakar diri
dengan kebencian masing-masing
terhadap diri.
(Jakarta, Mei 2018)
Tenggelam Dalam Litha
di kamar ini, aku mengurai tubuhmu
dengan pisau tajam
yang kaumuntah lewat matamu.
aku mengurai kulit dari dagingmu,
otot dari tulangmu,
emosi dari akal sehatmu,
hingga nyawa dari tubuhmu:
aku memperoleh kata demi kata
yang menenggelamkanku
pada kedalaman tematik
tiap sisi ke-“ada”-an kau.
*
kata demi kata itu terserak di kasurku
seperti sampah yang ingin dibuang,
atau remah-remah yang ingin disusun kembali
menjadi makanan.
aku tak tahu perumpamaan mana yang tepat.
tapi kata demi kata yang kudapat itu
selalu saja menyayat mata lalu pikiranku
saban kubaca dengan harap yang kaku.
maka tak heran, saat sajak itu berhasil kutuntaskan,
tuntas pula masa hidupku
berkat darah yang mengucur seperti ombak.
(Jakarta, Mei 2018)
Kelupaan Yasur
aku lupa cara mengenalmu
aku lupa cara mengenal bahaya dari dirimu
aku lupa cara mengenal bom di matamu
pedang di lidahmu
racun di jarimu
paku di langkahmu
bahkan maut di keberadaanmu
aku lupa cara mengenalmu
aku lupa cara mengenal bahaya dari dirimu
ataukah aku lupa cara mengenal diriku
lupa cara membahagiakan diri sendiri?
(Jakarta, Mei 2018)
Sebelum Menyentuh Tubuhmu
sebelum menyentuh tubuhmu
kau bertanya soal cairan yang kugunakan
untuk membasuh tanganku:
darah, air mata, atau air sungai yang mengalir ke dadaku,
air sungai yang digunakan orang-orang
melarung kepercayaan masing-masing
sebelum menyentuh tubuhmu
kau bertanya soal bahan dasar yang kugunakan
untuk membentuk tangan kotorku:
madu palsu, atau susu yang mengalir dari puting induk dusta
ketika menyusu anak-anaknya
sebelum menyentuh tubuhmu
—yang semestinya tak disentuh oleh seorang pun—
aku bertanya pada diri sendiri
soal siapa saja yang mesti kubantai sebelum ini
(Jakarta, Mei 2018)